☁️19: Di Balik Unit 307☁️

Start from the beginning
                                    

"Best player bisa dong?" tantangku.

Angkasa membuat wajah terkejut yang lucu, "Haha muluk banget! Top scorer aja belum pasti."

Aku menyalip langkah Angkasa kemudian berbalik untuk menghadangnya, "Merendah nggak pernah cocok dengan kamu, Sa." Kepalaku menengadah agar leluasa memandangi langit yang mulai terang, "Kamu itu nggak terbatas, Angkasa."

Aku tersenyum melihat Angkasa tersenyum, "Fightiiiing!" seruku optimis.

Tidak mau kalah bersemangat, Angkasa meninju udara dengan satu lengannya, "Yosh!"

Andai ya, Awan. Seandainya kamu tidak benar-benar keras kepala juga bisa seterbuka Angkasa saat mendengarkanku. Misal saja mudah bagiku untuk meyakinkan dan mengubah pikiranmu. Mungkin Angkasa tidak harus kehilangan rival basket favoritnya selama dua tahun ini. Toh sebetulnya, sejak awal kamu masih boleh tetap menjalani basket sebagai hobi. Kalau saja kamu tidak semarah itu, sekarang aku mungkin tidak hanya sedang memberi dukungan pada Angkasa yang turun di turnamen terbuka, namun juga mendukungmu untuk diam-diam ikut pertandingan basket jalanan yang kamu mau.

Angkasa meminta bolanya, meneruskan jogging sembari melakukan dribble santai, "Final nanti pasti dateng ya, Di?"

Kuacungkan jempol dengan senang hati, "Pasti."

"Janji?"

"Janji."

Padahal tanpa disuruh janji pun aku pasti akan datang. Malah aku sendiri tidak sabar. Biasanya di tribun aku harus sabar-sabar duduk bersama Awan yang cemberut sepanjang quarter. Semisal ia benar-benar sudah tidak uring-uringan mengenai basket, berarti Awan sudah tidak punya keberatan untuk hadir memberi dukungan pada sahabatnya yang turun main. Pasti menyenangkan bisa menonton pertandingan final sambil mendengar komentar-komentar Awan.

Bicara soal komentar, aku jadi kepikiran teman sebangkuku semasa SMP dulu. Iya Andari. Aku tidak tahu sekarang bagaimana, tapi dulu Andari pernah naksir berat sama Angkasa. Ia tidak ikut ekskul PMR, tapi dengan bantuanku dirinya bisa ikut jadi tim medis gadungan di setiap pertandingan tim basket sekolah. Andari happy banget bisa ikut duduk berjaga bersamaku dan tim PMR lain di pinggir lapangan, soalnya ia jadi bisa nonton Angkasa dari jarak dekat. Ada saja komentar-komentar lucu yang Andari lontarkan sepanjang pertandingan. Tapi dari banyaknya komentar random Andari, ada satu yang aku sendiri sangat setuju: Angkasa adalah nyawa bagi tim basket sekolah. Sayang sekali aku dan Andari sudah tidak dekat sewaktu Awan pindah dan masuk tim basket. Aku yakin Andari akan menyebut Awan sebagai kartu AS karena tembakan 3 pointnya sering jadi penentu kemenangan tim.

Seru bernostalgia, tidak terasa kami sudah dekat gedung apartemen Awan. Jadi aku mengajak Angkasa melipir ke Minimarket dekat gedung Apartemen, aku kira Awan sudah menunggu disitu tapi ternyata tidak.

"Kita samperin aja atau gimana, Di?"

Berhubung aku ingat semalam teleponku dijawab oleh Mas Iyan, aku sedikit ragu Awan ada di apartemen sekarang. Biasanya kalau nongkrong dengan teman-temannya yang bukan anak kampus, Awan memang sering tidak pulang, entah menginap di tempat Mas Iyan atau temannya yang lain. "Telepon dulu deh, Sa." Usulku akhirnya.

Setelah menekan dial, Angkasa tidak mendekatkan ponsel ke telinga. Ia tetap memegang benda pipih tersebut sebatas dada tidak lupa mengaktifkan loud speaker untuk memudahkan aku mendengar suara Awan.

"Hm?" buka Awan dengan jawaban menggumam khas orang bangun tidur.

"Lo dimana?"

"Kenapa?"

Aku menarik tangan Angkasa bermaksud mendekatkan ponselnya pada bibirku, "Awan, kamu nggak lupa kan?"

Setelah selorohanku, orang di seberang menjadi hening. Kulipat tangan dengan sebal, sudah pasti dugaanku benar.

Di Balik AwanWhere stories live. Discover now