Tujuh

3.1K 745 101
                                    

Belum nyampe target, tapi nggak apa-apa. Mon maap, ye, Mamak nggak balasin komentar karena kuota tipis-tipis. Hihi

Semoga sukaa yaa

Hepi reading lope~lope

***

Kening Aliya mengerenyit heran melihat Arka berdiri di depan gerbang rumah percetakan, melirik kiri-kanan tak mendapati siapa pun yang menjadi faktor pendukung keanehan sikap Arka hari ini. Aliya menghela napas, melanjutkan langkahnya mendekati Arka.

"Perasaan tadi kagak ada hujan, petir sama badai deh, kok mendadak ada orang nggak di undang datang kemari?" sarkas Aliya sembari bersedekap, menyorot penuh selidik.

Arka mempertahankan senyumannya, bersikap sebaik mungkin agar bisa merubah mood Aliya menjadi baik. "Kebetulan di kantor selesainya cepat, jadi bisa jemput Mbak dulu ke sini."

Aliya mengangguk-angguk. "Tapi saya bawa mobil, gimana, dong?"

Arka melirik mobil yang terparkir samping rumah percetakan. "Disimpan di sini aman, kan?"

"Enggak."

Arka mengangguk. "Di sini ada Satpam, Mbak, pakai gerbang juga, nggak mungkin nggak aman."

Aliya berdecak, merapikan rambutnya, lalu mengikatnya asal. "Gini deh, Ar, jangan basa-basi langsung aja ke pokok alasan kamu datang ke sini."

Arka mengusap tengkuknya, tersenyum kikuk. "Alasan saya ya mau menghibur Mbak, dan supaya kita bisa lebih dekat lagi, saling mengenal dan memahami."

Seketika Aliya tertawa sumbang. "Kamu naif banget, Ar, nggak ada yang bisa mengenal satu sama lain, apalagi saling memahami." Aliya maju tiga langkah, mengikis jarak dengan Arka. "Kamu nggak kenal saya sepenuhnya, bagaimana bisa kamu memahami saya? Bahkan orang tua saya sendiri aja nggak mengenal saya."

Arka tidak lagi menyahut, hanya sorot matanya lebih tajam, menyelidik ke dalam bola mata cokelat terang milik Aliya. Arka mendesah pasrah, tidak ada yang bisa dia temukan dari mata itu. "Kalau begitu, saya bisa jadi orang pertama yang mengenal dan memahami, Mbak."

Senyum yang mengembang dari bibir Arka membuat dada Aliya bergemuruh, mencebik dalam hati, mencibir ucapan kadal di depannya itu. "Jangan terlalu berharap dengan pernikahan ini, Ar, karena cepat atau lambat kita pasti bakal berpisah. Kenapa? Karena saya paling nggak suka dibohongi, dan kamu memulainya dengan kebohongan." Aliya berbalik, meninggalkan Arka yang bergeming tak membalas ucapannya lagi.

Aliya tersenyum miring, dia tidak sedang diam, hanya menyiapkan strategi untuk kabur dari pertarungan tanpa harus menjadi pecundang.

***

"Alea mau makan apa? Mama Dini buatkan," tawar Dini pada gadis kecil yang duduk di kursi makan menunggu kepulangan ayahnya. "Papa bentar lagi pulang, jadi, Alea sama Mama Dini dulu, ya." Dini mengusap puncak kepala Alea.

Mata Alea berkaca-kaca, tidak menyukai sikap wanita dewasa di depannya ini. "Alea mau nunggu Papa sama Mama Aliya aja."

Mata Dini berkilat, sedetik kemudian berubah berbinar hangat. "Lho, lho, Mama Dini kan sudah bilang, kalau itu bukan Mama, tapi Tante Aliya. mama kamu itu ya Mama Dini sekarang. Anak pinter harusnya nurut dong sama ucapan orang tua kan, ya?"

Aliya sampai ke rumah lebih dulu, bergegas masuk ke rumah setelah memarkirkan mobil di garasi. Kening Aliya mengerenyit mendengar suara dari arah ruang makan, seingatnya Alea belum pulang di rumah ibunya, berarti pengasuh Alea juga tidak ada di rumah. Aliya berbelok ke ruang makan, mengintip dari dinding pembatas antara ruangan kosong dan ruang makan.

