Ilalang

3.1K 186 73
                                    

Pagi ini romannya sama dengan pagi yang lain. Embun dingin masih jatuh menimpa ayunan reot depan rumah asrama. Masih jatuh menimpa sandal jepit yang disusun manis di dekat teras. Dan jatuh pula menimpa jemuran yang luput diangkat.

Pagi ini romannya sama dengan pagi yang lain. Masih ada Asahi yang menyelonong masuk kamar Haruto. Masih ada Asahi yang tanpa izin menyibak gorden kamar Haruto. Dan masih ada Asahi yang berteriak tepat di telinga Haruto.

Asahi dan agenda hari Sabtu tidak pernah dan tidak mungkin bisa dipisahkan. Pria mungil itu selalu punya tempat baru untuk dikunjungi di hari Sabtu bersama sahabat barunya, Haruto. Seserius apapun Haruto menolak, Asahi akan terus bersikeras sampai sahabatnya itu menyerah.

Asahi dan Haruto merupakan siswa pertukaran pelajar dari Jepang ke Thailand, tepatnya di Bangkok. Keduanya dipertemukan di asrama sebagai sesama mahasiswa pertukaran. Asahi dari Osaka, dan Haruto dari Fukuoka. Mereka bahkan tak pernah bertemu di negara asalnya. Namun kini keduanya lengket bak botol dengan tutupnya.

Agenda di Sabtu ini, 27 Februari 2021, sudah Asahi rencanakan sejak Senin dua minggu yang lalu. Ia selalu penasaran dengan hidden place, tempat-tempat sepi tak terjamah. Rasanya seperti melihat wajah lain dari sebuah kota. Maka dari itu, dengan Bahasa Inggris kental aksen Jepang, Asahi bertanya pada teman-temannya.

Pilihannya jatuh pada bukit yang tak jauh dari kampus. Tidak bernama karena memang bukan tempat wisata. Tapi Nanon, salah satu temannya bilang kalau pemandangan di sekitar bukitnya unik, cocok untuk urban landscape photography.

Well, di sini lah mereka. Setelah melewati medan jalanan yang cukup mendebarkan, akhirnya Haruto bisa memarkirkan motornya dengan tenang.

"Sa, kamu yakin mau ke situ?" Tanya Haruto. Raut wajahnya sarat akan kekhawatiran. "Yakin ga ada ular atau reptil lainnya? Ini jauh banget lho dari permukiman. Kalo kita ditelen piton ga ada yang tau, Sa!"

Asahi menghela napas. Haruto memang selalu begini, punya daya imajinasi di luar nalar kalau sedang ketakutan.

"Kalo ada piton kita lari, Haru. Lagian bukitnya ga yang bersemak banget. Kalau ada ular pasti kelihatan, lah!"

Seusainya, Asahi menarik tangan Haruto yang berkeringat untuk mulai mendaki bukit. Bukitnya tidak tinggi, sungguh. Tapi begitu sampai di puncaknya, Asahi terperangah melihat lembah dipenuhi ilalang yang sedang berbunga. Di tambah ujungnya nampak hutan kota dengan gedung-gedung pencakar langit khas kota besar yang mengintip. Benar kata Nanon, pemandangan ini unik sekali.

Dengan napas terengah, Asahi mendudukkan dirinya di puncak bukit. Begitu pula dengan Haruto. Angin usil menerbangkan anak rambut keduanya. Asahi tersenyum lebar, tak jauh beda dengan Haruto.

"Di Jepang ada yang begini juga, nggak ya?" tanya Asahi.

"Ada lah kalau bisa nyarinya."

Asahi mengangguk mengamini.

"Sepi begini kalau mau berbuat tidak senonoh pasti tidak bakal ketahuan, ya? Mau coba nggak?" seloroh Haruto dengan wajah super usil yang Asahi benci.

Dengan segenap hati Asahi pun memukul bahu Haruto yang disambut dengan pekikan kesakitan pria yang lebih tinggi. Tapi bukannya berhenti, Asahi malah kembali memukul Haruto bertubi-tubi. Sebenarnya sih pukulan Asahi tidak keras, cenderung pelan. Tapi karena yang dipukul juga anak rumahan yang tidak pernah berkelahi, jatuhnya sakit juga. Letoy vs Letoy kalau Yoshinori-teman sesama pertukaran pelajarnya bilang.

"Ayo turun!" ajak Asahi setelah puas menganiaya teman senegaranya.

"Dih, kamu yakin itu nggak ada ularnya? Tinggi begitu lho ilalangnya!" tanya Haruto memastikan. Ketakutannya bukan tanpa alasan sih, ilalang tinggi begitu kan memang habitatnya ular. Ditambah keduanya orang asing yang tidak tahu banyak tentang lingkungannya.

berättelse - hasahi harusahiWhere stories live. Discover now