Savita yang mendengar gumaman gadis itu diam, menunggu temannya melanjutkan perkataannya sembari terus mencomoti makanan ringan Rea.

"Gak tau ya," Rea berbicara dengan nada ragu sambil menunduk, menatap ke arah bungkus makanannya. "Kadang tuh gue suka agak baper sama dia," gadis itu beralih menatap Savita. "Tapi, gue takut aja," Savita mengerutkan keningnya bingung mendengar penjelasan gadis itu.

"Takut kenapa?"

"Gak tau, takut aja. Kayak gimana ya ngejelasinnya?" Rea diam sebentar dengan wajah berpikir. "Gak tau deh. Udah ah!" Savita tak lagi melanjutkan karena tahu temannya belum ingin bercerita. Rea juga diam, tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu lebih panjang.

Yang ia katakan memang benar, kadang ia sedikit terbawa perasaan dengan sikap-sikap Bara yang mampu membuatnya nyaman.

Dia satu-satunya cowok yang bisa diajak bicara dengan nyaman, tidak pernah emosi bahkan saat perkataannya kelewat pedas, dan perhatian-perhatian kecil cowok itu mampu membuat hatinya menghangat.

Apalagi kejadian kemarin. Mulai dari membelikan helm untuknya, mau menunggunya di depan rumah yang ia yakini cukup lama, duduk di sampingnya, menggambilkannya minum. Dan yang lebih membuatnya hampir tidak bisa berkata-kata adalah kalimat terakhir cowok itu kemarin malam.

"Gue maunya lo."

Ia tahu betul maksud Bara bukan ke hal yang istimewa. Tapi, entah kenapa ia sedikit berharap bahwa kalimat itu bermakna lebih dari yang ia tahu.

Maksud Rea, bukannya terbawa perasaan itu wajar ya? Apalagi kalau sikapnya yang seakan perhatian itu tidak sekali dua kali.

Coba suruh siapapun yang tidak baper kalau mengalami hal yang sama seperti yang dilakukan Bara padanya berdiri di depannya sekarang juga.

Tidak ada kan?

Tapi lagi-lagi, kesadaran bahwa ia hanyalah pemeran figuran dari sebuah novel menamparnya. Mana mungkin ia yang figuran bisa disukai salah satu tokoh laki-laki, sudah semestinya bahwa semua tokoh laki-laki dalam novel hanya tertuju pada pemeran utama perempuan, Vanya.

Karena kesadarannya itu, ia selalu menyanggah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Bara dan terasa ambigu, serta tindakannya yang tak jarang membuatnya terbawa perasaan dengan keyakinan bahwa itu semua tak lain dan tak bukan hanya bertujuan satu, yaitu bertujuan pada Vanya.

Ia begitu, hanya agar tidak merasa kecewa di kemudian hari.

"Vanya mana dah?" tanya Rea sembari menoleh ke arah Savita saat menyadari bahwa Vanya sama sekali belum terlihat. Savita menoleh ke arah Rea sebentar, lalu matanya menelusuri ke sekitar mencari keberadaan Vanya.

"Tuh anaknya baru dateng!" Savita berkata sambil menunjuk ke arah koridor ruang guru, membuat Rea ikutan menoleh ke arah sana.

Rea berdiri dari duduknya, tangan kanannya terangkat melambai-lambai ke arah Vanya. Gadis berkulit putih itu langsung fokus pada Rea saat tanpa sengaja menangkap pergerakkan Rea. Ia tersenyum lebar sebelum berjalan ke arah Rea dan Savita, duduk di samping Rea yang masih kosong.

"Kok telat sih?" tanya Rea sembari menyodorkan bungkus makanan ringan yang sudah ia buka dan makan dari tadi ke arah Vanya.

"Nanti aja," tolak Vanya lembut. "Tadi aku disuruh ngejaga adek aku dulu, dia sakit," Rea mengangguk pelan sambil menarik kembali tangannya, menaruh makanan ringan itu di pangkuannya agar Savita dan Vanya sama-sama gampang mengambil jika mau.

Rea ingat, di dalam novel sewaktu lomba basket diadakan adik Vanya memang sakit. Nanti gadis itu juga akan mendapat kabar bahwa adiknya pingsan saat memberikan minum pada Agam setelah pertandingan selesai. Gadis itu akhirnya di antar Agam pulang dengan baju basket yang basah karena keringat.

Am I Antagonist? Where stories live. Discover now