tiga puluh satu

Mulai dari awal
                                    

"Gue setuju!" Vano menjentiklwn tangannya sekilas dan berakhir dengan menunjuk Bara dengan jari telunjuk dan jempol yang membentuk tanda cawang. Berbeda dengan Vano, Ricard tampak diam. Cowok itu sepertinya kurang setuju dengan solusi Bara.

"Lo mikirin apalagi, sih?" tanya Vano pada Ricard, membuat cowok berkulit putih itu mendongak dan menggeleng.

"Gak papa sih sebenernya, cuma gue bayanginnya kurang seru aja," tatapan Ricard beralih pada Rea sekilas, berpindah ke kaki gadis itu yang dibalut perban elastis sebelum kembali menatap Rea. "Tapi gak papa, ntar biar yang lain aja yang aksi. Lo fokus ke nyanyi lo aja."

Semuanya mengangguk menyetujui, kecuali Rea hanya diam. Kenapa ia rela luka seperti ini hanya untuk Vanya? Sedangkan sebagai balasannya, jadi banyak orang yang harus ia repotkan.

Ini sepadan, kan?

Jika ini untuk jaminannya agar terhindar dari ending mati yang ditentukan oleh penulis pada tokoh Rea?

Semoga.

Ceklek

Semua pandangan tertuju pada pintu UKS yang terbuka. Rea memejamkan matanya erat sebentar sembari menarik nafas dan membukanya sambil menghembuskannya, ketika melihat Nathan-lah yang membuka pintu tersebut.

Suasana di dalam bilik yang ditempati Rea juga berubah karena kedatangan cowok itu. Semuanya diam, menciptakan keheningan yang entah kenapa terasa mencekam.

Nathan berhenti ketika ia telah berdiri tepat di belakang Bara dan Vano. Cowok itu diam sambil menatap lurus ke arah Rea, membuat seisi bilik bingung dengan tingkahnya.

"Eh, Nathan. Kenapa ke sini?" Vano yang menyadari suasananya jadi canggung berusaha mencairkannya dengan buka suara. Nathan menoleh ke arah Vano, menatap tajam cowok itu.

"Bisa tinggalin gue berdua sama Rea?"  Vano yang ditatap Nathan tajam sedikit bingung, tapi kemudian mengangguk.

"Iya, bi-"

"Gak bisa!" Savita dengan tegas memotong pekataan kekasihnya, menatap Nathan tak kalah tajam. Nathan yang mendengar penolakan gadis berkacamata itu menatapnya tajam dengan sebelah alis terangkat.

"Gue ada ngomong sama lo?" Nathan menatap Savita tidak suka.

"Gak ada. Tapi gue gak ngebolehin lo berduaan sama Rea," tanpa takut Savita membalas Nathan dan menatap tidak suka balik cowok itu.

"Emang lo siapa?" Nathan menatap Savita menantang, sedikit maju mendekat ke arah gadis itu.

"Bro, jangan gitulah. Cewek gue anjir!" Vano menarik pundak Nathan dan mendorongnya pelan. Mendapat perlakuan seperti itu, Nathan menatap Vano tidak terima.

"Ya lagian siapa suruh ikut campur," Nathan menghempaskan tangan Vano yang masih berada di pundaknya sambil mengerutkan keningnya kesal.

"Wajar dong gue ikut campur. Rea sahabat gue, anjir. Lagian siapa yang gak was-was kalo sahabatnya berduaan sama mantannya yang suka main fisik?" Savita menatap Nathan dengan mengerut marah. Ia tidak ingin melihat Rea hidupnya diusik cowok brengsek seperti Nathan lagi. Meninggalkan sahabatnya berduaan dengan cowok sejenis Nathan adalah ide buruk menurutnya.

Nathan semakin mengerutkan keningnya kesal mendengar penuturan Savita. Siapa gadis itu bisa mengatainya dan mengatur-ngatur?

"Sav, udah. Biarin mereka ngobrol dulu aja. Tungguin di depan kalo dia aneh-aneh. Ya?" Vano berusaha menenangkan Savita dengan mengelus pundaknya. Melihat Savita lebih tenang, Vano beralih menatap Rea. "Re, gimana?"

"Hmm," Rea hanya membalas dengan deheman pertanda setuju. Sebenarnya ia malas berhadapan dengan Nathan, tapi ia pikir hal itu harus segera diluruskan agar cowok ini paham.

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang