Welcome to the Jungle | 1

340 42 1
                                    

Jadwal tidur si kembar memang tidak bisa diprediski. Meski sering berbarengan, tidak jarang juga jam tidur mereka berlainan. Seperti hari ini, misalnya.

Saat Jia tertidur jam sepuluh pagi, Kia justru tidur jam satu siang ketika Jia sudah siap kembali bermain. Akibatnya, aku menjadi badal. Beberapa pekerjaan rumah terabaikan dan cekungan hitam yang tercetak di bawah kelopak mata pun tidak bisa terelakkan.

Sebab semenjak kecil terbiasa main bersama, baik Jia maupun Kia, akan kesepian lalu menangis ketika ditinggal main sendiri. Kalaupun tidak menangis, dengan langkah tertatih mereka bersiap untuk "membantu" apa pun yang sedang kulakukan.

Aku hanya menghela napas panjang saat berhasil mengamankan ember berisi air bekas mengepel rumah, ketika Jia yang baru bangun beringsut dengan cepat dari arah kamar.

"Jia mau ajak main Mama, ya?" tanyaku setelah mendudukkannya di atas kursi makan khusus miliknya. Bayi  menggemaskan yang sudah memiliki empat gigi susu itu awalnya mengibas-ngibaskan tangan sebagai tanda penolakan. Namun, setelah sebotol jus semangka merah tanpa gula dan susu itu kuletakkan di hadapannya, ia mulai tertarik.

"Tapi Jia harus makan dulu sebelum main, ya?" lanjutku sembari beranjak ke dapur untuk membawakan makan. Bukan hanya Jia, aku pun belum sempat mencicipi makan siang, setelah sarapan tadi pagi yang juga sempat tertunda.

Semenjak jemari tangannya sudah bisa menggenggam benda, sesekali kami sengaja memberikan mereka makanan yang bisa dipegang sendiri. Potongan buah, potongan sayuran kukus, bahkan protein hewani dan nabati yang sudah dipotong kecil pun sudah bisa mereka habiskan tanpa bantuan. Namun demikian, tidak di semua kesempatan mereka bisa makan sendiri. Sayur atau bubur tetap harus disuapi jika tidak ingin menambah deretan pekerjaan.

Selagi Jia sibuk dengan finger food-nya, aku menyempatkan diri menyuap makan siang dengan kecepatan tinggi. Sebuah kemampuan instan yang kudapatkan setelah menjadi ibu.

Sebuah panggilan video masuk dari Mami dan Kak Amalia.

"Assalamu'alaikum, Kia," ucap Mami penuh antusias.

"Itu Jia, Mih," ralat kakakku.

Aku hanya terkikik geli mendengarnya. Ponsel memang kuarahkan pada Jia yang sedang menghabiskan potongan kentang goreng terakhirnya, sementara aku mengambil tisu basah dan air minum di atas meja makan.

"Itu si Kia, Lia," balas Mami tidak mau kalah, "coba lihat aja jenong-nya."

Kali ini kakakku yang tertawa lepas. "Jia sama Kia, kan, sama-sama jenong mirip Mami. Coba, deh, kita tanya ibunya aja, biar nggak perlu terjadi huru-hara."

Aku yang baru selesai mengelap tangan dan meja Jia hanya geleng-gelengkan kepala. Hal seperti ini bukan lagi perkara baru setiap kami melakukan panggilan video.

"Kalau si Jia itu biasanya lebih lincah, Lia. Kalau ini kelihatannya lebih kalem. Naya, tebakan mami bener, kan?"

Jia dan Kia memang kembar identik. Keduanya nyaris sama. Hal yang terlihat jelas sebagai pembeda adalah berat badannya. Jia terlihat lebih padat berisi, sementara Kia lebih ramping--walau tidak dikatakan kurus. Jangankan Mami dan Kak Amalia, Mas Ryan sendiri terkadang harus lama membedakan keduanya. Berbeda denganku, aku hanya perlu memperhatikan bentuk bola mata keduanya. Bola mata Jia cenderung lebih besar daripada Kia.

"Cepat jawab, Na. Jangan sampai kakakmu ini jadi anak durhaka gara-gara nggak dengerin apa kata orang tua," selorohnya. "Lagian kenapa nggak pakein mereka baju yang ada namanya aja? Apa nanti kalau beliin JK baju sekalian sablon nama, gitu?"

Jia yang meningkahi obrolan dengan kalimat "ma-ma-ma" itu melonjak-lonjak girang di atas kursinya, seperti tahu jika tengah jadi pusat perbincangan. Aku segera mengangkatnya untuk dibawa duduk di atas sofa, sambil membawa ponsel di tangan yang lain.

"Ini si cantiknya Oma." Alih-alih menjawab, aku memilih kalimat aman saja. "Makanya, Oma cepatan balik, biar bisa main sama Jia dan Kia," lanjutku, mengistilahkan kata "oma" untuk sebutan sayang para cucunya.

"Iya, ini masih nunggu Papi selesai tugas. Mudah-mudahan awal tahun nanti sudah bisa balik ke Depok."

Papi memang masih tercatat sebagai karyawan senior di sebuah perusahaan tambang batubara, yang kini ditugaskan di salah satu site Samarinda. Tahun depan rencananya Papi akan pindah lagi ke FO, Front Office, di Jakarta alih-alih memilih pensiun. Rumah di Depok pun untuk sementara dibiarkan kosong, setelah diisi keponakan Mami selama beberapa  bulan yang akhirnya pindah lagi ke Bandung.

"Aamiin," jawabku. "Mana Adnan dan Edwin, Kak?" Kini aku beralih pada kakak paling baik sedunia.

"Tidur."

"Tumben," balas Mami.

"Abis rebutan mainan. Biasa. Adnan nangis. Akhirnya adiknya ikutan nangis. Abis Lia marahin, keduanya langsung tidur."

"Eh, kamu jadi pindah ke Bogor, dekat rumahnya Naya?"

"InsyaAllah jadi, Mih. Sebenarnya tengah-tengah, sih, kalau lihat di peta. Antara rumah Mami di Depok sama rumah Naya di Bogor."

"Kapan?"

"Rencananya pekan depan."

"Bukannya bulan depan?" timpalku, meluruskan.

"Pekan depan itu, kan, udah ganti bulan baru, Neng Kanaya! Elu punya kalender di rumah apa kagak?"

Heran, deh. Ibu hamil yang satu ini makin sering nyolot aja kerjaannya.

"Jangan ngegas mulu, dong, bumil," godaku yang ditanggapi dengan kekehan.

"Jadi bulan lalu Ehsan survei cabang baru di Bogor itu sekalian cari rumah?"

"Nggak sekalian, sih, kebetulan."

"Qodarullah," ralatku.

"Nah itu. Bang Ehsan tadinya nggak sengaja mau lihat-lihat rumah. Kebetulan aja--"

"Qodarullah," potongku lagi.

"Nah iya, qodarullah dekat ruko itu ada perluasan area perumahan lama. Katanya ada SDIT bagus juga dekat situ buat Adnan dan Edwin. Jadi, deh, Lia ikutan lihat besokannya. Terus, Bang Ehsan urus-urus akad jual belinya."

"Kamu beli rumah kayak beli Chiki aja, Lia," komentar Mami tanpa tedeng aling-aling. Aku cukup mengiakan dalam hati.

"Dih, Mami. Itu sudah hasil diskusi panjang." Kak Amalia membela diri. "Lagian kami juga sengaja cari rumah yang dekat sama rumah Mami dan Naya, biar gampang kalau ngumpul."

"Iya, deh." Mami mengalah.

Jia bergerak-gerak dalam pangkuan. Aku mulai menyadari jika duduknya tidak lagi nyaman, lalu memeriksa bagian dalam celananya.

"Mi, Naya mau bersihin Jia dulu, ya. Barusan poop."

"Tuh, kan, bener Lia. Itu Jia, Mih." Kak Amalia tertawa puas. "Aku sekarang sudah mulai bisa bedain mana Jia dan mana Kia," lanjutnya bangga.

Aku tidak menyimak lagi obrolan mereka, karena bergegas membawa Jia ke kamar mandi.

***
Tadi dapat komentar dan vote yang bikin naikin mood, alhamdulillah.

Terima kasih, ya, yang sudah berkenan baca, votes, dan comments. 😍

Part Time MomWhere stories live. Discover now