Dia tertawa. "Itu memang bikin permainanmu jadi tak tertandingi. Aku sampai mikir kamu pakai susuk, lho." Dia menepuk-nepuk pelan kemaluanku dengan bangga seperti menepuk kepala anaknya yang berprestasi. "Tapi, bukan itu jawabannya, Manis."

Dia diam untuk membuat obrolan kami lebih dramatis. Dia ingin aku merengek untuk tahu jawabannya.

Kuberikan yang dia inginkan, seperti biasanya. "Apa?" tanyaku dengan nada merengek seperti benar-benar penasaran.

"Kamu beracun."

"Aku? Beracun?" Kubulatkan mata dan menarik sedikit kepalaku darinya.

"Kamu itu bikin orang mikir terus. Mikir buruk. Yang kamu perlihatkan di depan sini...," dia meraup wajahku, "dan di dalam sini...," dia menekan dadaku dengan telunjuk, "beda. Kadang aku pengin hajar kamu sampai setengah mati gitu biar kamu kasih tahu apa yang kamu simpan. Cuman, aku nggak tega. Muka cantikmu bikin aku nggak tega mau kasar sama kamu."

Pecundang ini cuma bisa membual. Dia selalu kasar padaku, pada simpanannya yang lain, atau istri dan anaknya. Istrinya pernah diseret dari pintu depan rumahnya sampai ke kamar, tidak peduli harus menaiki tangga. Anak dan asisten rumah tangganya berbaris menonton perempuan itu menjerit, memberontak, dan menangis meminta dilepaskan. Dia tidak peduli. Itu semua karena istrinya mengomel dia lebih memilih mengajakku ke pesta daripada istri sahnya.

Keesokan harinya, kudengar Patricia Hernawan, anak dari pengusaha terkenal Budiasih Hernawan, itu mendapat dua belas jahitan yang entah di mana saja. Aku mengiriminya gelang berlian untuk permohonan maaf. Patricia suka berlian dan dia terlalu bodoh untuk bisa melepaskan diri dari suami jahatnya. Perempuan malang itu menerima permintaan maafku dan setelah sembuh dia mengundangku lagi untuk makan malam di restoran tanpa mengungkit sedikit pun tentang kejadian itu.

"Kamu sama paranoidnya sama adikmu." Aku menyalakan rokok dan menyemburkan asap pelan ke wajahnya, hal yang selalu dianggapnya seksi.

"Siapa? Bajingan sampah itu?"

"Siapa lagi?" Aku menaikkan alis, memaksa emosinya memuncak.

"Kubereskan dia sebentar lagi," katanya gusar.

Bereskan? Apa yang bisa dia bereskan dari adiknya? Dia bahkan sama sekali tidak bisa menyentuh adiknya. Kalau dia selama  besar dengan meninggikan diri dan menganggap dialah pusat dari semua keberuntungan Syailendra, adiknya itu besar dengan dendam. Setiap hari yang nampak di matanya hanya kebencian, yang dipikirkannya hanyalah cara untuk menghancurkan keluarganya. Mantan suamiku itu sudah tahu kalau suatu hari dia harus menyingkirkan mereka semua atau disingkirkan. Saat Yudhistira bersenang-senang dalam pesta seks dengan kakak-kakaknya, dia sendirian, merancang cara paling ampuh untuk menggulingkan kakak-kakaknya.

Aku tidak akan lupa dengan tatapan penuh dendam itu, tatapan yang membuatku tergila-gila padanya. Mata cokelat yang membuatku rela melakukan apa saja untuknya.

"Kapan kamu mau bereskan dia?" tanyaku sambil merapatkan tubuh padanya, membelai lembut bulu-bulu pada kakinya.

Dia tidak langsung menjawab. Dia belum punya jawaban pasti. Ah, paling juga seprrti biasa, dia menunggu titah Mahendra, si Sulung.

"Perempuan sebaiknya nggak usah tahu. Kamu tugasnya bikin senang aku aja. Nanti, kamu tahu beres. Aku bakal bikin dia koyak di depanmu," katanya sebelum menciumku.

Kusentuhkan ujung kukuku ke dadanya yang berotot, lurus ke perutnya yang penuh bulu lebat, seperti berewok di wajahnya, khas lelaki Syailendra. Dia merinding dan bergidik. Matanya memejam, merasakan sensasi yang kuberikan. Di saat seperti inilah aku bisa mendapatkan apa pun yang kuinginkan.

Sad Girl IronyWhere stories live. Discover now