Dengan gemetar gadis itu mendekatkan mulut botol vodka yang ada di tangannya ke arah mulutnya sendiri.

Braak

"CEPETAN, BANGSAT!"

Tubuhnya berjengit kecil saat gebrakan dan bentakan dari Agam terdengar memekakkan telinga.

Agam yang geregetan melihat Rea tak kunjung meneguk minuman berakohol sesuai perintahnya melangkah mendekat ke arah tempat duduk gadis itu.

Memegang belakang kepalanya dan memaksa gadis itu meminum vodka yang ada di tangannya.

"Akh!"

Agam menjambak rambut Rea kencang-kencang sampai membuat gadis itu mendongak menatapnya usai meneguk setengah botol vodka tadi. Ia menaikkan bibir atas kirinya menatap wajah merah Rea.

"Nge-bully Vanya berani. Giliran kayak gini kagak berani?" tanya Agam sinis.

"CUPU!"

Dakk

Agam berteriak sambil menghempaskan kepala Rea dengan keras, sampai membuat kepala gadis itu teratuk meja kayu bulat di depannya.

Agam kembali menjambak gadis itu, menatap wajah merahnya dengan dahi yang mulai berlumuran darah sambil tersenyum miring.

Tangan kirinya yang bebas beralih mencengkram dagu Rea dengan kencang, kemudian ia membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Rea.

"Ayah lo dirawat di Rumah Sakit Jiwa Hanum sejak tiga tahun yang lalu. Bener?"

Rea yang mulai linglung akibat minum minuman berakohol berusaha menahan pening di kepalanya sekuat tenaga, mencoba memperjelas pandangannya juga yang mulai memburam.

"Lo.. lo.. tau dari ma─na?"

Agam tertawa hambar sebelum kembali menatap wajah Rea intens dengan rahang mengeras.

"Lo salah berurusan sama gue, Adrea Putri Admadja."

Plakk

Braakk

Cengkraman Agam dilepas, tapi sedetik kemudian ia menampar keras pipi Rea hingga ia jatuh dari kursi. Gadis itu mendesis kesakitan pelan, mendongak sambil memegang dahinya yang masih mengeluarkan darah.

Pandangan buramnya menangkap punggung-punggung yang mulai melangkah jauh, menyisakan dua orang lawan jenis yang menatapnya datar. Nathan dan Vera.

----

"Siswi SMA Binar Mulia berinisial A, 17 tahun, tewas dengan lebam lebam di bagian kepala. A diduga mengala─"

"Apa itu mbak yang biasanya jenguk Pak Wijaya?"

"Enggak mungkinlah."

"Tapi sudah tiga bulan ini Mbak Rea enggak pernah jenguk Pak Wijaya lagi. Mbak Rea juga pernah cerita kok kalo dia sekolah di SMA Binar Mulia."

"Tapi itu jelas inisialnya A, Nur. Bukan R."

"Iya juga sih. Semoga bener bukan Mbak Rea," Nur atau biasa dipanggil Nuri, salah satu perawat Rumah Sakit Jiwa Hanum kembali melanjutkan kegiatan menata dokumennya yang sempat tertunda.

Tangan Nuri terhenti saat tanpa sengaja melihat ke arah selembar kertas data diri penjenguk enam bulan terakhir.

"Kar, Mbak Rea nama panjangnya Adrea."

Sekar yang mendengar ucapan Nuri langsung menatap perempuan itu bingung. Mendekat ke arah Nuri untuk mengintip kertas yang di pegang Nuri, ia menoleh ke arah televisi sebentar sebelum kembali membaca nama yang tertera di atas kertas itu.

"E-enggak, Nur. Enggak mungkin. Inisial A itu ban─"

Tuttt

Tuttt

Keduanya menoleh menatap telepon rumah sakit yang berbunyi. Dengan segera Sekar mengangkat telepon tersebut.

"Halo, dengan Rumah Sakit Jiwa Hanum. Ada yang bisa dibantu?"

"Maaf? Rumah Sakit Jiwa Hanum?"

"Iya, Pak. Apa ada yang bisa dibantu?"

"Oh, maaf sebelumnya. Saya dari kepolisian..."

Sekar melirik ke arah Nuri yang tengah menatapnya bingung sebentar.

"Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu?"

"Saya hanya memanggil panggilan darurat dari ponsel jenazah saudari Adrea. Ponselnya di kunci, saya pikir ini nomer telepon wali korban. Sekali lagi ma─"

"Je-jenazah Re.. Rea?"

Telepon di tangan Sekar terjatuh, Nuri mematung di tempatnya. Jenazah Rea? Apa yang dia pikirkan tadi itu benar?

Keduanya nampak terpukul mendengar kabar duka tersebut.

Tentu saja. Bagaimana bisa tidak? Jika mereka bahkan sudah akrab dengan gadis itu.

Rea minimal setiap dua minggu sekali datang menjenguk Ayahnya. Gadis itu selalu mengajak bicara Ayahnya meski tak pernah sekalipun dilirik olehnya.

Gadis itu juga sering kali mengobrol dengan para suster yang bertugas merawat Ayahnya, terlebih Nuri dan Sekar yang mendapat jatah merawat Ayah Rea paling sering. Tak heran jika Nuri dan Sekar nampak sangat terpukul mendengar berita tersebut.

---

Setelah Rea tak lagi bernafas. Kiranti, Laura, dan Kayla bersamaan pindah sekolah di luar kota secara terpisah dengan alasannya sendiri-sendiri. Begitu juga Nathan yang pindah ke luar negri bersama Vera. Mereka berdua sekolah di sana bersama, dan tak lama bertunangan karena perjodohan.

Agam selaku tersangka penganiayaan Rea tidak pernah dituntut. Keluarga Rea yang acuh bahkan tak repot memikirkan hal tersebut. Hanya memakamkan Rea selayaknya setelah itu angkat tangan.

Agam dan Vanya resmi berpacaran, setelah Agam berhasil meyakinkan Vanya bahwa ia telah berubah. Meski awalnya Vanya merasa ngeri dengan perlakuan Agam pada Rea, tapi akhirnya gadis itu luluh saat Agam berkata bahwa apapun yang ia lakukan adalah usahanya untuk melindunginya.

"It's because I want to protect you, Van."

TAMAT.

Am I Antagonist? Where stories live. Discover now