Karena tahu bahwa tidak mungkin Rea asli tidak mengenali suster ini, gadis itu memilih tersenyum membalas sapaan suster tersebut.

"A-ah iya," balasnya canggung.

"Udah lama gak ketemu ya, Mbak. Katanya Suster Sekar, Mbak Rea terakhir jenguk Pak Wijaya dua minggu lalu waktu saya gak ada jadwal ngejaga ya?" Rea sedikit bingung harus menjawab apa. Tanpa sengaja, matanya menangkap nametag suster di depannya yang bertuliskan 'Nuri' dengan huruf kapital. 

"Ah iya, Sus. Waktu itu kata Suster Sekar, Suster Nuri gak ada jadwal jaga. Jadi kita gak ketemu waktu saya ke sini terakhir kali. Maaf ya, Sus, minggu kemarin saya gak ke sini soalnya agak gak enak badan," Rea tersenyum canggung, kedua tangannya menggenggam erat pegangan parsel berisi buah-buahan yang sempat ia beli saat perjalanan tadi.

"Kenapa minta maaf Mbak? Itu bukan salah Mbak Rea tau," Nuri menggeleng pelan, memastikan bahwa itu bukan salah Rea. Lagipula hak Rea mau menjenguk Ayahnya yang merupakan pasien disini kapan saja. 

Hanya saja, Nuri selalu merasa bahwa Rea adalah seorang gadis baik yang sangat menyayangi Ayahnya. Bukan hal yang tidak wajarkan jika ia merasa ingin akrab dengan gadis sebaik Rea?

"Mau ketemu Pak Wijaya sekarang, Mbak?" tawar Nuri setelah menyadari bahwa Rea hanya tersenyum menanggapi perkataannya. 

"Boleh," jawab Rea sambil mengangguk. 

Rea mengikuti langkah Nuri yang membawanya masuk lebih dalam ke bangunan rumah sakit jiwa tersebut. Disetiap langkahnya, Rea menoleh ke kanan dan kiri. Matanya menangkap berbagai pemandangan berbeda-beda setiap sudut.

Ada seorang anak remaja laki-laki yang berbicara sendiri, ada anak remaja perempuan yang berbicara dengan pohon, anak kecil yang kejar-kejaran dengan susternya sambil tertawa, ada juga yang membawa kertas dan merobeknya kecil-kecil, remaja perempuan satu itu tertawa kencang setiap kali susternya mengomel karena sampahnya.

"Tadi Pak Wijaya habis mandi, jadi lagi berjemur di taman barat sama Suster Sekar," Rea menoleh ke arah Nuri yang berbicara dengan fokusnya yang masih ke depan.

"Itu dia Pak Wijaya," Rea mengikuti ke arah yang ditunjuk Nuri. Disana terdapat seorang perempuan berbaju perawat yang ia yakini adalah Suster Sekar tengah berusaha menyuapi seorang pria berumur awal 40 an yang duduk diam di atas kursi rodanya.

Perasaan campur aduk menghampirinya. Perasaan bahagia saat melihat sosok pria itu melingkupi hatinya, perasaan sedih juga dapat ia rasakan berdorongan dengan perasaan bahagia tersebut, tapi di sudut hatinya terdapat perasaan marah yang membara mengingat penyebab Ayahnya seperti itu.

Rea yakin itu adalah perasaan alami Rea asli ketika melihat sosok Ayahnya. Kenyataan bahwa ia hanya mengisi raga gadis ini, membuatnya sadar bahwa perasaan Rea asli masih tertinggal dan membayanginya. 

Ia baru pertama kali merasakan emosi yang berbarengan dan terasa sangat sukar dikontrol. Saking sulitnya, ia bahkan tidak tahu harus menampakkan ekspresi apa untuk berhadapan dengan Ayahnya nanti.

"Mbak Rea gak mau nyamperin?" lamunan Rea buyar saat mendengar suara Nuri yang berdiri di sampingnya. 

"O-oh, iya."

Meski sedikit ragu, Rea tetap berjalan mendekat. Seolah sadar, Sekar yang awalnya berjongkok beralih berdiri dan tersenyum menyapa Rea.

"Mbak, ini Pak Wijaya lagi sarapan," Sekar buka suara sebagai bentuk basa-basi dengan Rea.

"Saya lanjutin aja Sus nyuapinnya," minta Rea sambil menjulurkan tangannya hendak meraih piring di tangan Sekar.

"Ini, Mbak," Sekar memberikan piring di tangannya ke Rea. "Buah-buahannya mau saya simpenin buat Pak Wijaya?" Rea mengangguk sambil menyodorkan parsel buah-buahannya ke arah Sekar yang diterimanya.

"Saya simpen dulu ya, Mbak," pamit Sekar yang dijawab anggukan lagi oleh gadis itu.

"Mbak Rea, saya juga harus meriksa pasien lain. Saya permisi ya," lagi-lagi Rea mengangguk sebagai balasannya.

