Awal

82 17 6
                                    

Jean tidak menyangka bahwa ia akan habiskan seluruh empat tahunnya di Universitas Niigata belajar tentang ekonomi dan segala tetek bengeknya hanya untuk berakhir bekerja sebagai penjaga sebuah perumahan dekat dengan tempat ia tinggal. Singkatnya, satpam.

Setelah menyelesaikan skripsi dan dinyatakan lulus sejak musim semi tahun lalu, ia bermagang di sebuah bank dekat universitas yang ia temukan ketika berburu pekerjaan saat pertengahan tahun ketika dirinya telah bertitel mahasiswa senior. Dipikir-pikir kembali, ia termasuk kategori beruntung karena mendapat pekerjaan lebih awal dari teman sebayanya yang masih luntang-luntung cari kerja. Sering ia dengar sambatan demi sambatan mengetuk gendang telinga. "Susah amat cari kerja sekarang," atau, "hidup gini amat, yak," bahkan, "nyuri duit aja, kayaknya enak," dan masih banyak sambat-sambat lain berisi pengandaian yang lebih ngeri dari perkataan tadi. Jean tahu hidup itu tidak semulus aspal licin sehabis diguyur hujan, tapi ia berpegang teguh terhadap prinsip hidup yang ia yakini semasa bernapas di bumi. Bagaimanapun, dia pantang menyerah.

Tidak butuh waktu lama setelah ia magang di sana selama tiga bulan, ia mengundurkan diri. Entah terbersit apa di dalam kepalanya saat itu, yang pasti sesuatu di luar jangkauan pikirannya saat ini. Terlalu gila—benar-benar gila sampai Jean lupa kenapa ia memutuskan hal bodoh seperti itu. Alhasil, mau tak mau ia harus mencari kerja lagi dengan pengalaman belum cukupnya tercetak tegas berwarna hitam di atas kertas Curriculum vitae miliknya yang ia pakai untuk melamar pekerjaan. Ia amat menyesal, tapi nasi sudah jadi bubur. Akan berdampak buruk baginya jika ia hanya menyesali dan tidak segera bangkit.

//

Jika ada seseorang yang ingin ia beri terima kasih sebanyak mungkin (segunung pun tidak masalah), adalah seorang gadis berambut brunette dikuncir kuda yang ia temui pertama kali saat masa pengenalan universitas pada musim semi lima tahun lalu.

"Sasha Blouse," kata gadis itu sambil mengulurkan tangan kanannya kepada Jean, sedang tangan kirinya memegang erat sepotong kentang rebus dengan kepulan uap panas berkumpul layaknya ombak di hadapan wajah gadis itu. Dengan pipi gembung yang masih mengunyah, sang gadis tersenyum. Jean terkesiap, ada perasaan ngeri dan kagum terlukis di mata cokelat mudanya—berpikir, itu lidah enggak melepuh, kan? Sempat terpikirkan olehnya, jika ia makan dengan cara seperti itu, bisa-bisa lidahnya mati rasa dan ia tak lagi bisa mencicipi gurihnya omelette buatan Ibunya di rumah. Itu adalah skenario terburuk yang Jean pernah bayangkan.

Ada jeda sekian detik sebelum kesadaran kembali hinggap di dirinya. Ia membalas uluran tangan gadis itu dan memperkenalkan diri.

"Jean Kirschtein, panggil saja Jean." Ia menjabat tangannya tegas sambil tersenyum simpul—sebagai balasan atas senyuman sang gadis.

Sasha—nama gadis itu—menelan kasar kentangnya lebih dulu. "Senang berkenalan denganmu!" ucapnya riang disertai bulan sabit terlukis di wajahnya. Ia mengguncang pelan jabatan tangan mereka ke atas dan ke bawah, kemudian melepaskannya sedetik kemudian.

Sejak saat itu, mereka menjadi teman sebangku—atau bahkan lebih dalam dari sekadar itu.

Sasha adalah teman sehidup semati. Kepribadiannya yang ceria dan hangat seperti matahari membuat Jean ingin selalu berada di sampingnya. Maka dari itu, mereka selalu berdua kemana pun dan kapan pun, seperti kohesi pada lem. Mereka tidak terpisahkan.

//

Ketika mereka jadi mahasiswa senior selama setengah tahun, Sasha termasuk kategori tidak beruntung kala itu.

"Cari kerja susah minta ampun, ya ...," keluhnya suatu hari pada waktu jam makan siang di kantin. Jean bisa merasakan ada aura gelap menggerayangi diri sang gadis. Dengan tidak semangat, ia menghabiskan makan siangnya ditemani Jean yang hanya bisa tersenyum kikuk dan menyemangatinya. Ia tahu kalau Sasha adalah pejuang. Ia yakin Sasha pasti bisa melewati tanjakan kecil ini.

Lika-Liku Satpam ApartemenWhere stories live. Discover now