ii. caught in the act

Mulai dari awal
                                    

"Yap."

"Jadi... Kapan lo mau nembak Zetta?"

Jantungku seperti berhenti berdetak mendengar ucapan Rafa barusan. Tiba-tiba petir menggelegar dan hujan turun semakin deras, bersamaan dengan bulir-bulir air mataku yang turun ke pipiku.

Sekarang aku harus menerima kenyataan kalau aku bertepuk sebelah tangan.

-:-:-

Perjalanan ke rumah Zetta dengan motor cuma memakan waktu kurang lebih lima menit jika kami tidak mampir ke minimarket untuk membeli camilan buat nonton nanti. Mereka semua sibuk memilih-milih makanan sementara aku menunggu di luar minimarket, disuruh jagain motor.

Jangan salah, aku menyayangi mereka. Tapi kadang-kadang mereka bisa membuatku kesal setengah mati.

"Rin, jangan bete." Adira tiba-tiba sudah berada di sampingku dengan tentengan plastik kecil di tangannya. Aku melirik ke sekitar, mereka semua belum keluar.

"Lah ngapain bete deh, Dir? Gue nggak kenapa-kenapa kok," sanggahku. Aku berbohong. Aku tidak terlalu pandai dalam berbohong, dan Adira selalu mengetahuinya ketika aku melakukannya.

"Rin gue—"

Omongan Adira terpotong ketika suara berisik teman-temanku muncul.

"Kita omongin nanti, oke?" Adira menatapku serius.

"Ngomongin apa? Nggak ada yang perlu diomongin," sanggahku. "Semuanya baik-baik aja."

Adira belum sempat memberi reaksi apa-apa karena keenam temanku sudah kembali.

Saat kami tiba di rumah Zetta, kami langsung mengerjakan presentasi sejarah di taman belakang rumahnya yang bisa dibilang enak banget buat dijadiin tempat ngerjain tugas. Sebetulnya, yang mengerjakan cuma aku, Maira, dan Adira. Yang lainnya hanya ngobrol-ngobrol sambil main laptopnya si Ben.

"Woy yang lagi asik main, bantuin napa?" seruku pada mereka yang sedang tertawa-tawa.

"Elah, dikit lagi selesai kan? Nanggung. Entar deh gue edit edit," kata Rafael seenaknya sambil mengunyah keripik kentangnya.

Aku mendengus kesal, kenapa sih mereka mendadak jadi nyebelin banget? Mood yang udah hancur, jadi makin hancur.

Bisakah hari ini menjadi lebih buruk? Kurasa tidak.

"Dir, Mai, gue mau ke kamar mandi dulu ya. Kebelet hehe," cengirku pada kedua temanku.

"Ya udah tapi cepetan," kata Maira tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

"Iya bawel."

Karena sudah di ujung tanduk, aku berjalan cepat menuju kamar mandi yang sudah kuhafal betul letaknya. Kalau sudah berurusan dengan kamar mandinya Zetta, aku paling betah di sini karena interiornya. Ya ampun. Keren banget! Padahal cuma kamar mandi. Plus, toiletnya secanggih toilet-toilet yang ada di Jepang. Sepertinya orang tua Zetta benar-benar niat mendesain rumah ini, bahkan sampai ke detil-detil terkecilpun.

Tetapi karena tidak mau membuat Adira dan Maira menunggu—atau nanti aku akan diomeli oleh Maira—aku tidak mau berlama-lama di tempat itu.

"...oh jadi lo suka Bring Me The Horizon juga? Kalo gitu kita sama!" samar-samar aku mendengar suara bariton yang begitu kukenal dari ruang tengah. Dika.

"Akhirnya! Ada juga yang ngerti selera musik gue," jawab Zetta dengan nada senang.

Aku tahu rasa penasaranku ini akan membawaku kepada malapetaka untuk diriku sendiri, tapi kakiku ini seakan tidak sejalan dengan otakku. Aku terus melangkah ke arah ruang tengah untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku mengintip dari balik tembok, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Mereka sedang duduk-duduk berdua di sofa. Jaraknya sangat dekat untuk ukuran 'hanya teman'. Aku tidak tahan melihat bagaimana dekatnya mereka, dan cara Dika memandang Zetta... Penuh rasa kagum. Aku sama sekali tidak tahu apa perasaan Zetta pada cowok itu, tapi firasatku mengatakan kalau perasaan mereka berdua itu sama. Sama-sama suka.

Aku merasakan sesuatu yang basah di pelupuk mataku.

Aku tidak boleh menangis lagi.

Kata Mama, menangis karena cowok itu adalah hal yang bodoh. Aku sempat berpikiran begitu, karena aku tidak pernah merasakan yang namanya cinta sebelumnya. Ini kali pertamanya aku jatuh cinta. Dan kali pertamanya aku patah hati.

Aku cepat-cepat meninggalkan mereka dengan langkah cepat. Tapi sialnya kakiku tersangkut kabel dan akibatnya aku jatuh ke lantai. Kenapa mesti ada kabel melintang di sini coba? Sakit. 

Tapi bukan itu masalahnya, bunyi yang ditimbulkan dari suara jatuhku itu cukup keras. Sial. Aku mencoba berdiri dan cepat-cepat lari. Tapi tampaknya kakiku sedikit terkilir. Benar-benar sial.

"Eh, itu barusan suara apa?" tanya Zetta.

"Liat yuk," kata Dika.

Aku mendengar langkah kaki mereka mulai mendekat. Sial. Berapa kali lagi aku harus mengatakan kata itu?

"Arinda? Lo ngapain duduk di situ?" tanya Zetta, di belakangnya ada Dika yang sedang menyilangkan tangannya di dada, menatapku sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Engga... Tadi gue jalan terus keselengkat kabel gitu deh," jelasku sambil nyengir, padahal sakitnya nauzubillah. "Kok bisa ada kabel di sini ya?" tambahku gugup.

Dika berjalan mendekatiku dan mengulurkan tangannya.

"Apa?" tanyaku dengan bodohnya.

"Ya bantuin lo berdirilah bego, lo mau duduk terus di sini sampe Nicki Minaj pantatnya tepos?"

Dengan ragu-ragu aku menyambut tangannya.

Kalau aku tidak mengetahui perasaannya sama Zetta dan tidak melihat mereka berdua ngobrol tadi, mungkin dengan dia cuma menolongku berdiri bisa membuatku jingkrak-jingkrak setengah mati. Tapi sekarang semuanya berbeda.

"Tunggu, tapi lo ngapain kesini? Kan tadi lo lagi ngerjain presentasi?" tanya Zetta dengan raut wajah yang aku tahu betul, curiga.

Sekali lagi aku menyebut kata ini. Sial. Aku harus mencari alasan lagi agar tidak dianggap penguntit.

-:-:-

Dreaming Alone [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang