Sepuluh

3.4K 710 40
                                    

Rumah adalah tempat paling aman dan nyaman untuk kembali bagi orang yang beruntung, berbanding terbalik dengan yang Aliya rasakan. Bagi Aliya, rumah adalah neraka kedua yang disediakan Tuhan untuk menyiksa hidupnya. Aliya menekankan pada diri untuk tetap bertahan dengan keluarganya tanpa secuil pun kebencian dan dendam, tetapi kekesalan tak terelakan selalu hadir setiap kali melihat ketidakseimbangan kasih dan sayang.
Kesenangan Aliya menenangkan diri di tengah malam ditemani langit gelap dan juga aroma malam yang pekat di indera penciumannya, dengan begitu dia bisa sedikit mengendalikan emosi dan melupakan masalahnya sejenak.

Sementara di dalam rumah, Arka mencari-cari keberadaan Aliya setelah melihat Aliya tidak ada di kamar. Arka mencari di setiap sudut dalam rumah, sampai akhirnya dia melihat Aliya sedang duduk di gazebo halaman belakang. Arka berbelok ke dapur, menyeduh dua cangkir kopi instan, lalu membawanya keluar.
"Bengong malam-malam, nggak takut kesurupan, Mbak?" tegur Arka menyodorkan cangkir kopi ke arah Aliya.

Aliya mendongak, mendengkus pelan. "Mana mau setan masuk ke tubuh yang udah banyak setannya," sahut Aliya kemudian tertawa sumbang. Aliya menerima cangkir kopi, menyeruputnya perlahan. "Ada apa? Mau ngajak berdebat? mon maap, saya lagi dalam mood jelek."

Arka tersenyum tipis, duduk bersilang kaki menghadap Aliya. "Saya nggak pernah ajak Mbak berdebat, Mbak aja yang suka sensi setiap bersinggungan sama saya," bantah Arka tidak mau disalahkan.

Aliya menghela napas, mendongak, memandang langit.

Arka melirik Aliya yang mendadak diam tidak seperti biasanya, sorot mata Arka tak bisa dialihkan dari pemandangan indah di sampingnya. Wajah Aliya yang manis tiba-tiba terlihat bersinar di matanya, bulu mata lentik bergerak seolah sedang menggodanya. Arka menggeleng, menepis pemikiran anehnya. Aliya tetap seperti dahulu saat menjadi kakak iparnya, tidak ada yang berubah.

Aliya menoleh ke arah Arka membuat sorot mata mereka bertemu. "Kayla sering minta uang buat Ibu dan Bapak?" Sudah dua hari Aliya menahan diri tidak menanyakan itu pada Arka, karena banyak pertimbangan yang membuatnya mengurungkan niat bertanya.

Kening Arka mengerenyit sesaat, sebelum akhirnya tersenyum samar. "Enggak sering, sebulan sekali."

Aliya mengangguk paham. "Kamu merasa terbebani?"

Arka menggeleng. "Enggak, karena Ibu sama Bapak juga orang tua saya."

Aliya tersenyum tipis. "Terus sekarang?"

Arka mengangkat bahu ringan. "Enggak lagi, Ibu bilang nggak usah ngasih uang lagi karena Kayla udah meninggal."

Tiba-tiba Aliya tertawa keras hingga tersedak ludahnya sendiri, wajah Aliya memerah menahan malu. "Kamu nggak tahu kalau ucapan Ibu itu mengandung seribu makna," ucap Aliya di sela tawanya. "Dia bilang A, ada maksud lain dari ucapannya itu."

Kening Arka mengerenyit tak mengerti maksud dari perkataan Aliya. Arka menggaruk kepalanya yang tak gatal, menelisik bola mata Aliya, lalu beralih ke bibir Aliya yang menyunggingkan senyum tipis. Arka mulai mengerti apa yang Aliya maksud, kemudian menghela napas. "Saya bukan termasuk tipe orang yang peka, jadi kalau ada orang bilang A, ya sudah saya juga mengartikannya A."

Aliya mencebik, mengeluarkan rokok sisa tadi siang. "Boleh kali ya sebatang, mubadzir suasananya kalau nggak merokok."

Arka menyambar sebatang rokok dari tangan Aliya, mematahkannya, lalu membuangnya sembarang.

Aliya melotot hendak melayangkan protesan, tetapi tertahan oleh perkataan Arka.

"Boleh merokok, tapi jangan di lingkungan rumah. Ada Alea, khawatir dia lihat."

Aliya tertawa kecil, berpindah posisi membelakangi Arka. "Kamu tahu alasan yang membuat kamu dinikahkan dengan Kayla dan saya?"

Arka menghela napas panjang, ikut berpindah posisi membelakangi Aliya membuat punggung mereka berhadapan. "Menghargai pertemanan orang tua kita?"

Aliya meringis. "Bisa jadi iya, tapi yang saya tahu, demi keuntungan pribadi, sih." Biarlah dirinya menjadi anak durhaka sepenuhnya. "Kamu nggak sadar, dulu, Kayla banyak memanfaatkan kamu?"

"Saya nggak merasa dimanfaatkan," bantah Arka. Arka bukan tidak menyadari perilaku Kayla terhadapnya, tetapi dia lebih memilih berpura-pura agar di rumah tetap damai tanpa ada pertengkaran.

Aliya tertawa mengejek. "Kamu berbohong lagi, Ar." Aliya bukan Psikolog yang bisa mendeteksi kebohongan lawan bicaranya, tapi Aliya merasakan kejanggalan dari jawaban Arka. Sudah jelas orang tuanya terang-terangan memanfaatkan Arka, mustahil Arka tidak merasakan.

Aliya mengembuskan napas berat, pandangannya menerawang. "Boleh numpang sandarin punggung nggak?"

Tanpa mengatakan apa pun, Arka memundurkan bokongnya hingga menempel dengan punggung Aliya. "Bebas."

Aliya langsung menyandarkan punggungnya di punggung Arka, kepalanya mendongak, matanya terpejam mengirup dalam-dalam aroma malam.

Arka menyeruput kopinya, kemudian tersenyum tipis. "Kadang, saya bertanya-tanya bagaimana dengan kehidupan Mbak, apa yang Mbak lalui selama ini. Dulu, Mbak tertawa tapi sorot mata nggak sinkron. Mbak kadang datar dan dingin, dan hawa yang dikeluarkan adalah kesepian."

Aliya mengangguk. "Saya nggak bisa ngelak, karena apa yang kamu katakan benar. Tapi saya lebih memilih kesepian daripada harus hidup menggunakan topeng." Aliya mengembuskan napas berat, pandangannya menerawang. "Kamu tahu, Ar, banyak orang yang bilang, saya cantik tapi nakal, nggak layak bersama dengan orang baik. Dari sana saya menarik kesimpulan, oh ternyata orang-orang hanya menilai dari cangkangnya tanpa mau tahu bagaimana dalamnya. Dan itu membuat saya bersikap bodo amat pada ucapan orang lain tentang saya, karena mereka nggak tahu dalamnya saya seperti apa."

"Mbak baik," puji Arka dengan senyum mengembang.

"Saya nggak butuh pujian kamu," jawab Aliya dengan nada ketus.

"Saya nggak bukan memuji Mbak, hanya mengungkapkan pemikiran saya."

Aliya mendengkus, memutar bola mata malas. "Kamu mencintai Kayla?"

Arka terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab. "Saya sayang sama dia."

Aliya tersenyum sinis. "Nggak ada cinta? Bagaimana hubungan kalian berjalan?"

"Hubungan kami berjalan layaknya sepasang suami-istri, kok."

Seketika Aliya menjauhkan diri dari Arka, berbalik menghadap Arka, begitupun dengan Arka yang langsung menghadapnya. Mata Aliya memicing, menyorot penuh selidik. "Jangan-jangan, kamu sering sakitin Kayla dulu. Ngaku, kamu!" tunjuk Aliya dengan nada setengah memaksa.

Arka menggeleng. "Saya paling nggak bisa menyakiti hati perempuan, Mbak, karena sekalinya saya menyakiti penyesalannya nggak pernah ketemu ujung."

Aliya mencebik, bersedekap. "Dan alasan kamu ngaku impoten ada hubungannya dengan penyesalan kamu?"

Saat itu juga Arka mengalihkan wajahnya, menghindari tatapan Aliya. "Udah malam, Mbak, anginnya juga makin kencang. Bisa masuk angin nanti."

Aliya menyeringai. "Iya, ada hubungannya dengan penyesalan kamu," ujar Aliya membuat kesimpulan. "Tapi, Ar, lebih baik jujur sekarang, daripada nanti dengar dari orang lain. Kenapa? Karena penyampaian dan penerimaannya akan berbeda." Aliya berdiri, menepuk bahu Arka beberapa kali. "Setelah tahu kamu berbohong, saya menolak menjalani hubungan layaknya sepasang suami-istri. Tapi saya nggak menolak buat menjalin pertemanan sama kamu sampai waktu berpisah tiba."

Arka mendongak, tatapannya berubah sendu. "Saya mengaku salah, Mbak, apa nggak bisa diperbaiki?"

"Bisa, tapi cukup jadi teman atau saudara, dan jangan melewati batas."

Ibu Pengganti (Tamat)Where stories live. Discover now