See You Again | 2

345 44 6
                                    

"Bawa baju ganti lagi, kan?" tanya Kak Amalia ketika Kia kembali gumoh. "Atau mau pinjam baju Edwin? Kayaknya masih ada yang cukup buat Kia." Edwin hanya berjarak 1,5 tahun dari Jia dan Kia.

"Bawa, kok. Di dalam tas," jawabku sambil membuka baju luar Kia untuk yang kedua kalinya. Bayi sabar itu hanya tersenyum, membuat air mataku tidak terasa jatuh menetes.

"Di mana? Kakak ambilkan, ya?" Tanpa menunggu jawaban, Kak Amalia sudah beranjak menuju sofa. Tidak lama kemudian, ia sudah kembali membawa kaos abu berlengan panjang dengan gambar kelinci di tengahnya.

"Itu kotak apaan?" Telunjuknya mengarah ke tas yang tadi diletakkan di atas sofa.

"Eh?" Aku menoleh, dan baru teringat dengan kotak bersampul warna lila yang kumasukkan ke dalam tas tadi malam.

"Bukan kado buat kakak, kan?" Ia terkekeh.

"Bukan," jawabku sambil menggulung lengan kaos yang baru diambilkan, sebelum memasukkan tangan Kia. "Itu buat Tasya. Sore ini ada farewell party di Menteng. Rencananya mau aku kirim pake Gosend aja ke sana."

"Kenapa nggak kasih aja sendiri?"

"Mana bisa bawa Jia dan Kia ke sana. Kasihan."

"Ya, Jia dan Kia tinggal aja di sini. Mumpung Jia juga lagi tidur."

Aku menimbangnya sekilas, tapi segera menggelang. "Nggak, deh. Nanti malah nyusahin, kalau Jia bangun."

"Elu kayak ke siapa aja ama kakak sendiri." Kak Amalia melengos, lalu duduk di sofa kecil dekat televisi. "Apa bukan karena elu nggak pede ketemu mereka?"

Tanganku terhenti saat hendak memasukkan sebelah tangan Kia yang satunya. Tanpa sadar, aku mendengkus.

"Nggak usah baper. Itu emang jelas banget kelihatan dari wajah elu." Kak Amelia masih belum puas memojokkan. Kalimat yang diucapkannya memang tanpa penekanan, tapi meluncur tepat mengenai hati. "Kalau gue jadi elu, sih," katanya sambil mengibas, "ya, gue pede-pede aja ama kehidupan gue, apa adanya."

Wajahku memanas. Untung saja kata-kata itu keluar dari mulut Kak Amalia, hingga aku sudah tahu bagaimana karakternya. Kalau bukan, amarahku saat ini pasti sudah meledak. Meski benar apa yang dikatakannya, tapi wanita yang menikah dengan pengusaha rumah makan itu belum pernah merasakan bagaimana berada di posisiku.

"Bukan begitu," jawabku kemudian, berusaha meredam rasa. Kia yang sudah ramai berceloteh berhasil menerbitkan senyum di wajahku.

"Cuma aneh aja, sih, sama sikap kamu akhir-akhir ini," lanjut Kak Amalia. "Yang kakak tahu kalau Tasya itu best friend kamu. Kalian udah lama nggak ketemu dan belum tentu bisa ketemu lagi dalam waktu dekat. Syukur-syukur kalau Tasya bisa pulang tiap lebaran."

Aku memilih diam, tidak membalas.

"Kalau mau pinjam baju kakak, tinggal pilih aja. Nanti kakak minta Pak Yudi antar. Atau mau kakak antar sekalian sama anak-anak?" Kak Amalia menjeda kalimatnya. "Kalau kamu nggak berani minta izin sama Ryan, biar kakak yang bilang. Tapi masa iya Ryan larang kamu kalau tahu. Ryan bukan orang yang kayak gitu."

Aku menghela napas dalam.

"Jangan kebanyakan mikir! Elu megap-megap dari tadi kayak ikan koki kehabisan napas aja."

Mau tidak mau, aku ikut terkekeh. "Nanti aku bilang Mas Ryan dulu, deh." Aku berharap jawaban itu berhasil membungkam mulutnya.

"Kakak, sih, nggak nyuruh kamu buat ikutan farewell. Cuma ketemu aja, abis itu pulang. Perhatian kecil akan terus dikenang oleh orang lain, apa lagi orang yang menganggap kamu itu spesial."

Part Time MomWhere stories live. Discover now