Welcome to the Jungle | 2

292 43 2
                                    

"Tadi Kia udah bisa nyebut 'papa' dengan jelas, bukan lagi 'dada' kayak biasa," ceritaku, ketika Mas Ryan membuka kaos kaki lalu merebahkan diri di sandaran sofa. Senyumnya mengembang.

"Kalau Jia, tambah jago naik ke atas kasur," lanjutku lagi sambil mengingat betapa gemasnya senyuman Jia yang berhasil naik ke atas kasur tanpa bantuan.

Detik berikutnya dahiku mengernyit. Respon Mas Ryan malam ini agak berbeda, tidak seperti biasa.

Ah, kenapa aku baru menyadarinya? Hal pertama yang biasa dilakukan Mas Ryan ketika pulang adalah menanyakan si kembar, hal yang tidak dilakukannya malam ini.

Apa Mas Ryan ada masalah di kantor? Atau ...?

"Mas lagi kurang sehat?" tanyaku sambil mengamati sekilas. Dahinya yang sedari tadi berlipat, mulai mengendur karena sadar tengah kuperhatikan.

"Nggak," jawabnya singkat.

"Mau aku ambilkan makan sekarang?" Siapa tahu Mas Ryan harus memulihkan energi, bukan?

"Kana," panggil Mas Ryan yang membuat langkahku terpenggal. Aku membalik badan, sebelum sempat mencapai pintu dapur. Panggilan yang biasa dipakainya waktu kami baru saling mengenal dulu, menerbitkan sebuah dugaan dalam hati. Mas Ryan pasti ingin mendiskusikan sesuatu yang serius.

"Iya, Mas?" Aku kembali duduk di sampingnya.

"Sakit Bapak sepertinya belum membaik."

"Terus gimana, apa harus dirawat lagi?" tanyaku khawatir. Bayangan ketika mendapat kabar bahwa Bapak jatuh di kamar secara tiba-tiba dua bulan lalu kembali melintas.

"Ibu bilang cukup istirahat aja di rumah. Sudah dikonsultasikan juga dengan dokter yang menangani Bapak sebelumnya. Katanya Bapak cuma perlu istirahat."

Beban yang tadi menghimpit dada seperti terangkat seketika. "Alhamdulillah."

"Tapi," lanjutnya lagi. Namun, Mas Ryan sengaja menggantung kalimatnya beberapa detik. "Artinya Bapak belum bisa kembali kerja lagi." Manik matanya menatapku lurus. Ada duka yang menggelayut di sana, juga rasa ketidakberdayaan yang berusaha disembunyikan.

"Nggak apa-apa. Kita bisa bantu," jawabku tanpa ragu. "Sudah saatnya Bapak istirahat juga di rumah. Kita bantu sebisanya."

"Masalahnya," lanjut Mas Ryan, kembali menjeda kalimat.

Tapi ini, kan, bukan waktunya untuk main sambung kata!

Tiba-tiba saja aku ingin menyubit hidungnya, jika tidak melihat wajah Mas Ryan yang tengah serius. "Kenapa?" tanyaku mulai tidak sabar.

"Ibu tadi baru cerita kalau Bapak sebenarnya masih punya tanggungan utang sebelum sakit, untuk biaya kuliah Tyas."

Aku baru bisa menemukan benang merahnya.

"Berapa?" tanyaku, tanpa merasa perlu berbasa-basi.

Mas Ryan memukul-mukul dahinya berirama, dengan sebelah tangan yang dikepal.

"Berapa, Mas?"

"Dua puluh." Pandangannya sudah menerawang.

"Juta?" tanyaku yang mendapat anggukan pelan. Seketika bahuku meluruh.

Jumlah yang tidak jauh berbeda dengan angka yang tercetak dalam buku tabunganku.

"Pakai saja uang tabunganku," kataku akhirnya. Kia memang memerlukan biaya rawat jalan untuk setiap bulannya, tapi itu bisa dipikirkan kemudian.

"Aku nggak bisa pakai uang kamu lagi, Kana. Uang kamu sudah banyak terpakai untuk keluarga kita. Untuk bantu bayar DP rumah, biaya operasi sesar, biaya--"

"Tapi Bapak juga orang tua aku, Mas. Tyas juga adik aku. Keluarga kamu sudah jadi keluarga aku juga."

