dua puluh tujuh

Mulai dari awal
                                    

Bara memperhatikan wajah Rea yang menatap bingung Agam dengan teliti dan tersenyum kecil, cowok itu sedikit membungkuk lalu mendekat bebarengan dengan tangan kanannya terangkat. Rea berjengit kecil dan sedikit mundur karena kaget tiba-tiba Bara menyentuh wajahnya. Ia menatap Bara bingung.

"Lo ngapain?" Rea menatap bingung Bara yang jaraknya bisa dibilang sangat dekat dengannya.

"Lo lahap banget ya makannya," Bara terkekeh pelan. Sedari tadi ia fokus pada sudut bibir Rea yang terdapat remahan makanan ringan. Sebenarnya tidak terlalu mengganggu wajah cantik Rea. Tapi, ini kesempatannya bukan?

"Hah?"

Bruk

"AKH!"

Rea memekik kencang saat hidungnya terbentur dada keras Bara. Agam sengaja mendorong cowok itu ke depan dengan kencang karena kesal sebelum akhirnya pergi bersama Vanya yang ditariknya. Meskipun badan Bara tidak kalah besar dari Agam, tapi karena sedang sedikit membungkuk dan tidak memiliki persiapan apapun membuatnya menubruk Rea.

Bara yang menyadari Rea kesakitan langsung mundur dan menatap gadis itu khawatir, berusaha melihat keadaan hidungnya yang masih ia tutupi dengan kedua tangannya.

"Re, lo gak papa?" Bara sedikit mendelik saking khawatirnya. Rea yang sedari tadi mengerut kesakitan mulai membuka mata dan menatap cowok itu dengan meringis.

"Gak papa kok," gelengnya pelan sebelum akhirnya menurunkan kedua tangannya. Bara yang masih memperhatikan gadis itu makin mendelik saat melihat darah mengalir dari hidungnya.

"Re, berdarah!" pekikan Bara mengundang tatapan beberapa orang termasuk Savita dan Vano.

"Ha?" Rea menaikkan kedua alisnya, tangan kanannya menyentuh bawah hidungnya. Wajah syoknya mulai terlihat samar ketika merasakan sesuatu yang basah terasa di tangannya, makin terlihat jelas saat matanya menangkap warna merah di tangannya.

"Ti-tisu..," gumamnya pelan, orang-orang tidak ada yang bergerak sedikitpun termasuk Bara. "TISU!" baru panik ketika gadis itu memekik kencang dengan wajah paniknya.

•••••

"Hadeh, ada-ada aja," gumam Rea pelan sembari berjalan dan sesekali mengecek hidungnya masih berdarah atau tidak menggunakan tisu di tangannya.

Ia tadi pamit ke kamar mandi dulu untuk membersihkan darah di hidungnya sendirian. Savita memang sempat memberinya tawaran untuk menemani, tapi melihat Vano yang cemberut karena Savita mengalihkan perhatian darinya membuat Rea menolak tawarannya.

Langkah Rea harus berhenti saat kepalanya yang sedikit menunduk melihat ke arah tisu di tangannya yang bersih, menangkap sepasang sepatu olahraga yang berdiri tepat di depannya. Ia mendongak, refleks berdecak saat melihat Nathan yang menatapnya datar dengan rambutnya yang setengah basah.

"Lo beneran udah gak suka sama gue?" pertanyaan to the point yang keluar dari mulut Nathan sedikit membuat syok Rea. Maksudnya, tidak malu sekali cowok ini mempertanyakan hal itu.

"Keliatannya?" Rea menatap datar Nathan dengan sebelah alis sedikit terangkat.

"Keliatannya lo belum baca buku diary lo," Rea mengerutkan keningnya samar, bingung dengan maksud dari perkataan Nathan.

Ada apa dengan buku diary Rea?

Apakah ada sesuatu?

"Lo lupa?" Nathan menatapnya tajam dengan kerutan dalam di keningnya, tidak suka karena Rea dengan begitu gampang melupakannya. Padahal dulu Rea tidak pernah mau melepaskannya sedetikpun di saat ada waktu luang. Lalu sekarang?

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang