Keseharian

31 10 0
                                    

Angin musim gugur kali ini sering merayunya untuk melepaskan kesadaran yang ia gunakan untuk memantau sekeliling. Mereka mengajaknya berkelana di dunia penuh khayalan atau tenggelam dalam lautan bawah sadar—atau sekadar membuat kepalanya berayun pelan seperti lambaian padi di sawah desa tempat Ibunya tinggal. Memang nyaman tidur ditemani angin yang selalu bertiup sejuk menerpa wajahmu lewat ventilasi, tapi Jean masih menanggung tanggung jawab untuk menjaga keamanan dan stabilitas wilayah apartemen ini. Kalau bukan dia, siapa lagi?

(Sebenarnya, sih, ada Connie. Tapi jadwal mereka kadang berbeda, belum lagi perubahan jam yang sering membuat Jean pusing. Alhasil, dia harus berjaga seorang diri. Nasib, nasib.)

Mau tidak mau, segelas penuh kafein selalu berada di atas meja—baik itu ketika siang yang cerah atau malam yang mencekam.

//

Jean merenung. Tatapannya lurus menghadap jalanan penuh mobilitas masyarakat kota. Ada seorang wanita muda berjalan dengan sepatu hak tinggi. Dari penampilannya, Jean menarik kesimpulan kalau dia adalah pekerja kantoran—terlihat dari setelan rapi kemeja dan blazer krem membalut tubuhnya. Keren, batin Jean. Ia membayangkan dirinya dalam balutan kemeja dan jas hitam serta tas kerja jinjing di tangan kiri. Bisa buat pamer, Jean tersenyum simpul membayangkannya.

Selagi wanita kantoran itu berjalan melewati pos jaga, di seberangnya ada pemuda mengendarai skuter yang Jean yakini sudah butut. Cara jalan motor itu pelan dan tersendat-sendat seperti kura-kura yang kelebihan beban membawa rumahnya. Barangkali pemuda di atasnya adalah rumah bagi si skuter butut malang itu. Jean hanya berharap semoga si pemuda—lebih tepatnya si skuter—sampai di tujuan dengan selamat.

Puas mengamati si pemuda skuter, pandangannya beralih ke sebuah mobil kodok yang melaju di jalanan tadi. Kejadian itu terjadi selama sepersekian detik. Mata Jean tertarik pada mobil itu sebab warnanya mencolok; kuning cerah. Bahkan lebih cerah dari petal bunga matahari. Sekilas mata Jean seakan hendak tertusuk pelan oleh jarum tumpul yang hampir mengenai mata jika saja ia tak segera berkedip.

Kayaknya enak punya mobil, batinnya sambil kembali menatap jalanan lengang di depan mata. Wajahnya ia sandarkan pada tangan yang bertumpu di atas meja.

Kalau punya mobil, ia tidak perlu susah payah mengenakan jaket setebal tiga senti hingga gerakan ketika berkendara jadi terbatas. Belum lagi ketika musim hujan datang, pualng rumah bajunya sudah basah kuyup dengan atau tidaknya ia memakai mantel di perjalanan (setidaknya ketika pakai mantel, intensitas basah berkurang). Belum lagi pandangan buram sebab tetes-tetes air hujan memenuhi seluruh kaca helm. Terkadang, ia harus berhenti sejenak di pinggir jalan atau berteduh hanya untuk mengelap helm sampai kering sebisanya. Hal itu sia-sia ketika hujan deras dengan jangka waktu lama mengguyur kota.

Tapi kalau dia punya mobil, nanti akan ada biaya tambahan untuk cicilan dan bensin jugaperawatan kalau-kalau mobilnya rusak. Dia menghela napas kasar. Sudah cukup iabanting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tinggi. Ia tidak inginmenambah beban di pundaknya lagi dengan mengenyangkan animo (sementara) itu.

Di sela-sela renungan, seseorang berlari tergesa-gesa menghampiri pos jaga. Ketukan kuat berkali-kali membuat Jean ditarik kembali menuju keadaan sesungguhnya. Ia menoleh ke arah kiri, ada seorang wanita paruh baya di sana. Ia memasang ekspresi gusar dan khawatir.

Jean beranjak dari kursi, meraih gagang pintu lalu menemui sang wanita.

"Ada apa, Bu? Kenapa Ibu terlihat khawatir?"

"I-itu ...." sang wanita tergagap. "Itu ..., pemanas ruangannya tidak bekerja. Aku sudah coba cek bagian mana yang rusak, tapi aku tidak tahu. Bisakah kamu memeriksa dan membetulkannya?"

Jean terdiam sejemang, kemudian ia mengangguk lemah.

"Terima kasih banyak, Nak! Kamu memang yang terbaik," kata sang Ibu riang. "Ayo segera, anakku akan pulang sore nanti."

Sang wanita paruh baya itu berjalan cepat menuju apartemennya kembali, sedang Jean mengikuti dari belakang.

Ia pikir menjadi satpam adalah pekerjaan santai, tapi terkadang realita berbanding terbalik dengan ekspektasi.

"Hadeh, hidup gini amat."

Begitulah keseharian Jean sebagai satpam apartemen.

Lika-Liku Satpam ApartemenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang