Xagava

3 1 0
                                    

 Angin sore yang menyejukkan berhembus pelan menerpa wajah mungil dari seorang gadis kecil, gadis itu tertawa geli saat merasakan angin yang mengenai wajah nya. Gadis kecil itu terus mengunyah sebungkus roti yang berada di tangan nya dengan lahap tanpa memperdulikan sekitarnya, dia berjalan kadang meloncat-loncat dengan semangat.

"Miwzee, apakwah di sini adwa seluncurwan?" Gadis itu bertanya dengan mulut yang masih terisi penuh dengan roti.

 Seorang pria menatap gadis kecil itu dengan senyuman gelinya, dia berjongkok agar menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu. "Habiskan terlebih dahulu roti yang ada dimulutmu itu, Jovanka." Ujar Werozi.

"Rotinya sudah habis, Mize telat." Jovanka memberikan bungkus roti nya ke Werozi.

"Apakah aku terlihat seperti tempat sampah bagimu?" Werozi meremas bungkus rotinya.

 Jovanka memperagakan tangan nya membentuk sebuah lingkaran besar, "Mize adalah tempat sampah yang besar."

"Ada-ada saja kamu, dasar gadis mungil." Werozi membuang bungkus rotinya ke dalam tempat sampah.

 Werozi kembali menggandeng tangan kecil Jovanka yang sedari tadi tak bisa diam. Jovanka tetap meloncat-loncat kecil digandengan Werozi, kadang Jovanka tertawa menatap wajah kesal Werozi saat dirinya tersandung beberapa kali.

"Apakah kamu memakan seekor katak? kamu terlalu energik untuk seukuran anak kecil." Werozi memijat pelipisnya.

"Jova itu sudah besar tau, lihat ini." Jovanka berlari kearah sebuah batu besar.

'Mau apa lagi anak itu?' batin Werozi lelah.

 Tiba-tiba Jovanka mendorong batu besar itu dengan tubuh kecilnya, Werozi yang melihatnya pun hanya bisa tersenyum datar.

"Lihat kan, Jova bisa dorong batu ini tanpa bantuan orang lain." Jovanka tersenyum pamer.

"Ya ya ya, Jovanka adalah gadis yang kuat, Mezi percaya." Werozi mengangkat tubuh kecil Jovanka, dan membawanya ke dalam gendongan nya.

"Hehe kalau Jova punya Ayah, Jova harap Ayah Jova mirip Mezi." Jovanka tersenyum lebar menatap Werozi.

 Werozi terdiam, ia menatap Jovanka dengan tatapan sedih, bahagia, dan juga kesal. Dia rasanya ingin berteriak di depan putrinya itu untuk memberitahu bahwa dia adalah Ayahnya, namun ia tak bisa karena ada suatu alasan yang membuat ia menahan nya.

"Pasti Ayah Jovanka bangga punya putri mungil yang nakal kayak kamu." Werozi mengacak-acak rambut Jovanka.

"Jova gak nakal, Mezi yang nakal ke Jova huh." Jovanka memanyunkan bibirnya dan mengalihkan wajahnya agar dia tak melihat wajah Werozi.

"Dasar anak nakal." Werozi kembali mengacak-acak rambut Jovanka dengan semangat.

"Berhenti Mezi, kamu merusak rambutku." Jovanka memukul pelan tangan Werozi.

'Andai kamu tau nak, tapi kalau kamu tau, nyawa ayah jaminan nya' batin Werozi meratapi nasib.

 Werozi melanjutkan langkahnya dengan Jovanka yang berada digendongan nya, kadang Jovanka bernyanyi untuk menghibur Werozi, Werozi yang mendengar nyanyian putrinya pun hanya bisa tertawa lucu karena suara Jovanka yang rada serak.

"Oh iya Mezi, ini kita mau ke mana?" Tanya Jovanka.

"Kita akan ke rumah Mezi," balas Werozi.

"Apa rumah Mezi besar?" Jovanka menatap Werozi dengan pupil mata yang membesar.

"Sepertinya lebih besar dari rumahmu." Werozi menatap manik mata putrinya.

'Apakah matanya sebesar itu tadi?' batin Werozi bingung.

Weakened worldWhere stories live. Discover now