Bara mendengus malas, dia tahu Brisya sedang menggodanya. Wanita itu tidak jauh berbeda dengan Mommy, Mama Caitlin, dan Mama Michelle yang senang menggodanya.

Sebenarnya jika dilihat dari urutan silsilah keluarga, Brisya adalah neneknya. Ayah Brisya dua bersaudara dengan ayah dari neneknya. Berarti Daddy-nya merupakan keponakan Brisya. Namun, karena dia hanya satu tahun lebih tua daripada Daddy, jadi, Daddy-nya hampir tidak pernah memanggil Brisya dengan panggilan Tante. Begitupula Bara dan Beltran yang tidak pernah memanggilnya nenek. Jika tahu, Brisya tentu akan memarahi mereka. Dia belum setua itu.

Kembali pada kenyataannya, setelah tersenyum senyum memandangnya penuh arti, Brisya segera berlalu dari sana.

Dia melihat Agatha yang meliriknya penasaran, seolah bertanya apa dia kenal dengan dokter tersebut.

"Tante gue" jawab Bara membuat Agatha manggut-manggut. Kemudian mereka masuk keruangan Alinza. Melihat gadis itu yang sudah tersadar.

"Alin, maafin Mama, nak." Rana memegang tangan putrinya, menangis.

Alin hanya memandang Rana. Kemudian mengangkat tangannya untuk menghapus air mata Mama-nya. "Mama nggak perlu minta maaf, Mama nggak salah. Alin...yang perlu minta maaf sama Mama. Maafin aku"

Rana mengelus surai lembut anaknya, " maafin Mama juga"

Gadis itu mengangguk, kemudian mengedarkan pandangan melihat Agatha dan Bara yang berdiri dibelakang Mama-nya.

Agatha mendekat, "lo udah ngerasa baikan?"

Dia mengangguk pelan, "udah kok, lo nggak perlu khawatir."

Baru kemudian Agatha dapat menghembuskan nafas. Lega mendengarnya.

Namun, sebenarnya Alin mencari satu orang lagi.

Seseorang yang dia lihat dengan samar. Seseorang yang dia lihat dalam sisa kesadarannya yang bahkan dia sendiri tidak yakin apakah benar atau hanya mimpi. Dengan sisa kesadarannya yang masih sedikit, dengan pandangannya yang agak buram, dia melihat seseorang yang membawanya ala bridal style. Bukan Bara.

Meski entah itu kenyataan atau dirinya yang benar-benar bermimpi, tapi jauh dari hatinya yang paling dalam, ada secercah harapan orang itu berada disini. Menemaninya. Saat ini.

Alin menghembuskan nafas, lagi-lagi dirinya terlalu berharap.

***

Sehabis keluar dari rumah sakit, Bara langsung menuju parkiran. Dia berjalan sendirian karena Agatha yang belum mau pulang.

Masuk kedalam mobil, lelaki itu menoleh pada seseorang dengan wajah khawatir seolah sedang menunggu kabar darinya.

"Dia baik-baik aja" sahut Bara sambil memasang seatbelt.

Elvano menghela lega.

"Kenapa lo nggak ikut masuk?" tanya Bara agak heran, lalu menyambung dengan ragu, "dia nyari lo"

Elvano terdiam mendengarnya, selang beberapa detik kemudian lelaki berdarah Spanyol-Swiss itu terkekeh, mendorong bahu Bara pelan, "ngaco lu!"

"Ngapain dia nyariin gue? gue sama dia gaada hubungan apa-apa" tawanya yang justru terdengar hambar.

***

Seminggu berlalu, orang-orang yang menculiknya telah diamankan. Setelah pulang dari rumah sakit, Alin masuk sekolah seperti biasa walaupun Agatha sempat melarangnya, Adara yang mengkhawatirkannya juga menyuruhnya untuk beristirahat dirumah.

Bara juga beberapa kali mampir kerumahnya, entah apa tujuan lelaki itu, tapi sepertinya dia khawatir. Alin tidak tahu mengapa Bara terlihat begitu khawatir, namun aneh sekali. Alin justru menganggap perlakuan Bara pada dirinya itu normal. Padahal orang-orang pasti berpikir Bara menyukainya. Tapi Alin tidak berpikir begitu, karena dia tahu....Bara menyukai Agatha.

Seperti saat ini, lelaki itu sedang berada dirumahnya yang sepi. Mamanya baru berangkat tiga hari yang lalu ke Jerman. Alin tidak bisa berbuat apapun selain mengerti keadaan dan segala kesibukan Rana. Rana bekerja keras juga demi dirinya.

"Kakak pulang aja, " Alin meringis, segera meralat kalimatnya saat Bara menoleh dengan alis tertaut, "maksudnya, ini kan udah malem, nanti Tante Queen nyariin. Kak Bara kan juga perlu istirahat, aku bisa jaga diri kok."

Lelaki itu melirik arloji ditangannya. Ah, ya benar. Ini sudah larut, tidak enak juga bila dilihat tetangga.

Alin mengantarkannya kedepan. Gadis itu menatap punggung Bara yang mulai berjalan menjauh.

"Kak," serunya dengan suara pelan, membuat lelaki menoleh. Alin mengulas senyumnya, senyum paling tulus yang tercipta begitu saja seolah tersambung dari hatinya. "Makasih ya..."

"Makasih karena udah mau peduli sama aku" senyum berubah kecut. Seakan tidak ada yang benar-benar memperdulikannya selain Bara.

Mungkin Alin sudah berbaikan dengan Rana. Dia juga yakin Rana menyayanginya atau mungkin Rana juga sangat memperdulikannya. Tetapi sejauh ini, Alin rasa Bara jauh lebih memperdulikannya dibanding Rana. Atau karena Rana yang tidak menunjukan kepeduliannya secara terus terang. Entahlah, tapi dia hanya ingin berterimakasih kepada Bara.

"Makasih untuk semuanya" Alin masih mempertahankan senyumnya.

Bara tak banyak menjawab, dia hanya mengangguk. Lalu melanjutkan langkahnya seperti biasa. Alin hanya tidak tahu, dibalik punggung itu, ada sebuah senyum yang disembunyikan oleh malam. Senyum yang tertarik begitu saja, senyum yang menggambarkan langsung isi hatinya.

Alin memandang punggung itu dengan pandangan yang kosong. Sampai mobil Bara hilang dari halaman rumahnya, baru ia tersadar dari lamunan kosongnya.

Alin dan Bara. Mereka.....hanya tidak tahu bahwa mereka saling terikat. Fakta bahwa mereka memiliki darah yang sama yang mengalir dalam nadi mereka, tidak satupun dari mereka yang mengetahuinya.

***

TBC

paham kan kenapa Alin itu paling banyak muncul dicerita ini hehe.

Published July 24th, 2021.

Harmony ; family relationshipWhere stories live. Discover now