Empat

16 9 0
                                    

Keesokan harinya, aku dan Vanya melewatkan jam makan siang untuk bertemu Nicholas yang katanya sering sekali berada di perpustakaan untuk menghafal jurnal-jurnal ilmiah. Lelaki dengan kacamata tebal itu berada di sudut perpustakaan, memangku buku setebal tiga kali kamus besar Bahasa Inggris.

"Nicholas!" panggil Vanya. Namun, lelaki itu tak menyahut. Masih terdiam di tempatnya.

"Nicholas!" panggil Vanya lagi dan tetap. Lelaki itu tak bergeming.

Aku segera maju, berhadapan dengan lelaki itu lalu mengambil sesuatu dari telinganya. Earphone transparant yang akan membuatmu tak mendengar hal sekitar. Pantas saja dia tiba-tiba tuli dipanggil sedemikian kencang oleh Vanya.

Nicholas yang melihat itu sedikit terkejut. Apalagi ketika jarak antara aku dan dia hanya terpaut lima centimeter saja. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya.

"Bisa kita bicara sebentar?"

Lelaki itu menggeleng, menggulir kertas pada halaman selanjutnya. "Aku sibuk!"

"Lima menit! Lima menit saja!"

Nicholas menggeleng. Dasar lelaki sok jual mahal!

"Empat menit?"

Ia tetap bersikeras menggeleng. Aku menghela nafas mengatur emosi. Jika tidak sedang putus asa, akan ku tonjok muka songongnya itu!

"Dua menit? Ini menyangkut sekolah kita!"

Lelaki itu menggeleng. "Aku tak peduli!"

"Baiklah, bagaimana jika satu menit? Tak akan lama," pinta Vanya dengan memohon. Namun, lelaki itu kembali menggeleng.

"Sudahlah Van. Kita cari siswa lainnya saja yang mau membantu kita," ajakku kepada Vanya yang sudah memohon-mohon di hadapan lelaki songong itu. Tak tega rasanya melihat temanku berperilaku sedemikian rupa.

"Tapi Lyd, kita tak punya siapa-siapa lagi!"

Wajah Nicholas yang semula hanya menatap buku kini beralih menatapku. "Siapa namamu?"

"Apa gunanya?"

"Cepat katakan!"

"Lydia! Lydia Xircavia."

Dengan tiba-tiba lelaki itu menutup bukunya lalu berdiri. Ia menarik tanganku, meninggalkan Vanya yang masih terkejut dengan apa yang terjadi.

"Lepaskan!" teriakku. Namun, lelaki itu terus memaksaku mengikutinya. Bahkan ia tak terusik sama sekali ketika semua siswa yang ada di lorong tengah menatap kami.

Nicholas berhenti di sebuah dinding tua. Ia menekan satu batu bata yang ada di sana lalu dengan gerakan kilat kami sudah menembus dinding itu yang menampilkan sebuah ruangan rahasia yang tak pernah kutemui sebelumnya. Aku jadi heran, apakah seluruh peghuni Steward School memiliki ruangan rahasianya masing-masing huh?

"Ini ruangan milik ayahku dulunya," kata lelaki itu seolah membaca pikiranku. Aku hanya terdiam, menatap ruangan itu yang penuh dengan buku dan alat praktikum aneh. Di sebelah rak buku terdapat anjing berbulu kelinci yang lucu tengah tertidur pulas di balik selimut. Aku hendak mengusapnya, namun Nicholas segera mencegah. "Jangan! Tanganmu akan tertusuk duri jika mengusapnya! Dia merubah bulunya menjadi seperti landak jika terancam bahaya!"

 "Jangan! Tanganmu akan tertusuk duri jika mengusapnya! Dia merubah bulunya menjadi seperti landak jika terancam bahaya!"

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

Aku segera mundur beberapa langkah. "Jenis apa ini?" tanyaku ketika tiba-tiba saja teringat dengan resume dari Professor Selena kemarin.

"Semacam Dobit Porcupiny."

"Lalu kandang kosong itu?"

"Tikusku. Flapinno Soricomorpha. Tapi dia hilang beberapa hari yang lalu."

Aku terkejut, menatap kandang kosong di sebelah anjing lucu itu. "Kau? Punya Flapinno Soricomorpha? Hewan mahal itu?"

Nicholas mengangguk. "Memangnya kenapa?"

"Pamanku juga punya dan ku gunakan untuk menulis tugas resume di kelas Professor Selena. Yang kutahu sekarang mereka sudah sangat langka karena pemburuan liar, padahal mereka lucu sekali," pujiku membuat Nicholas menundukkan kepalanya sedih. Sepertinya ia teringat dengan hewan kesayangannya itu.

Namun, beberapa saat kemudian, Nicholas mengambil sesuatu dari rak bukunya. Ia lalu menyuruhku mendekat.

"Ku dengar kau kemarin pingsan setelah Professor Dwynda ditemukan tewas di rawa-rawa."

"Yap! Dan aku disuruh Professor Erisco untuk menyelidikinya."

Nicholas tersenyum meremehkan. "Bagaimana bisa? Bahkan pihak kementrian pun tak menemukan apapun di tempat kejadian."

"Dia akan mengembalikan waktu. Aku akan kembali sebelum hari itu dalam mimpiku."

Nicholas mengangguk. "Lalu apa hubungannya denganku?"

"Vanya bilang kau sangat ahli mengungkap misteri. Aku akan mengajakmu mengungkap kebenaran. Bagaimana?" tanyaku dengan wajah yang sungguh menanti jawaban dari Nicholas.

Lelaki itu tersenyum. "Apakah benar kau bisa kembali ke masa lalu melalui mimpimu?"

"Aku tak tau pasti. Tapi kata Professor Erisco keturunan Xircavia bisa melakukannya," kataku berusaha meyakinkan Nicholas.

"Kita akan kembali tanggal berapa?"

Aku menatap kalender tua yang ada di sebelah meja praktikum milik lelaki itu. "Kematian Professor Dwynda adalah tanggal 11 Maret. Mungkin kita akan kembali pada tanggal 9 Maret. Kenapa?"

"Tikus lorengku hilang sekitar tanggal 10. Mungkin aku bisa sekalian mencarinya."

Mataku membulat, manatap Nicholas dengan tatapan tak percaya. "Apakah kau setuju ikut denganku?"

"Perintah langsung dari Kepala Sekolah bagaimana bisa kutolak?"

"Professor Erisco memberitahumu?"

Nicholas mengangguk.

"Lantas kenapa kau pura-pura menolak! Dasar kurang ajar!" pekikku kesal sedangkan lelaki itu sudah tertawa di tempatnya. "Aku pikir kita perlu sebuah rencana."

"Setuju! Kita akan bisa mengungkap siapa pelaku di balik kematian itu!" ujarku dengan penuh semangat. Rasanya saraf adrenalin dalam diriku sangat membara sekarang.

Hey hey hey! Attack On School udah up lagi nihh!

Sejauh ini gimana ceritanya? Apakah membuat kalian penasaran? Jangan lupa simpan di library list kalian yaaa, see u!

Attack On School [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz