i. who likes monday?

Start from the beginning
                                    

"Nggak capek apa nabrak pintu mulu? Gue kasian... Sama pintunya," gurauku.

"Sialan lo." Ia berjalan ke arahku dan melempar tasnya asal ke bangku di samping kananku.

Tak lama setelah aku dan dia ngobrol-ngobrol ngalor-ngidul, pintu kembali terbuka dan sosok Ben hadir di depan pintu dengan gaya sok keren yang padahal pada kenyataannya sama sekali berkebalikan. Nama "Ben" itu cuma nama panggilan. Aslinya sih Beni. Beni Aji Perwira. Satu hal, jangan pernah mengejek Ben di depan Adira atau dia bakal ngamuk-ngamuk. Secara, si Adira itu udah ngegebet cowok itu semenjak awal kelas 10. Aku bahkan tak mengerti apa yang ia lihat dari cowok itu.

Ben duduk tepat di depan Adira, alias bangku paling depan. Dan itu terjadi setiap hari. Si gadis penabrak pintu ini sangat senang akan hal itu. Yah, hitung-hitung buat modus sedikitlah. Mau nanya mulai dari hal yang berbau pelajaran sampai hal yang sama sekali tidak penting, tinggal colek depan dan simsalabim terjadilah percakapan. Sebetulnya, tidak semudah itu juga. Adira bisa menjadi orang yang amat-sangat pemalu.

"Ben," panggil Adira. Aku meliriknya sambil menaik-turunkan kedua alisku. Aku tahu ini adalah satu trik-trik modusnya saja. Ia menatapku penuh arti sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir.  Terlihat jelas dari raut wajahnya, ia sedikit gugup.

"Ya, Dir?" ia menoleh ke arah Adira.

"Lo udah ngerjain um... PR ekonomi belom?" tanyanya.

"Udah, emang kenapa?"

"Umm... Gue nggak ngerti sama elastisitas harga, ajarin dong," pintanya. Ia terlihat santai tapi aku tahu jauh di dalam dirinya ia sedang gugup setengah mati.

"Ya udah duduk sebelah gue sini," kata Ben sambil menepuk kursi di sebelahnya. "Gampang kok itu."

Adira menatapku penuh kemenangan sementara aku hanya tersenyum sambil memutar bola mataku. Dasar Adira. Sekarang aku harus apa? Aku harus jadi kambing congek di antara mereka berdua? Huh.

Permodusan Adira bisa dikatakan gampang, karena kami masih ada dalam satu lingkaran pertemanan. Yang jadi masalah adalah, Ben tidak pernah memberi sinyal balik dan tidak ada yang pernah tahu apa perasaannya terhadap Adira.

Omong-omong tentang lingkaran pertemanan, selama hampir satu semester di kelas 10 ini aku dekat dengan tujuh orang yang berbeda-beda, terkumpul pada satu grup bernama Camaraderie yang kalau disingkat menjadi CRD. Artinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan persahabatan. Just google it. I'm not a walking dictionary. Duh.

Bukan, kami bukan tipe geng seperti itu. Tempat nongkrong kami cuma satu, yaitu grup LINE. Atau paling banter rumah Zetta atau Ivory Cafe. Semuanya berawal dari grup LINE yang iseng-iseng dibuat oleh Kayla. Entah siapa yang membuat grup itu ramai, tapi akibatnya, kami jadi sangat dekat.

Biar kuperkenalkan satu persatu anggota grup tidak jelas ini.

Ada Mikayla atau Kayla yang cantiknya melebihi Barbie. Cewek ini jadi primadona 10 IPS 1, atau bahkan lebih luas daripada itu. Yang kedua ada Arzetta atau Zetta, aku tidak mengerti apakah dia laki-laki atau perempuan... Casing boleh cewek, tapi kelakuannya? Hmm. Otaknya juga sangat encer, tak heran dia bisa masuk peringkat 1. Selanjutnya ada Humaira, biasa dipanggil Maira. Cewek berhijab ini yang paling alim dan sering kali  menjadi Mamah Dedeh-nya CRD, tapi orangnya tetep asik. Lalu ada Adira, aku sudah cukup menjelaskan tentangnya.

Itu baru yang cewek, belum lagi trio kwek-kwek yang turut meramaikan grup itu. Yang pertama Andika atau Dika, cowok yang paling sok ganteng. Ada juga Rafael atau Rafa yang paling pintar dan kocak, juga Beni alias Ben yang nggak jelas dan otaku sejati sama seperti Zetta.

Daripada dicuekkin sama dua sejoli itu, aku kembali mendengarkan lagu sampai bel tanda upacara dimulai berbunyi. Matahari bersinar terik, membuat kemalasanku bertambah ratusan kali lipat. Bayangkan, sudah dandan rapi-rapi ke sekolah, lalu harus keringetan lagi. Belum lagi ketika amanat pembina upacara panjangnya melebihi jalan raya Anyer-Panarukan.

Zetta selalu berdiri di barisan paling depan, karena dia paling rajin. Dan aku selalu berdiri di belakangnya, dan Adira di belakangku. Aku tidak suka berdiri di barisan paling depan, aku hanya merasa tidak aman. Namun aku juga tidak suka baris di barisan paling belakang, hanya membuatku mengantuk saja.

Ada satu alasan lagi kenapa aku tidak mau jauh-jauh dari barisan depan.

Dia. Yang berdiri di barisan laki-laki paling depan. Sang ketua kelas yang merupakan temanku sendiri. Dika.

Aku tak tahu sejak kapan perasaan tak keruan itu muncul, tapi yang jelas ini sangat aneh. Wajahnya tidak bisa dibilang ganteng-ganteng banget, walaupun dia merasa seperti cowok paling ganteng sejagat raya. Menjijikan? Ya. Tapi aku menyukainya. Ada yang bilang, rasa suka itu bisa menutupi kejelekan seseorang, seperti ini contohnya.

"Shh Arin daritadi gue panggil kok nggak nengok sih!" Adira mencolek-colek punggungku, sontak aku menengok ke belakang, ke arahnya. "Ya elah, ngeliatin si Dika mulu. Di kelas juga bisa kali sampe enek juga."

"Ish, ga suka aja sih lo."

Tapi, ada satu hal yang membuat hatiku mengganjal. Dia tidak memandangku seperti aku memandangnya, karena ia... Menyukai seseorang. Yang jelas bukan aku.

Dan yang lebih buruk, orang yang dia sukai adalah salah satu sahabatku.

-:-:-

Dreaming Alone [Published]Where stories live. Discover now