1. It's time for dreaming in East Jakarta

Start from the beginning
                                    

Ara mendesah sebal. Panjang-panjang begini penjelasannya hanyalah untuk membuktikan bahwa liburan itu tidak baik dan beresiko tinggi. Kenapa Dev tidak langsung menolak saja tadi? Setidaknya dengan begitu, Ara bisa menggunakan waktu yang tadi terpakai mendengarkan ceramah Dev untuk menonton satu episode drama Korea lagi.

"Nah, bias kognitif ada juga bentuknya yang lain." Dev kembali meneruskan penjelasannya, sementara Ara sudah ingin menutup muka dengan bantal. "Ingin ikut-ikutan. Melihat orang lain liburan jadi ingin liburan juga. Takut merasa ketinggalan. FOMO alias Fear of missing out."

Lama-kelamaan, kuping Ara menjadi panas juga mendengar Dev. "Iya, iya. Kalau kamu gak setuju, ya udah. Gak usah ceramah seperti ini. Kita gak usah ke Bali, gak usah ke mana pun. Mengurung diri aja terus di rumah sampai semua berakhir."

Dengan kesal, Ara meletakkan ponsel di nakas dan berbaring sembari memunggungi Dev. Hatinya sangat kesal. Dev bahkan tidak bertanya apa alasan Ara menanyakan pertanyaan itu. Ya, walau harus diakui bahwa perkataan Dev benar adanya. Ara merasa sangat bosan terus diam di rumah saja, tidak pernah pergi ke mana pun, selama sudah hampir setahun ini. Pandemi COVID-19 di Indonesia tidak juga segera mereda, membuat segala sesuatunya menjadi lebih beresiko.

Ara tahu bahwa diam di rumah saja adalah hal paling aman yang bisa dilakukan saat ini. Ara juga bersyukur bahwa kantor tempatnya bekerja dan juga kantor Dev, mengizinkan karyawannya untuk bekerja dari rumah secara penuh. Terakhir kali Ara menginjak lantai gedung kantornya adalah bulan Maret tahun lalu. Ara sampai sudah agak lupa seperti apa bekerja penuh waktu di kantor seperti dulu.

"Kenapa kamu ingin ke Bali?" Dev sepertinya bisa membaca kekesalan Ara. "Kenapa sekarang?"

Tanpa membalikkan badan, Ara menjawab, "Karena aku FOMO. Ingin seperti teman-teman yang lain. Liburan, lihat pantai, foto cantik sama keluarganya."

Hembusan napas Dev terdengar begitu keras di keheningan kamar. "Kenapa kamu malah ngambek?" Ara tidak mau menjawab pertanyaan retorik Dev itu. Dirinya memilih bungkam seribu bahasa.

"Aku gak bilang kalau kamu FOMO. Aku tadi cuma menjelaskan kenapa sekarang banyak orang yang sepertinya makin rela mengambl resiko, padahal pandemi belum berakhir." Akhirnya Dev meneruskan perkataannya setelah mereka saling diam beberapa saat.

"Aku bosen banget di rumah!" tukas Ara dengan sedikit keras. "Iya, aku tahu kalau buat kamu ini kekanakan banget. Aku harusnya bersyukur masih punya rumah, punya kerjaan, bisa kerja di rumah, masih sehat. Cuma rasanya aku capek banget di rumah terus, sementara..."

"Sementara temen-temen kamu atau para artis bebas berlibur ke mana-mana dan masih sehat walalfiat?" potong Dev dengan lugas. "Aku ngerti kamu bosen, cuma ini kan demi kebaikan kita semua juga."

Tidak tahan lagi, Ara membalikkan badan menghadap Dev yang masih dalam posisi duduk. "Dev, aku ke swalayan aja jarang. Kamu terus yang pergi belanja." Ara menggelengkan kepala. "Jangankan swalayan, ke minimarket depan komplek aja aku jarang banget. Rasanya lama banget aku gak lihat dunia luar. Di rumah cuma tidur, makan, ngurus anak, kerja, makan, tidur. Bosan!"

Dev tertawa kecil. "Ngurus anak? Bukannya kamu kerja mulu, makanya Kay lebih sering diasuh sama ibu?" Ibu yang Dev sebut ini adalah ibu dari Ara, yang memang tinggal bersama mereka di Jakarta sejak kelahiran Kay empat tahun lalu. Ayah Ara dan kedua orang tua Dev sudah meninggal sebelum mereka menikah, sehingga kini hanya tinggal ibu yang berperan sebagai orang tua bagi mereka berdua.

"Jangan mengalihkan topik pembicaraan, deh," sergah Ara cepat. "Kamu juga kerja terus. Pagi-pagi udah di kamar kerja, cuma keluar pas makan siang sama makan malam. Kita sama aja, tahu!"

"Oke, oke, point taken." Kedua tangan Dev terangkat tanda menyerah. Mau bagaimanapun juga, mereka memang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Semua itu berdampak mereka lebih banyak menyerahkan urusan mengasuh Kay dan juga keseharian rumah tangga pada ibu.

"Aku juga ngerasa sejak pandemi, kita berdua jadi jauh banget." Ara bergantian menunjuk dirinya dan Dev. "Padahal kita 24 jam bareng, tapi malah rasanya lebih jauh dari sebelumnya."

Kening Dev berkerut dan wajahnya menunjukkan kebingungan. "Jauh gimana? Kita bukannya selalu dekat? Tidur aja sekamar begini. Kalau dulu sebelum pandemi, iya kadang kerasa jauh, soalnya kamu sering banget dinas ke luar kota."

"Ih, kalau urusan bias apalah tadi itu aja kamu ngerti banget sampai ceramah." Ara gemas mendengar perkataan Dev yang menurutnya tidak nyambung. "Giliran ngomongin perasaan, pura-pura bego."

Dev terkekeh geli melihat Ara yang sewot. "Habisnya kamu ada-ada aja. Aku gak ngerasa kalau kita jadi jauh. Ya sama saja seperti dulu." Dev tampak berpikir sejenak. "Kita sudah hampir lima tahun menikah. Iya sih, gak lama setelah kita nikah, kamu udah hamil."

Dev mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. "Jangan-jangan, kamu yang ngerasa bosan sama aku dan akhirnya ngerasa jauh? Aku ngerasa kita baik-baik saja, sih."

Lagi-lagi Ara menggigit bibir bawahnya, hal yang biasa dilakukannya saat frustasi tapi bingung hendak bagaimana. Menjabarkan perasaannya pada Dev ternyata tidak segampang yang dibayangkan. Apalagi saat Dev tampak agak meremehkan dan merasa tidak ada masalah seperti itu. Semua baik-baik saja bagi Dev, tapi tidak begitu bagi Ara. 

[COMPLETE] Work From BaliWhere stories live. Discover now