JK's First Birthday | 2

464 60 19
                                    

Suapan kue terakhir di atas piring kuhabiskan cepat-cepat, karena si kembar bisa terbangun kapan saja. Sebelum hal itu terjadi, segera kubereskan meja makan dan merapikan ruang tamu yang sempat menjadi arena bermain mereka. Tadi Kia rewel dan minta semua balon yang ditempel di dinding diturunkan, sampai-sampai telingaku terasa pekak hingga sekarang.

Aku sempat mendesah ketika melihat kekacauan yang harus kuurai di hadapan mata. Rasanya sepotong cake dan segelas besar es teh manis belum cukup. Namun, tidak ada waktu bersantai bagi seorang ibu dua bayi aktif tanpa dibantu ART, bukan? Ya, pekerjaan di rumah ini seperti bersekongkol, saling berkejaran dan tidak mau menunggu sampai pekerjaan lain diselesaikan.

Atau, apakah pekerjaan di setiap rumah juga sama?

Dalam waktu sepuluh menit, kedua ruangan itu sudah kusulap kembali ke mode normal--setidaknya dalam pandanganku, lalu menderap langkah menuju mesin cuci. Sebelum tadi pagi sempat menjemur belasan potong pakaian di dalamnya, suara tangisan Jia mengalihkan perhatian.

Aku sudah berdiri di depan kulkas untuk menyiapkan makan siang, sambil sesekali melongokkan kepala ke arah kamar, dan mendapati mereka masih terlelap. Syukurlah. Setidaknya pekerjaan yang tidak ada habisnya ini bisa kukerjakan dengan tenang.

Sebuah pekikan tertahan seketika keluar dari mulut, bekerja refleks dengan mata yang membola, ketika mendapati tanggal kadaluarsa yang tertera pada botol sambal. Oleh-oleh dari Surabaya itu sudah terlewati masa konsumsinya selama beberapa hari. Padahal, botolnya masih setengah terisi dan sudah kurencanakan untuk dipakai siang ini.

Entah kenapa, tiba-tiba saja rasa sebal dan sesal membuatku sesak. Sesuatu yang jarang kurasakan sebelum dua tahun terakhir, setiap terpaksa harus membuang makanan.

Saking asyiknya mengomeli diri sendiri bahwa perbuatan mubazir itu adalah temannya setan, aku bahkan tidak mendengar suara mobil menepi di carpot mungil kami, hingga Mas Ryan sudah berdiri di balik pintu dan membukanya selepas mengucap salam.

"Lo, sudah pulang?" Aku menoleh dan menatapnya heran. Kalau tahu akan pulang lebih cepat, sebaiknya tadi kutunggu saja.

"Iya. Tadi ada beberapa tim juga yang datang," katanya sambil menutup pintu, "mas cuma ambil sampling dan diskusi sebentar dengan tim QC, lalu pamit pulang. Jia sama Kia tidur?" Mas Ryan meletakkan tas di atas sofa, lalu berjalan menghampiriku.

"Iya, di kamar depan," jawabku sambil menutup pintu kulkas. Namun, sebelum sempat berbalik, sebuah kecupan sudah mendarat di puncak kepala. Tubuhnya yang dua puluh lima sentimeter lebih tinggi itu tidak perlu berjinjit untuk melakukannya.

Pipiku menghangat. "Apaan, sih?" Reflek kusikut lengannya. "Aku ambilkan minum dulu, ya?"

Alih-alih menjawab, Mas Ryan malah melingkarkan tangan di pinggang dan menarikku dalam pelukan.

Ia menjatuhkan kepalanya di bahuku. "Maaf," ucap Mas Ryan terdengar lebih dalam di telinga, membuat bulu kudukku meremang seketika. "Mas nggak bantuin apa-apa, ya, tadi. Pasti capek udah nyiapin dan beresin sendirian. Nanti mas pijitin, ya." Kalimatnya berhasil membuat pipiku kembali memanas. "Sebagai gantinya, gimana kalau kita makan siang di luar? Belum masak, 'kan?"

Bukannya senang, senyumku langsung menghilang.

Aku melepas pelukan dengan sedikit kasar, lalu berbalik. "Makan di luar?" tanyaku menyelidik. Apa Mas Ryan mulai bosan masakan buatanku?

"Sesekali aja kita makan siang di luar. Mumpung weekend, apalagi hari spesial kayak gini. Mas belum kasih hadiah buat mamanya Jia dan Kia juga." Senyumnya tetap merekah, tanpa terpengaruhi tatapan anehku. "Kamu mau makan apa? Steak?"

Bibirku mengerucut. Walau saliva bergulung saat membayangkan tenderloin steak dengan tingkat kematangan medium dan saus mushroom yang creamy, aku melipat tangan di depan dada sebagai penolakan. "Bukan waktunya untuk memboroskan uang. Ini sudah tanggal dua puluh dan sebentar lagi jadwal Kia untuk ...." Kalimatku menggantung ketika melihat senyumnya ikut luruh.

Mas Ryan mundur satu langkah. Garis wajah tegasnya seketika dibayangi awan mendung.

Aku berdehem, menyesali perkataan yang begitu saja meluncur dan berhasil menghancurkan moodnya.

"Eh, bagaimana kalau kita bikin steak di rumah?" Aku menarik garis bibir ke atas, sesimetris mungkin, mencoba memperbaiki suasana. "Kita beli daging dan buat sausnya sendiri, ya?" Mas Ryan masih belum menjawab, tapi aku melanjutkan, "Sekalian aja beli sabun, kayaknya mau habis."

Sorot matanya yang meredup kembali hidup, seiring tarikan garis bibir yang terlihat dipaksakan. "Oke," jawabnya sambil mengecup dahiku dan bergegas menuju kamar depan.

Aku kembali mendesah, berusaha mengusir rasa.

***

Jia dan Kia tidak pernah kuajak keluar untuk jalan-jalan atau sekadar berbelanja, kecuali jika bersama Mas Ryan. Selain usia mereka yang baru genap setahun, membawa keduanya sendirian benar-benar butuh tenaga yang ekstra. Jika Mas Ryan sedang berhalangan membelikan kebutuhan bulanan, aku lebih memilih untuk membeli secara daring, daripada membawa serta keduanya.

Jadi, bisa dibilang kali ini belanja sambil piknik keluarga.

Jia terus memainkan tangan dan kakinya yang bebas di atas gendongan Mas Ryan, sementara Kia asyik memainkan ludah di gendonganku. Keduanya beberapa kali menjadi pusat perhatian pengunjung karena wajah dan pakaian mereka. Tanpa mengenakan outfit--Jumpsuit merah jambu dengan ikat rambut warna senada--yang sama pun sebenarnya mereka mudah dikenali sebagai bayi kembar.

Sesekali tangan Jia iseng menarik rambut Kia, ketika aku dan Mas Ryan jalan bersisian. Tentu saja tangan Jia otomatis akan lebih tinggi daripada kepala Kia. Menyadari hal itu, tiba-tiba saja aku ingin memakai sepatu berhak tinggi.

Mas Ryan membantuku mengambilkan deterjen cair di deretan rak sabun, manakala aku memilih daging steak di bagian daging segar. Ketika tengah memindai ukuran sambil membandingkan harga yang tertera pada plastik pembungkusnya, sebuah tepukan di bahu membuat tubuhku sedikit melonjak kaget.

"Kanaya?" Telunjuknya kini terarah lurus ke depan hidungku. "Bener Naya, 'kan?" Kedua tangannya lalu ditelungkupkan di depan mulut. Bola mata yang melebar sambil bergerak cepat itu menandakan kalau ia masih terkejut.

Mungkin terkejut dengan penampilanku.

"Jadi ini Jia?" tanyanya setelah kembali tersadar. "Mana Kia?" Tangannya sudah mampir di pipi Kia.

"Ini Kia. Jia sama ayahnya. Kia, ini aunty Bella, teman kuliah mama dulu."

"Oh, maaf Kia sayang," ralatnya, selesai memainkan pipi Kia. "Kamu, sih, jarang datang ke acara ngumpul. Jadi aku nggak bisa ngenalin mana Kia mana Jia."

"Sorry, aku agak sibuk, jadi belum bisa gabung." Aku hanya berbasa-basi. Sedetik kemudian, kepalaku sudah sibuk mencari alasan untuk bisa menghindari percakapan panjang. Mataku kembali melirik rak daging yang dipenuhi es batu sebagai alasnya di samping kami.

"Tapi nanti datang, kan?"

Kepalaku refleks menoleh.

Ke acara farewell party Tasya? Ya Allah, sudah berapa kali aku diingatkan dengan acara itu sehari ini saja?

"Kurang tahu, lihat saja nanti." Aku tidak balas menatapnya, melainkan buru-buru mengambil salah satu daging steak dalam kemasan--yang anehnya kini tampak semua sama--tanpa melihat lagi harganya, lalu mengacungkannya sambil berkata. "Aku sudah selesai. Duluan, ya."

Tanpa menengok lagi ke belakang, aku berjalan cepat menuju deretan rak sabun.

Ya, inilah alasan terbesarku malas untuk keluar rumah; bertemu dengan salah satu teman lama.

***

Maafkan baru bisa update, huhu.
Dunia nyata benar-benar menguras perhatian dan pikiran.

Para tetangga (satu per satu) tumbang 😭😭
Semoga pandemi ini segera berlalu.

Jaga kesehatan dan selalu patuhi prokes, ya. Hanya itu ikhtiar kita.

Part Time MomWhere stories live. Discover now