☁️11: Di Balik Ketidaktahuan☁️

Mulai dari awal
                                    

Jujur saja aku sudah tahu ia akan menyampaikan ajakan itu. Dan aku juga sudah memilih responku. Awan tidak bisa menutupi rasa kecewanya setelah melihatku menggelengkan kepala pelan.

“Gue nggak lagi sama siapa-siapa.”

Penegasan Awan sempat menahanku dari langkah beranjak yang hendak kumulai. Aku perlu mengatur napas sejenak untuk menguasai diri. Apa semua cowok memang mahir memainkan nada bicaranya ketika sedang berusaha mengubah pikiran seorang gadis? Atau permainan ini memang keahlian Awan? Atau... aku saja yang selalu lemah terhadapnya?

Nggak. Nggak boleh. Aku bisa menghindarinya dengan cukup baik semalam. Dan tidak ada alasan untuk jadi plin plan sekarang.

“Termasuk Windi. Gue sendirian kok, Bi.”

Aku berbalik dan menghadapinya kembali. Kupikir aku perlu menggeleng satu kali lagi, dan kali ini harus kulakukan dengan yakin untuk memberitahu Awan kalau ia benar-benar tidak perlu menjelaskan itu. “Sori tapi gue yang lagi nggak sendirian.”

☁️⭐☁️⭐

Aku duduk cemberut di depan pos satpam. Belum habis merutuki Andari meski orangnya sudah hilang dari setengah jam lalu. Bisa-bisanya dia pesan barang tapi malah aku yang harus repot mengambil pesanannya itu. Mana segala minta ditalangin dulu. Mau nolak juga gimana, Andari bilang dia dapat sms dari ibunya agar cepat-cepat pulang. Dia nggak jelasin ada urusan mendesak apa, tapi yah... awas saja kalau ternyata itu cuma akal-akalan Andari supaya dia bisa buru-buru malam mingguan sama gebetan baru.

Iya, Andari memang cuma minta tolong buat hal yang nggak seberapa. Masalahnya, Andari beli barang dari olshop milik anak kampus sebelah—exactly, teman sekampusnya Awan. Sebelnya lagi, mbak olshopnya tadi chat kalau dia ada rapat organisasi mendadak sampai malam. Jadi kalau mau ambil pesanan, aku yang harus nyamperin kesana. Jadi intinya aku bukan mengeluh perkara merasa direpotkan. Tapi nggak habis pikir dengan kelakuan sotoy Andari. Padahal dia kan yang paling tahu aku sedang dalam misi menghindari Awan.

Lebay lo, ah! Kota ini nggak sesempit bangku lipet anak kuliahan kali. Masa iya lo bakal ketemu terus sama Awan.

Wah wah, Andari kamu pasti lupa ya apa yang suka dibilang sama penulis novel-novel romantis: ‘Semesta kadang suka bercanda.’ Mulai di Minimarket, pujasera, rumah Windi sampai tempat fotocopy—yang sudah-sudah aku bisa ketemu Awan dimana saja. Bahkan di tempat dan waktu yang paling nggak terduga. Terus gimana aku bisa positif thinking kalau Awan nggak bakal muncul sementara jelas-jelas sekarang aku lagi duduk di pos satpam depan kampusnya.

“Loh, Bi?”

See, Andari? Aku sudah terlalu sering dibecandain sama semesta.

Awan membuka kaca helmnya setelah yakin kalau yang baru ia tegur benar-benar aku. “Salah kampus?”

Aku tersenyum kecut meladeni ledekan Awan. Bagus banget. Aku sedang kesal dan cowok ini malah datang dengan lelucon garingnya.

“Ngapain di pos satpam, Bi?”

“Engga. Ini si Andari beli barang terus minta tolong gue buat ambilin. Mbaknya yang jualan anak kampus sini.”

“Oh... terus kenapa nggak masuk aja?”

Kepalaku melongok kearah kaca mencari keberadaan pria berkumis lebat yang tadi menghalangi jalanku dengan alasan orang berseragam kampus lain nggak boleh masuk. Ternyata si Bapak masih asyik nonton sesuatu lewat TV jadul di sudut posnya, “Tau tuh, ga diizinin sama Bapak satpam.”

Awan menertawai wajah mengadu yang kupasang, “Yaudah sini.” Sebelah tangannya terulur ke belakang untuk menepuk jok motor yang kosong.

“Apa?” Aku memicingkan mata menuntutnya berterus terang.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang