Hongjoong terhenti. Dia menoleh dan melihat ibunya telah berjalan ke arahnya. Wanita itu masih mengenakan jas putihnya. Begitu sang ibu berdiri di hadapannya, Hongjoong mengulas senyum simpul.

Wanita itu tak cukup jeli untuk menyadari pendar berseri di mata Hongjoong kala tersenyum.

Satu pernyataan terlontar dari sang ibu. “Eomma sudah lihat hasil ulanganmu minggu lalu.”

Perlahan raut muka Hongjoong berubah, sementara ekspresi di wajah ibunya masih sama. Hongjoong diam-diam meremas pegangan tasnya dan menelan ludah.

“Kau peringkat dua?” tanya sang ibu, hampir tak terdengar seperti sebuah pertanyaan. “Kenapa tidak langsung beritahu Eomma?”

Wanita itu tersenyum hangat, tapi entah bagaimana tak membuat perasaan Hongjoong menghangat. Kata-katanya memadamkan senyum Hongjoong beserta keceriaannya.

“Aku …” Hongjoong menggumam, tapi dia kesulitan memilah kata-kata. Sejujurnya, malah tak ada satu pun kata yang bisa dia temukan dalam benaknya selain, “Maaf ….”

“Ulangan Kimia dan Sastra sebelumnya kau peringkat satu, kenapa sekarang turun? Apa kau bermain-main?”

Hongjoong menggeleng cepat.

“Ini sudah kedua kalinya di semester ini.”

Inilah yang selalu Hongjoong khawatirkan.

“Kau selalu mendapat nilai sempurna sebelum ini, Sayang.”

Kata-kata itu menyesakkan dada Hongjoong. Cara sang ibu menatap meruntuhkan batinnya. Dia tidak pernah takut dikecewakan. Sebaliknya, dia takut mengecawakan.

Memandang sang ibu amat tak tertahankan, jadi Hongjoong kemudian menunduk. “Aku kurang teliti,” ujarnya—dia mencari pembelaan sekalipun dalam hatinya sendiri sudah meyakini bahwa ini tak bisa dibenarkan. “Maaf. Tidak akan kuulangi lagi.”

“Anak baik.” Wanita itu kembali tersenyum dan mengusap surai sang putra. “Senin depan ujian evaluasi sudah dimulai, bukan? Apa Eomma bisa mengandalkanmu?”

Hongjoong terpaku akan senyum ibunya. Anggun dan cantik, tapi bukan senyum semacam itu yang ingin dilihatnya dari sang ibu.

Hatinya bergolak, tapi Hongjoong tetap membalas seyum tersebut dan mengangguk.

Anak baik.

Hongjoong tidak suka mendengar pujian itu.

Setelah sang ibu berpaling dan melanjutkan pembicaraan di telepon, Hongjoong kembali menaiki anak tangga. Dia melewati ruang kerja ayahnya dan, seperti biasa, dilihatnya pria itu berkutat dengan berkas-berkas pekerjaan.

Hongjoong akhirnya membuka pintu kamarnya. Dia melangkah masuk dan mendadak terpaku. “Hyung?”

Seorang lelaki jangkung berpakaian rapi telah berdiri di depan meja belajar Hongjoong, dan lantas berbalik badan begitu mendengar suara sang pemilik kamar.

“Kapan kau pulang, Hyung?” tanya Hongjoong. Dia masih berdiri di ambang pintu. Meski tak diperlihatkan dengan senyum ataupun mata berbinar, sesungguhnya dia gembira.

Pria itu bertanya, “Dari mana kau?”

“Les privat dengan guruku,” jawab Hongjoong.

“Les? Di luar rumah?”

Sekejap Hongjoong membeku. Intonasi kakaknya terdengar dingin—dia tahu kakaknya memang banyak berubah sejak masuk akademi, tapi kali ini makin kentara. Tatapan sang kakak menyiratkan dakwaan, seolah tak suka.

Tomorrow | ATEEZ Seongjoong [COMPLETE]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz