☁️13: Di Balik Keluh Kesah☁️

Mulai dari awal
                                    

“Orang gue pengen jagung bakar.”

Aku tidak pernah merasa sangat mengenal dirinya tanpa Awan menunjukkan kembali gestur mengelak barusan. Dia masih anak SMP yang selalu menungguku di lapangan basket. Tidak ingin kalah dan tidak begitu peduli tentang persetujuanku—yang Awan rasa perlu dipastikan hanyalah bola basketnya masuk ke keranjang sepedaku. “Iya deh.”

Dengan persetujuanku, kami pun meluncur ke seberang. Sebenarnya lapak penjual jagung bakarnya nggak benar-benar berwujud sebuah tempat. Itu cuma gerobak dan alat bakar di tepi jalan raya arah alun-alun. Bahkan nggak ada kursi plastik di sini. Kalau nggak mau duduk nangkring di atas kendaraan, ya pilihannya cuma duduk di pinggiran trotoar. Buat muda mudi macam kami yang prinsipnya nggak ambil pusing, trotoar pun jadi. Kami malah asyik selonjoran kaki sehabis memesan 2 jagung bakar pedas manis dengan request tidak usah diserut karena aku dan Awan sama-sama setuju kalau makan jagung tanpa pegang batangnya itu nggak sah.

“Lo masih marah, Bi?” Awan membuka topik, mungkin agar kami tidak tampak seperti dua orang asing yang duduk bersebelahan tanpa obrolan.

Aku meniru caranya menopang punggung dengan meletakkan telapak tangan ke belakang, “Kapan gue marah emangnya?”

Ia menolak menjawabku. Tapi aku tetap bisa membaca penekanan dari wajahnya, you know what I’m talking about.

“Gue khawatir aja, Wan.” Jujurku. Posisi rileks ini tidak lagi terasa nyaman jadi aku menekuk lutut sebelum melanjutkan bicara, “Soalnya gue kira lo sama Windi—“

“Seperti yang gue jelasin.” Potong Awan, lalu menyambungnya dengan kalimat yang sudah bisa aku duga, “We’re nothing but friends.”

Aku mengusap lengan dengan kikuk. Ini sudah yang kedua kali tapi rasanya tetap aneh. Awan mengulang eksplanasinya dengan menyusun macam-macam versi, seakan-akan itu adalah sesuatu yang kuminta darinya untuk menenangkanku.

“Khawatirin apa yang lebih perlu, Bi. Tugas Akhir lo misalnya.”

Benar juga. Barang sejenak, memikirkan apa yang sedang aku lakukan atau apa sedang terjadi di antara kami nyatanya memang cukup menambah kusut pikiranku. Padahal jelas di hadapanku ada hal yang lebih penting—revisi, deadline juga tahap-tahap pengerjaan Tugas Akhir yang menanti di depan, itu semua butuh kukerjakan dengan fokus penuh jika aku tidak mau membuatnya berantakan.

Kutengadahkan kepala dan menutup mata sembari mengulang-ulang perkataan Awan dengan hati terbuka. Benar. Mulai sekarang, tidak usah membagi pikiran. Persoalan yang lain, biar berjalan sebagaimana mestinya.

“Apes banget deh gue. Habis gap year, malah langsung ketemu TA.”

Kemudian, sambil makan jagung yang baru matang, bincang-bincang kami betulan beralih seputar perkuliahan. Kata gap year yang aku sebut tadi sedikit banyak membantu Awan menjawab kebingungannya. Terutama mengenai perbedaan semester kami. Tiba-tiba jadi terbayang semisal waktu itu aku memilih daftar di kampus sebelah, sehingga Awan adalah kakak tingkatku. Dengan random aku tanya pada Awan apa aku harus panggil dia dengan embel-embel ‘Kak’ dan seketika saja kami berderai tawa.

Selanjutnya, kami saling mengherankan pilihan jurusan masing-masing. Dengan sedikit banyak bisa punya gambaran seputar tugas akhirku, Awan sudah menduga kalau aku mendalami ilmu bisnis. Yang mana terkesan banting setir sekali sebab ia tahu aku suka melukis dan seni. Walaupun miris ujungnya aku tetap jujur mengakui kalau aku memang merasa salah jurusan. Yang nggak aku sangka, cowok itu ikut memasang wajah miris yang sebelas dua belas denganku karena ternyata jurusan hukum yang Awan ambil juga bukan sesuai keinginannya.   

“Gue juga kuliah hukum rasanya beneran kayak lagi dihukum.”

“Lo sering jengkel nggak sih, Wan?” timpalku dengan suara murung, “Orang terus-terusan bilang gue nggak bersyukur. Padahal bisa kuliah itu udah untung, tapi gue malah ngeluh. Gue coba ‘jalanin aja’ seperti kata mereka. Tapi rasanya gue selalu hilang arah karena nggak pernah semudah kata mereka buat jalanin apa yang gue nggak yakin.”

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang