DUA

10 1 0
                                    

"Nona ... nona, apa yang terjadi? Nona!"

"Pergi! Pergi dari hidupku!"

Nina berteriak histeris sambil memukul-mukulkan tangan ke udara seolah ingin menghalau sesuatu. Seorang wanita paruh baya memegang tongkat berdiri di ambang pintu, menatap Nina cemas.

"Tenangkan dirimu," kata wanita itu. "Kamu siapa? Dan kenapa malam-malam begini datang menggedor-gedor pintu rumahku?" ucapnya lagi menatap menyelidik Nina dari atas sampai bawah. Piyama putih panjang yang dipakai wanita itu sesekali berkibar diterpa angin yang berhembus pelan.

"Ma--maafkan aku," Nina terkesiap, mengambil napas pelan beberapa kali dan mengaturnya kembali normal. "Aku mungkin terlalu kecapekan karena seharian ini sudah melakukan perjalanan yang cukup jauh. Namaku Nina. Pasti Anda Nyonya Helga Schwarz. Kita sempat bicara kemarin lewat telepon."

Wanita paruh baya itu mengernyit lalu menjawab, "kamu pengurus rumah yang akan datang sore tadi, bukan?"

"Benar, itu aku." Nina menganggukan kepala dan tersenyum tipis, merasa lega karena ia sudah sampai ke arah yang dituju.

"Masuklah. Udara diluar cukup dingin." Helga mempersilahkan Nina masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintu pelan. Berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat, Helga membawa Nina masuk ke dalam.

Dari pintu masuk, Nina melewati sebuah lorong temaram menuju ke ruangan yang lebih luas. Di ruangan ini menyediakan sebuah meja pualam kayu berukir yang cukup besar dengan sebuah sofa empuk panjamg merah berukiran senada dengan meja dan dua buah kursi di sisi kanan dan kiri meja, juga dengan warna dan motif yang sama. Di belakang sofa terpajang sebuah lukisan tua sebuah keluarga kecil. Nina menyimpulkan itu adalah gambar keluarga Schwarz. Tepat di belakang kursi, pada dinding kiri dan kanan berdiri rak kayu raksasa yang berisi berbagai macam buku dengan ukuran yang beragam. Di sebelah rak buku bagian kanan terdapat sebuah tangga melingkar menuju ke lantai atas. Lantai rumah terasa begitu dingin saat Nina membuka sepatunya di ujung lorong. Seakan kurang mendapatkan udara segar, rumah itu terkesan pengap dan sedikit lembab.

"Duduklah di sini dulu, aku akan kembali sebentar lagi." Helga mempersilahkan tamunya duduk, lalu ia melangkah pelan ke arah lorong lain dan menghilang.

Nina mengedarkan pandangannya berkeliling. Sekali-kali ia menggosok-gosokkan tangan untuk menciptakan kehangatan. Ia lalu bangkit, memperhatikan rak kayu di hadapannya. Buku-buku tertata rapi membentuk barisan vertikal dan horisontal. Nina menilik satu-satu buku-buku itu. Kebanyakan buku itu adalah karya-karya sastra kuno yang mungkin sudah jarang dilirik oleh anak jaman sekarang. Debu-debu yang menempel cukup tebal pada tumpukan buku itu menandakan kalau mereka jarang disentuh.

"Ehem ... ehem."

Helga berdeham. Wanita itu sudah berdiri dengan sebuah cangkir di tangan. Nina membalikkan badan, buru-buru ia duduk kembali ke tempatnya semula.

"Minumlah teh ini supaya badanmu sedikit lebih hangat," ucap Helga menyodorkan cangkir porselen dengan hiasan bunga-bunga mawar yang indah.

"Terima kasih, Nyonya." Nina menerima cangkir itu, meniupnya pelan-pelan dan menyeruputnya. Teh bunga Kamille adalah teh favoritnya. Harumnya yang khas membuat sekujur tubuh Nina kembali mulai menghangat.  "Tehnya nikmat sekali. Ini adalah teh kesukaanku, Nyonya." Mata Nina berbinar.

"Jangan panggil aku Nyonya. Cukup Helga saja." Helga mengembangkan senyum. Wanita berambut panjang hampir sepinggang dengan warna yang hampir memutih semua menaruh bokongnya di kursi sebelah kiri.

Nina menggerakkan kepala tanda menyetujui, memperhatikan lagi secara seksama wajah wanita yang duduk berjarak dua atau tiga meter didekatnya. Lingkaran hitam yang menghias di kedua mata Helga layaknya seperti orang yang susah tidur. Hei tunggu ... mata itu? Nina menyipitkan mata, menyorot lebih tajam. Cahaya lampu yang temaram sedikit menghalangi jarak pandang walau mereka sebenarnya dalam jarak yang cukup dekat. Ada yang aneh dwngan mata sebelah kanan Helga. Mata itu ... seperti mata orang pengidap katarak, semuanya hampir berwarna putih dan kulit di area sekitar mata seperti bekas luka bakar yang bertumpuk-tumpuk sehingga terkesan seperti daging bergerindil.

"Kenapa kamu sampai larut baru sampai di sini? Bukannya kamu bilang kamu akan sampai kira-kira sore hari?"

"Ma--maafkan aku." Nina tergagap, ia terlalu fokus memperhatikan pada wajah Helga dan tak menyadari kalau Helga juga memandangnya dwngan tajam. "Sedikit ada masalah dalam perjalanan tadi maklum mobil tua dan ini adalah perjalanan yang cukup panjang yang aku tempuh. Hampir enam jam aku mengendarai mobil."

"Hari sudah cukup larut. Sebaiknya kamu beristirahat dulu. Ayo aku tunjukkan kamarmu. Besok pagi-pagi sekali kamu harus bangun."

Nina mengekor di belakang Helga. Mereka menaiki tangga panjang berliku menuju lantai atas, lantai yang bernuansa lebih dingin, lebih dingin dari udara diluar, seperti ada aura menyeramkan yang membuat bulu kuduk menjadi berdiri.

💀💀💀

Nina duduk di tepi ranjang, menatap berkeliling ruang kamar. Sebuah nakas kecil di sebelah ranjang dengan dua laci bersusun dibawahnya, sebuah lemari kayu berukir mewah berdiri tegap di sisi kiri dan di sebelahnya sebuah meja persegi panjang dengan sebuah kursi. Dinding kamar yang berwarna hijau tua seperti warna lumut dipadu dengan lampu kecil yang menyala temaram  menambah kelam suasana kamar. Beberapa goresan abstrak memanjang di dinding membentuk celah hampir mirip sebuah lubang tikus. Nina menghembuskan napas panjang lalu merebahkan tubuh di kasur empuk itu. Pikirannya menerawang kemana-mana. Beruntung ia mendapatkan sebuah pekerjaan dan mendapatkan tempat tinggal sekarang ini. Sedetik sebelum Nina membenamkan badan ke dalam selimut terdwngar suara berisik yang mengganggu genderang telinganya.

Ssstt ssstt sssttt

Suara itu terdengar bukan sekali dua kali saja. Nina berusaha tak meghiraukan namun semakin lama suara itu terdengar semakin nyata, mengusik rasa ingin tahunya walau dalam hati ia sedikit merasa was-was dan takut. Perlahan gadis itu bangkit dan berjalan mengendap-endap. Membuka engsel pintu perlahan, Nina melongokkan kepala keluar kamar, menatap lorong gelap tak berujung. Sebuah bayangan masih bisa ditangkap sudut mata Nina ke arah sebuah lorong lain di ujung sana. Cepat-cepat Nina berjalan sambil meraba tembok. Di ujung lorong Nina kembali menoleh ke kanan dan ke kiri. Hanya kegelapan yang ia lihat.

"Hallo? Helga? Andakah itu?" Nina meraba-raba sambil terus melangkah maju. Tak ada sahutan, hanya kesunyian menyapa. Peluh menetesi dahi Nina. Gadis itu menelan saliva kasar saat mendengar suara bergeretak. Matanya nyalang menatap tajam ke segala arah. Jantungnya seperti dipompa naik turun tak beraturan, berdetak kencang seperti orang yang baru saja selesai lari marathon panjang. Matanya sekarang tertuju pada sebuah jendela besar yang terbuka sedikit. Sedikit cahaya rembulan yang masuk lewat jendela menerangi lorong. Nina terperanjat kaget saat matanya melihat sesuatu bergerak bersamaan dengan suara "ssst" yang ia dengar sejak tadi.

"Oh mein Gott!" (Oh ya Tuhanku) jerit Nina tertahan saat sebuah ekor hewan melata dengan ukuran tak biasa sepersekian detik melintas di ujung mata lalu mwnghilang di kegelapan.

💀💀💀

Boleh follow IG atau akun Author ya, bisa dibaca di profil.

Tbc

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Feb 18, 2022 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

Das HausWo Geschichten leben. Entdecke jetzt