☁️13: Di Balik Keluh Kesah☁️

Começar do início
                                    

Kututup laptop dan merapikan charger. Aku lantas bangkit dan melangkah ke kulkas karena tenggorokanku rasanya kering. Beberapa teguk air kedengaran bagus untuk menjernihkan suasana hati dan setumpuk hal semrawut dalam kepala. Merasa cukup segar, aku kembali mengecek ponsel. Wajahku ceria membaca balasan Mas Iyan yang sudah kutunggu-tunggu.

Calm down Kak Bi

Tukang servisnya otw ke kost

Aku cuma menebak Mas Iyan mengirim salah satu temannya yang kebetulan nongkrong di tempat print ke kost buat ambil laptopku. Lalu ketika pekerjaannya selesai nanti, Mas Iyan bakal pergi ke tempat servis untuk memeriksakan laptopku lebih lanjut.

Kubereskan kekacauan di kamarku sekenanya. Kemudian menarik keluar tas laptop yang sehari-hari kuselipkan dalam lemari agar teman Mas Iyan tidak harus berlama-lama menunggui aku menyiapkan laptop beserta perintilannya. Orang tersebut sudah cukup berbaik hati meluangkan waktu dan kupikir dengan melakukan hal kecil ini, paling tidak aku tahu cara menghargai orang dan juga tidak sepenuhnya jadi gadis yang merepotkan.

Mendengar pintu kamarku diketuk, buru-buru kuputar kunci tanpa mengintip lewat tirai jendela seperti yang biasanya kulakukan. Berhubung aku memang hanya sedang menunggu satu orang. Kutahan daun pintu dengan agak kebingungan. Menurutku ini berlebihan. Aku tahu aku sudah menyerah mengusir bayangan Awan dari otakku apalagi setelah percakapan kami di atas motornya. Tapi masa sebegininya? Masa harus sesering ini mataku salah memvisualisasi siapapun sebagai cowok itu?

“Hai...”

Astaga, masa sampai suaranya juga?

“Kata Iyan laptop lo lagi bermasalah ya?”

Tunggu-tunggu, aku sudah kedip-kedip lebih dari lima kali tapi kenapa wajah yang kulihat masih sama?

“Tempat Iyan lagi rame sekarang. Misal lo ke tempat servisnya sama gue aja gimana, Bi?”

Untuk kedua kalinya, aku memerosotkan bahu. Kali ini sebab aku tidak habis pikir sendiri. Bahkan berada di dalam kamar kost sepanjang hari juga tidak berhasil menghalangi Awan untuk menemukanku. Serius, jika Awan menganggap usahanya untuk mendekat ini seperti tantangan, memangnya apa sih yang ingin ia menangkan?

☁️⭐☁️⭐

Kami naik sepeda. Bukan sengaja supaya romantis karena siapa sih yang bisa-bisanya punya anggapan begitu? Noda basah yang tercetak pada kaos di area bawah leher Awan itu nggak menjelaskan hal lain kecuali satu kata: capek. Di belakangnya aku mendengkus geli. Dasar! Awan sepertinya lupa ia dan aku sudah sama-sama meninggalkan rutinitas bersepeda setiap pergi dan pulang sekolah sejak beberapa tahun. Bahkan buat ukuran pemain basket, Awan nggak bisa bohong kalau tenaga goesnya sudah nggak setangguh dulu.

Di kost aku memang hanya punya sepeda, soalnya menurut Ibu aku tidak perlu dibawakan motor dengan jarak kost ke kampus yang sedekat itu. Tapi semisal Awan nggak kekeh, kami punya banyak pilihan kok. Misalnya, ambil motor Awan di parkiran kampusnya—sekedar info, jadi buat datang ke kostku tadi Awan memilih jalan kaki, nggak nemu motor yang bisa dipinjam karena hari ini Mas Iyan berangkat kerja dengan nebeng teman—walaupun agak muter-muter, kataku sih opsi tersebut masih lebih mending ketimbang malah harus memboncengku sepanjang beberapa kilometer begini. Dipikir aku nggak berat apa?

Eh, kok aku jadi menggerutu? Padahal Awan capek-capek juga perkara bolak-balik mengantarku. Maaf deh Awan, aku resah kepikiran laptopku yang harus menginap seminggu di tempat servis, terus gara-gara sekarang adanya cuma kamu, jadi deh kamu yang kena.

Tubuhku terdorong maju ketika Awan menekan rem. “Nyerah? Mau gantian?” aku membuat seringai meledek yang segera ia sangkal dengan menunjuk tempat di seberang kami.

Di Balik AwanOnde histórias criam vida. Descubra agora