Kini di sana hanya ada ia dan Pak Wijaya─Ayah Rea─ yang hanya duduk di atas kursi roda sambil diam menatap kosong ke arah depan. Dengan pelan, gadis itu bergerak mendekat dan berjongkok di hadapan Wijaya.

"Makan ya, Yah," suara Rea sedikit bergetar menahan sesak yang memenuhi hatinya.

Tubuh gadis itu semakin bergetar saat pandangan kosong Wijaya beralih menatapnya sendu. Matanya berkaca-kaca sedih dan terharu secara bersamaan tanpa alasan.

"Rea... kemana?" Wijaya bergumam dengan suara lirih. Rea tertegun mendengar pertanyaan Wijaya.

Ia terkejut saat mengetahui bahwa Ayah Rea berbicara padanya. Seingatnya, di dalam novel Ayah Rea disebutkan tak pernah sekalipun berbicara meski pada Rea juga. Tapi kini, beliau berbicara menanyakan dimana putrinya.

Apakah Ayah Rea tahu bahwa ia bukan anaknya?

"Rea kemana aja? Ayah kangen," Wijaya kembali melanjutkan perkataannya dengan tatapan sendu.

Perasaan lega melingkupi gadis itu ketika tahu maksud dari perkataan Wijaya sebelumnya. Ia pikir, Wijaya tahu ia bukan anaknya hingga menanyakan hal tersebut. Ternyata, pria berumur kepala empat itu hanya merindukan anaknya.

"Aku disini kok, Yah. Maaf minggu kemarin gak bisa dateng, Rea gak enak badan soalnya," Rea membalas dengan suara selembut mungkin sambil membalas tatapan Wijaya teduh. Wijaya mengangguk pelan.

"Ayah makan, ya?" Wijaya kembali mengangguk menjawab Rea.

Rea kemudian mulai menyodorkan sendok berisi bubur ke arah mulut Wijaya yang langsung diterima pria itu. Gadis itu tersenyum melihat Ayah Rea lahap memakan sarapannya hari ini, tapi sedikit sedih saat melihat tidak ada senyuman di wajah yang telah berkerut halus itu.

Tubuh Rea tertegun, keningnya mengerut halus saat melihat air mata menetes di pipi Wijaya. "Ayah kenapa?" tanyanya dengan nada sarat akan kekhawatiran.

Wijaya menggeleng pelan, membiarkan Rea menghapus air mata di pipinya dengan lembut.

"Kenapa Ayah nangis?" Rea menaruh piring berisi bubur itu di atas kursi taman, tangannya beralih menggenggam tangan Wijaya yang dingin.

Wijaya menggeleng lagi, "Ayah cuma kangen sama Rea," suara lirih Wijaya terdengar saat mulutnya terbuka

Jantung Rea seolah berhenti berdetak mendengar perkataan Wijaya. Rasa sesak karena kecewa tiba-tiba memenuhi hatinya. Ia bingung perasaan sesak itu adalah perasaan Rea asli atau perasaannya sendiri.

Jika memang benar perasaan milik Rea asli, kenapa ia harus merasa kecewa padahal Ayahnya sendiri merindukannya. Lalu jika bukan perasaan milik Rea asli, kenapa ia harus kecewa?

Kenapa juga Wijaya harus mengatakan ia merindukan anaknya ketika raga putrinya sudah diisi olehnya?

Rea tidak pernah tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. Yang ia tahu, ia akan selalu berusaha menjadi Adrea Putri Admadja, anak Wijaya Admadja bagi pria yang jiwanya terganggu semenjak perusahaannya bangkrut tiga tahun lalu.

Ia akan selalu berusaha mencintai pria itu selayaknya Rea mencintainya. Cinta yang ia yakini jauh lebih besar dari cintanya pada Nathan.

Karena ia hanya bisa merasakan perasaan Rea asli yang bersangkutan dengan Ayahnya, bukan Nathan maupun orang lain.

To be continue...

••••

makasih banget buat yang udah vote dan komen di part-part sebelumnya

di part kemarin ada yang minta double up? maaf banget lusi belum bisa janjiin double update, sebagai gantinya ini lusi up pagi. Nanti malem kalo udah selesai ngetik part selanjutnya, bakal langsung lusi up kok. kalo gak up brati ya belom selesai 😭

lusi sempet baca komentar kemarin ada yang bilang cerita ini seru kenapa vote-nya dikit

makasih banget buat komentarnya, tapi menurut lusi cerita ini masih banyak kurangnya. salah satunya adalah alurnya lambat dan mungkin garing(?). dapet vote segitu udah diluar ekspektasi lusi dan lusi bersyukur banget buat itu

sekali lagi, lusi ucapkan terima kasih untuk teman-teman lusi yg udh vote dan komen

ily sm😭❤

Am I Antagonist? Where stories live. Discover now