"Alea sayang sama Tante Aliya, Tante Aliya baik, nggak jahat!"

Dini menepuk-nepuk puncak kepala Alea, berdesus menenangkan. "Eh, Mama Dini sudah bilang juga, kalau Tante Aliya itu jahat. Buktinya, Tante Aliya menikah sama Papa, menggantikan Mama Kayla. Itu artinya Tante Aliya jahat, kan?"

Aliya menggeleng-geleng mendengar hasutan dari wanita badut tersebut, mengusap keningnya yang berkeringat karena harus menahan emosi.

"Ayo, makan dulu, Sayang," ajak Dini setengah memaksa.

Aliya sekarang tahu penyebab perubahan sikap Alea, tidak lain dan tidak bukan adalah wanita badut itu.

"Alea mau nunggu Papa!"

Aliya menyingkur, menyembunyikan diri di sela tembok ketika Alea berlarian ke kamar. Alea mendengkus saat mendengar wanita badut itu memanggil-manggil nama Alea. Suara wanita badut itu semakin dekat, dengan cepat Aliya menahan bahu wanita itu, mencengkeramnya kuat.

"Ternyata kamu yang bicara sembarangan tentang saya ke Alea, heh?" Aliya menyeringai melihat Dini meringis kesakitan. "Kamu sekretarisnya Arka, kan? Terus, kenapa kamu memanggil diri kamu 'Mama'? Mau merangkap jadi ibu pengganti kamu?" Aliya sudah gemas sejak pertemuan pertama, dan beruntung kali ini dirinya diberikan kesempatan untuk meluapkan kekesalannya pada orangnya.

"Sakit, Bu!"

Aliya semakin menekan bahu Dini. "Apa? Pegal, ya? Saya bisa pijat kalau kamu mau."

Wajah Dini memerah, tubuhnya memberontak minta dilepaskan. "Sakit, lepaskan!"

Bibir Aliya membulat, mendorong bahu Dini, sesekali menepuk tangannya. "Kamu sudah lancang banget, lho, untung saya lagi baik hati."

Dini menyorot tak suka, mengusap bahunya yang terasa kebas. "Memang salah saya apa, Bu? Ibu nggak tahu apa-apa, orang baru dalam kehidupan Pak Arka, jangan berlagak."

Aliya melotot, bercak pinggang. "Kalau saya berlagak, kenapa kamu yang heboh? Memang kamu ini siapa?" tanya Aliya dengan nada mengejek.

Dini mencebik, menyeringai. "Saya punya hubungan khusus sama Pak Arka, saya harap, Ibu nggak berharap lebih pada Pak Arka."

Aliya tertawa, terbahak-bahak memegangi perutnya. "Apa kamu bilang?" Aliya mencondongkan tubuhnya, mendekatkan telinganya ke arah Dini. "Apa? Ulangi coba."

"Saya punya hubungan khusus sama Pak Arka, dan saya harap, Anda nggak berharap lebih pada Pak Arka."

Aliya tersenyum manis. "Nggak ada yang bisa diharapkan dari seorang Kadal asal kamu tahu." Aliya menjetikan jari tangannya. "Kamu bilang begini mau buat saya terpuruk? Wah, salah rencana kamu." Aliya berdecak, menggeleng-geleng. "Sebelum kamu hancurkan pernikahan kami, kamu dulu yang saya hancurkan."

Dini bergidik melihat sorot mata Aliya yang memancarkan ancaman kepadanya. Dini mengepalkan tangan, mengangkat dagu berani. "Sayangnya, saya sudah pernah menghancurkan seseorang, dan kamu orang selanjutnya." Dini berbalik, hendak pergi, tetapi seketika rambutnya yang disanggul dijambak kuat.

"Biasanya orang yang lebih hebat dalam berbicara adalah definisi dari orang yang sebenarnya nggak becus apa-apa. Kamu jual, saya beli. Muncul di depan saya dengan sikap angkuh tadi, saya buat kamu merasa remuk sebadan." Aliya mendorong tubuh Dini hingga tersungkur, menghela napas panjang, menggeleng tak habis pikir, Dini berhasil memancing emosinya.

Ibu Pengganti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang