Halo, this is my new story !
Cerita ini murni ide dari otak kecilku. Jadi mohon maaf bila ada alur yang tidak sesuai dengan ekspetasi kalian.
SELAMAT MEMBACA !!
DIMOHON UNTUK TIDAK PLAGIAT.
________________________________
M E T A N O I A
PROLOGS
"Akh! Sialan."
Darah mengalir deras saat sebuah pedang mengelukai lengan kanannya. Mendesis tajam, ia berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan bangkit, berjalan menghampiri sosok dihadapannya dengan jubah putih yang dikenakan, menambah aura Agung yang semakin kuat. Dengan darah kental yang terus mengalir, ia mengetatkan genggamannya pada pedang, bersiap akan menyerah.
Sebelum menyerang, lagi-lagi sosok dihadapannya lebih dulu menyerangnya. Mengayunkan pedang sucinya dengan lihai hingga kembali melukai lengan kirinya. Sosok itu mulai merapalkan sebuah mantra yang membuat si lawan makin merintih kesakitan.
"Akh! Apa yang kau lakukan?!" merintih kesakitan, si lawan dengan lemah. Suaranya pecah, tercampur darah yang mulai memenuhi rongga mulutnya.
Sosok berjubah putih itu tidak menjawab. Sorot matanya tajam, seolah menembus jauh ke dalam jiwa lawannya. Bibirnya hanya bergerak pelan, menyusun mantra yang kian kuat, hingga udara di sekitar mereka bergetar—membuat tanah retak dan angin berputar liar.
“Demi cahaya Ilahi,” gumamnya, suara dalam sekaligus penuh wibawa. “Aku, Ksatria Agung, tidak akan membiarkan kegelapanmu merusak tanah suci ini.”
Cahaya pedang suci itu meledak, melingkar membentuk lingkaran bercahaya di tanah. Simbol-simbol kuno mulai terpahat di permukaan, menyala keemasan seakan dipahat oleh tangan para dewa. Dalam sekejap, sosok dihadapannya terhempas jatuh ke tengah lingkaran.
“Akhh!!” teriaknya meraung, tubuhnya terhentak saat cahaya-cahaya suci melilit pergelangan tangan dan kakinya. Seperti rantai tak kasat mata, sinar itu mengekang, menahan setiap gerakannya.
“Tidak… tidak mungkin!” matanya melotot, penuh amarah sekaligus ketakutan. Urat-urat hitam di tubuhnya semakin membesar, mencoba melawan, namun setiap kali ia menggeram dan berusaha melepaskan diri, cahaya itu justru semakin mengencang, membakar kulitnya dengan panas suci.
“Heh… cahaya suci… memang kuat,” suaranya parau, namun mengandung nada mengejek. “Tapi cahaya juga… selalu melahirkan bayangan.”
Udara di dalam kubah bergetar. Asap hitam tipis merembes keluar dari tubuhnya, membentuk huruf-huruf asing yang melayang di udara. Mantra itu bukan berasal dari mulutnya semata, tapi dari sesuatu yang lebih dalam—sebuah perjanjian kuno yang mengikat dirinya.
Mata sang Ksatria Agung terbelalak. “Mantra terlarang…” bisiknya, langsung mengetatkan genggaman pada pedang.
Sosok itu tertawa lirih, batuk bercampur darah, namun terus memaksa kata-kata terakhirnya:
“Ketika… bulan merah bangkit di langit utara… gerbang es akan retak, dan yang terkubur akan bangun.”
Matanya yang redup menatap langsung pada sang ksatria, seolah menancapkan kutukan itu ke dalam hatinya.
“Bahkan kerajaanmu… juga bahkan Aethales yang megah… akan berlutut di hadapan kegelapan yang sesungguhnya.”
Tiba-tiba asap hitam itu menyatu, membentuk simbol tak dikenal di udara—lingkaran dengan garis berkelok menyerupai mata yang mengintai. Simbol itu berdenyut sekali, lalu lenyap begitu saja, seakan menembus dimensi lain.
Ksatria Agung itu masih menatap kosong pada tanah, tempat simbol hitam tadi lenyap. Namun gema kata-kata sosok kegelapan itu terus berputar di kepalanya.
Bulan merah… gerbang es… yang terkubur akan bangun.
Tiba-tiba, cahaya dari pedang sucinya meredup. Namun bersamaan dengan itu, suara lirih seperti bisikan angin terdengar di telinganya. Bukan suara manusia, melainkan gema yang seolah datang dari takdir itu sendiri.
"Lima putri darah ilahi… akan menjadi kunci."
Mata Ksatria melebar. Ia menoleh ke sekeliling, tapi hutan sunyi. Tak ada siapa pun. Namun bisikan itu semakin jelas, menggema di dalam pikirannya.
"Mereka terlempar ke dunia fana, jauh dari takhta para dewa. Saat bulan merah muncul, hanya mereka yang dapat menutup gerbang kegelapan… atau membukanya untuk menghancurkan segalanya."
Angin berhembus kencang, menggoyang pepohonan. Seolah alam sendiri menegaskan ramalan itu. Ksatria Agung merasakan dadanya sesak, beban yang lebih berat dari semua peperangan yang pernah ia lalui.
Ia tahu cerita lama itu—mitos yang dikisahkan para pendeta Aethales, tentang lima keturunan dewa-dewi yang diwariskan ke dunia manusia. Namun, selama berabad-abad, kisah itu hanya dianggap dongeng penenang hati rakyat. Tidak ada yang benar-benar percaya… sampai kini.
“Apakah mereka benar-benar ada…?” gumamnya, genggaman di pedang menguat.
— M E T A N O I A —
DU LIEST GERADE
METANOIA
FantasySejak menerima sebuah kalung misterius dan terlempar ke dunia asing, kehidupan lima gadis itu berubah selamanya. Garis takdir mereka terjalin ulang, memaksa mereka menghadapi ujian yang tak pernah terbayangkan. Setiap langkah membawa rahasia baru, s...