Mas Ryan menatapku dengan pandangan yang entah. Ada luka yang kutangkap di sana. Matanya pun sudah mulai berkaca.

"Aku bisa mengajukan pinjaman ke kantor," lirihnya, sambil membuang muka untuk menghapus air mata.

"Aku ikhlas, Mas," yakinku sambil meraih tangannya. "Pakai saja dulu."

Mas Ryan mengacak rambutnya, sembari membuang napas panjang, seperti tengah berusaha membuang ego. Untuk beberapa saat, Mas Ryan tidak menjawab.

"Maaf, Kana." Ia meraih kepalaku dan mengecupnya dengan takzim. "Terima kasih," suaranya yang parau seperti tersangkut dan meninggalkan titik-titik air mata di rambutku, "sudah mau bertahan hidup denganku dalam keterbatasan selama ini."

***

"Mulai bulan ini kita harus berhemat. Sebagian uang gaji akan kutransfer ke rumah." Mas Ryan menatap piring di hadapannya, berusaha menghindari tatapanku.

Aku mengangguk, walau tidak yakin dapat dilihatnya.

Meski kondisi keuangan kami sedang tidak baik, aku tahu jika kondisi keuangan orang tuanya jauh sedang tidak lebih baik dari kami. Sebagai anak tertua dan anak laki-laki satu-satunya, tanggung jawab itu otomatis pindah ke pundak Mas Ryan. Dan sebagai istri, aku harus terus mendukung dan membesarkan hatinya.

Aku selalu percaya, jika setiap makhluk yang bernyawa sudah memiliki takaran rezekinya masing-masing.

Sayangnya, kalimat yang kupegang selama ini dalam hati itu perlahan mulai menguji keteguhan. Jia yang mulai rewel karena sedang tumbuh gigi tidak mau makan dan minum, bahkan ASI, selama hampir dua hari, sehingga harus dibawa ke klinik terdekat sebelum dehidrasi. Tidak berselang lama, telinga Kia--bayi yang sedang memiliki rasa penasaran tinggi itu--kemasukan semut saat mengamati sekelompok semut yang berbaris di tembok rumah, tanpa sepengetahuan. Untuk mengeluarkannya, kami harus membawa Kia ke IGD.

Cobaan demi cobaan seperti datang silih berganti tanpa jeda. Bahkan di saat seperti ini, aku sempat menyesali keputusan untuk resign waktu pertama kali tahu bahwa hamil bayi kembar. Ya, setan memang paling tahu celah yang bisa dimasukinya untuk membuat manusia jatuh menjadi kufur.

Sebenarnya kami bisa saja meminta bantuan kepada Papi, bahkan Kak Amalia. Mereka tidak akan pelit dan perhitungan untuk meminjami kami uang. Namun, setiap aku mengusulkan, Mas Ryan selalu meyakinkan jika semua ini dapat kami lalui dengan segera, tanpa bantuan keluarga. Dan sebagai istri, tugasku adalah menghormati keputusan dan menuruti perintahnya.

Aku mendesah ketika melihat nominal yang kini kumiliki dalam tabungan. Uang yang kukumpulkan semenjak lulus kuliah itu kini angkanya semakin menurun, seperti kurva yang mendekati sumbu x. Tabungan Mas Ryan pun nasibnya tidak kalah serupa. Cicilan rumah dan keperluan harian tidak bisa dielakkan.

Mulai hari ini aku harus bisa menghemat segala pengeluaran, bagaimana pun caranya. Namun dalam waktu yang bersamaan, aku pun harus berjuang supaya tidak menampakkannya di hadapan orang tua dan kakak, supaya tidak menimbulkan kekhawatiran.

Uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan dan keluarga dalam hidup. Namun tanpa uang, keluarga bahagia juga tidak bisa membeli kehidupan.

Sepertinya aku harus membenahi cara pandangku selama ini.

***

Alhamdulillah, masih bisa dibawa ngebut. 🤦‍♀️

Tolong beri tahu jika ada kesalahan atau kekeliruan yang harus dikoreksi.

Terima kasih. 😍

Part Time MomOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz