15

442 89 44
                                    

Sejujurnya Widan benci menginjakkan kakinya di rumah sakit. Sejak kecil hidupnya lebih banyak dihabiskan di kamar perawatan dibandingkan di rumahnya sendiri. Makanya dia cukup muak mencium bau rumah sakit.

Beruntung sekarang dia memiliki dokter pribadi yang juga saudara kembarnya sendiri. Jadi dia tak perlu repot untuk bolak-balik ke rumah sakit lagi. Wisnu cukup melakukan pemeriksaan di rumah, toh kondisi Widan juga sudah tidak seburuk dulu.

Namun sekarang Widan terpaksa kembali melangkahkan kakinya di lorong rumah sakit yang sudah sangat dia hapal ini. Matanya bergerak mencari-cari nomor kamar yang tadi sudah Jovanka beritahukan lewat chat sebelumnya.

Widan berdiri terpaku menatap nomor kamar di hadapannya. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, baru setelah itu tangannya bergerak untuk membuka pintu kamar tersebut.

Cowok itu melihat Jovanka sedang duduk menangkupkan kepalanya di samping papanya yang terbaring di ranjang. Sepertinya gadis itu sedang tertidur dilihat dari napasnya yang teratur.

Perlahan Widan melangkahkan kakinya mendekat ke arah gadis itu. Cowok itu mengusap pelan rambut Jovanka, berusaha untuk tidak membangunkannya. Matanya melihat ke alat-alat yang terpasang di tubuh pak Mahesa, semuanya nampak familiar karena dia pernah merasakan berada di posisi tersebut.

"Nghh..." Jovanka menggeliat pelan. Sadar kalau dirinya ketiduran, gadis itu perlahan mengangkat kepalanya dan menepuk pipinya sendiri untuk menyadarkan dirinya.

Widan tersenyum melihat pemandangan di sampingnya. Nampaknya gadis itu masih belum sadar kalau Widan sudah datang dan berdiri di sebelahnya.

"Sorry, lo kebangun gara-gara gw ya?"

Jovanka menoleh cepat, hampir saja dia berteriak saking kagetnya. Untungnya dia cepat menutup mulutnya sendiri ketika sadar Widan lah yang berada di sampingnya.

"Ya ampun Dan, ngagetin aja..." ucap gadis itu sambil mengelus dadanya, berusaha menenangkan detak jantungnya.

Widan tertawa melihat reaksi gadis itu. "Padahal gw udah berusaha ngomong sepelan mungkin loh biar lo gak kaget."

"Udah sampe dari tadi?" Jovanka bangun dari duduknya. Gadis itu buru-buru mengusap wajahnya dan merapikan rambutnya. Walaupun sebenarnya dia tahu itu tidak akan banyak membantu. Tampangnya pasti sangat kacau sekarang.

"Gak kok, barusan aja." Tangan Widan refleks ikut bergerak membantu merapikan rambut gadis di hadapannya tersebut. Matanya mengamati wajah Jovanka yang nampak pucat, serta matanya yang terlihat membengkak. Entah kurang tidur atau terlalu banyak menangis, begitu pikir Widan.

"Sorry ya Dan, gw lupa ngabarin kalian kalo hari ini gak bisa dateng latihan. Gw panik banget semalem liat bokap gw tiba-tiba jatoh pingsan gitu. Bahkan gw baru sadar tadi kalo hape gw mati..."

Jovanka berusaha nampak tenang menjelaskan kejadiannya ke Widan. Namun cowok itu dapat melihat tubuh Jovanka yang bergetar. Widan tahu gadis itu sedang mati-matian menahan tangisnya.

Widan perlahan merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Dia mengusap punggung Jovanka pelan, berusaha menenangkan sekaligus memberi kekuatan untuk gadis itu.

"Kalo lo mau nangis, nangis aja jangan ditahan. Keluarin aja semuanya biar lo lega," bisik Widan pelan di telinga Jovanka.

Tangis Jovanka akhirnya pecah di pelukan Widan. Gadis itu benar-benar merasa takut sekarang. Dia bahkan terjaga semalaman di samping papanya, berharap papanya itu cepat membuka matanya kembali.

Perlahan, tangis gadis itu mulai mereda. Setelah merasa Jovanka sudah agak tenang, barulah Widan melepas pelukannya. Jovanka buru-buru mengusap matanya, lalu kemudian membersihkan sisa-sisa air mata di wajahnya.

But I Still Want YouWhere stories live. Discover now