Dua Puluh Satu

3.8K 548 27
                                    

Aliya memandang derasnya hujan dari balik jendela di ruangannya, sesekali menyeruput kopi hitam untuk memberi kehangatan. Kepala Aliya mendongak, menatap langit kelabu akibat awan gelap yang mendominasi. Bibir Aliya menyunggingkan senyum tipis, mengangkat bahu perlahan, menyandarkan kepala di bingkai jendela. Bahkan langit pun ikut memuntahkan air yang dia anggap sebagai air mata, dan beberapa kali petir sebagai amarah dari kesedihannya.

Kening Aliya mengerenyit saat melihat gerbang terbuka, masuk sebuah mobil yang tidak asing di matanya. Aliya mendengkus, memutar bola mata malas, berbalik badan meninggalkan tempatnya. Aliya duduk di kursi kerjanya, membiarkan kursi kerjanya berputar seperti anak kecil.

Pintu terbuka secara kasar, Cika muncul dengan raut wajah kesal. "Semenjak lo nikah sama adik ipar lo, ada aja orang aneh yang datang ke rumah percetakan. Bikin sebel tahu, nggak!"

Aliya sudah menebak ini pasti akan terjadi, menghela napas, dia berdiri mengabaikan omelan sahabatnya, melangkah melewati sahabatnya begitu saja. Aliya terus berjalan melewati lorong yang menghubungkan ke ruang penerima tamu. Aliya mendengkus melihat punggung Arka dari arah pintu.

"Ada apa lagi? Kamu beneran mau saya buat nggak bisa pergi dari sini?" sapa Aliya bermalas-malasan mendekati Arka.

Rambut Arka sedikit basah, sorot matanya sendu. "Bapak masuk ICU, Ibu menghubungi saya karena Mbak nggak bisa dihubungi."

Aliya mengangguk. "Nanti saya hubungi Ibu."

Arka mendongak, ragu-ragu menatap Aliya. "Mbak, apa Mbak akan percaya kalau saya bilang Alea bukan anak saya?"

Aliya bersedekap. "Kamu ngejek saya apa gimana?" Aliya duduk di sofa yang berhadapan dengan Arka. "Masa dalam satu hari status bisa berubah?" Aliya menggeleng-geleng tak habis pikir.

"Kalau saya sertakan bukti?"

Sebelah alis Aliya terangkat, senyum tipis tersungging. "Silakan, kalaupun memang iya, maaf, saya nggak bisa melanjutkan hubungan kita. Kenapa? Karena saya nggak memiliki perasaan apa pun sama kamu, itu bukan alasan, tapi memang faktanya."

Arka meringis, mengangguk, menyandarkan punggungnya di sofa. "Saya sudah menduga itu, Mbak hanya mencari-cari kesalahan saya agar bisa terlepas dari pernikahan kita, kan?"

Aliya mengangguk mantap. "Usia saya, 34 tahun, sudah sangat matang dalam segala hal. Sedangkan usia kamu baru 28 tahun, rasanya masih masa-masa labil. Mending kamu ikutin saran saya, kembali pada Dini dan bangunlah keluarga kecil bahagia biar nggak ada yang terluka lagi."

Arka mengembuskan napas berat, mengusap wajah kasar. "Saya sudah datangi Dini sesuai saran yang Mbak anjurkan, tapi, ada fakta yang membuat saya bingung dan harga diri saya terluka. Dini bilang, Alea bukan anak saya."

Pupil mata Aliya membesar, bibirnya terbuka lebar. Lalu, beberapa detik kemudian tertawa terbahak-bahak. "Aduh, aduh, mainnya masih kayak bocah. Kamu mati-matian menutupi fakta bahwa Alea adalah anak kamu, dan Dini dengan seenak jidat bilang bukan anak kamu? Wah, wajib dikasih pelajaran sih dia," seloroh Aliya mengejek Arka. Aliya mencondongkan tubuhnya, menatap Arka lekat. "Ada dua kemungkinan dari pernyataan Dini. Satu, dia terlalu terluka karena perbuatan kamu, kedua, dia lelah terus kamu bohongi."

Arka bergeming.

Aliya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, bersedekap, tak melepaskan pandangannya dari Arka. "Kamu nggak bisa menarik hati saya, karena kamu bukan tipe saya, Ar. Kalau memang kamu percaya dengan yang dikatakan Dini, kenapa nggak melakukan tes DNA pada Alea untuk meyakinkan benar apa enggak. Tapi, Ar, yang pasti, saya nggak bisa melanjutkan pernikahan kita, karena terlalu banyak kecewa."

Aliya beranjak dari duduknya, menganjurkan tangan ke arah pintu utama. "Saya minta baik-baik kamu keluar dari sini, dan jangan pernah muncul di depan saya lagi."

Arka masih bergeming, mengabaikan perintah Aliya.

"Keluar dan pergi, Arkana!"
Arka berdiri, mendekati Aliya, dengan gerakan cepat menangkup pipi Aliya memagut bibir Aliya secara menggebu sembari meluapkan amarah dan kesedihan dalam dadanya. Apa yang Aliya katakan tentang perbedaan mereka memang benar, tetapi untuk saat ini yang dia butuhkan adalah sandaran untuk meredam berbagai perasaan yang bergejolak dalam dadanya.

Pagutan terlepas, Arka masih tak melepaskan Aliya, dia menempelkan keningnya di kening Aliya, napasnya memburu, matanya berubah sayu. "Tolong, Mbak, sekali ini saja biarkan saya menumpahkan perasaan manusiawi yang saya miliki. Saya lelah, Mbak, beban yang saya tanggung dari saat bersama Kayla sampai detik ini sudah menggunung," lirih Arka sarat keputusasaan.
Benar, Arka merasa dibombardir lahir dan batinnya. Aliya meninggalkannya, Dini mempermainkannya, dan bayang-bayang pria terburuk menghantui hidupnya, alangkah lebih baik jika dia saja yang mati daripada Kayla. Cairan bening keluar dari sudut mata Arka, gejolak pedih dalam dadanya menghantam semakin kuat.

"Saya butuh Mbak, tolong, lupakan dulu sejenak semua kesalahan saya." Perlahan Arka mendekap Aliya, meresapi rasa hangat dari tubuh Aliya yang mejalar ke seluruh tubuhnya. Arka memejamkan mata, air mata bergulir deras, menunjukkan kerapuhan yang selama ini dia pendam sendiri.

Aliya tidak lagi meronta, tangan yang semula berada di samping tubuhnya perlahan naik mengusap punggung Arka. Untuk saat ini, dia tidak boleh egois, karena baru saja dia merasakan hal yang sama, berada di titik terendah. Mungkin dia harus berpikir ulang dengan kepala dingin dan otak yang jernih, mempertimbangkan baik dan buruknya lagi tentang Arka. Aliya baru sadar bahwa Arka juga korban dari perbuatan Dini, karena dia tidak sepenuhnya tahu apa yang terjadi pada mereka saat itu.

Aliya mengembuskan napas berat, ternyata urusannya belum benar-benar selesai.

Ibu Pengganti (Tamat)Where stories live. Discover now