Terus muka Haikal jadi kusut mendadak ketika nama perempuan kesayangan selain mamahnya itu disebut. Nasib anak-anak Andromeda tentang kisah asmara jarang pernah mujur, tapi tetap saling ledek merupakan suatu kewajiban. Toh, memang adanya demikian. Urusan cewek banyak yang buntung, apalagi cuan. Seolah dua pokok permasalahan itu jadi momok berat selain kehidupan sebagai mahasiswa.

Gue capek banget hari ini karena banyaknya aktivitas, jadi pintu kamar yang biasanya gue buka sedikit lalu gue tutup cepat ketika gue udah masuk akhirnya membuat gue sendiri kecolongan. Gue kira Haikal akan sibuk dengan pekerjaan gabutnya, nyatanya dia malah nyamperin gue dengan muka semangat. Mungkin awalnya dia pikir barangkali gue dapat jajan dari luar yang bisa dia minta untuk teman begadang. Tipikal. Boro-boro bawa jajan, yang gue bawa di tas aja hanya udara alias kosong selain laptop yang daya baterenya udah habis.

"CD lo aman, kan?"

Gue mengernyit. Gak jadi masuk kamar sungguhan dan justru meladeni satu makhluk aneh ciptaan Tuhan ini yang kebetulan jadi teman sekontrakan. Jadilah gue ikut gabut bareng Haikal yang berdiri di koridor dengan lampu ujung yang mati.

"CD... apa?" Gue agak mengingat kejadian beberapa hari lalu barangkali ada barang gue yang dipinjam anak-anak tapi belum dikembalikan. Speaker gue sering dibawa ke bawah soalnya untuk pengeras suara kalau lagi bersih-bersih karena yang lain ke sini modal niat dan pakaian sama perlengkapan kuliah doang. Mana ada yang mau bawa barang begituan dari rumah.

"Ya, CD... CD lo, Zi," sambung Haikal lagi.

Lantas gue ingat punya beberapa keping kaset dari beberapa album The Script dan Simple Plan yang gue koleksi dan ikut gue bawa ke sini. "Kayaknya aman di deket kasur. Emangnya ada yang suka dengerin The Script atau Simple Plan di sini?"

Dan Haikal lalu melongo. "Bego! Maksud gue, CD itu celana dalam lo. Bukan Compact Disk." Mukanya udah kayak kebelet BAB saking sebelnya karena ucapannya yang gak jelas gak bisa gue tangkap maksudnya. "Lo lama kagak pernah nyuci di lantai atas, cucian lo juga jarang ada di jemuran."

"Ketahuan lo sering perhatiin kolor anak-anak ya buat dipinjem?"

Haikal gak tertawa dan kalau keadaannya sudah begitu maka alamat lo harus berhati-hati. Antara mood-nya yang lagi awut-awutan atau lo akan dimarahi habis-habisan. Gue langsung paham kenapa Haikal tanya demikian dan mungkin dia memang sengaja menunggu gue di koridor lantai dua, bukan karena gabut sampai mau sapu lantai tanpa diminta. Dia pengin memastikan kalau gue baik-baik aja.

"Zi, gue bantuin sini."

"Bantuin apaan?"

"Cucian lo... sini gue bantuin."

Kalau gue orang yang jahat, gue suka ditawari hal-hal seperti ini dan mengiyakan tanpa basa-basi lagi. Tapi, kata Nadira gue orang yang baik meskipun pelit ketika dimintai beras. Jadi gue toyor aja dahi Haikal sembari setengah tertawa. "Lo desperate banget jadi guru les sampai ngajuin diri jadi babu gue?"

"Gue bawa ke laundry. Dih, bukan passion gue melayani lo, kampret." Haikal mendesah berat. Gue udah mengira dia sungguhan mau bantuin gue, tapi ucapan selanjutnya bikin gue semakin pengin gosok mukanya pakai keset. "Kasihan lo, Zi. Gue takut lo kehabisan celana dalam. Mana musim hujan juga sekarang. Pedang lo emang gak mau lo karungin kalau pas keluar kontrakan?"

"Untung gue manusia yang hatinya masih ada budi luhur. Kalau kagak gue udah gampar lo sampai tangga."

"Iyalah. Kalau Budi Doremi mah adanya di Jakarta kali. Lagi manggung."

Krik. Garing.

Lantas jawaban Haikal selanjutnya bikin gue makin mules karena pada akhirnya, akan ada orang yang selalu lihat lo jadi berantakan karena ada di titik terlemah.

ANDROMEDAWhere stories live. Discover now