Part 11 : Benang Merah

10 1 0
                                    

Perjalanan menuju warung soto pak Mansyur diselimuti keheningan. Aku yang fokus menyetir, kak Dyvia yang sibuk dengan laptopnya, dan Vairam yang memainkan ponselnya di bangku belakang.

"Aduh, gila!" tiba-tiba saja kak Dyvia berteriak heboh disampingku.

"Kenapa, kak?" tanyaku lalu perlahan menepikan mobil ke tepi jalan.

"Buku gue ketinggalan di lemari rumah sakit! Gila aja, mana jam sepuluh nanti gue mau bimbingan! Itu buku referensi skripsi gue!" ucap kak Dyvia heboh sendiri.

"Yaudah kita balik aja ke rumah sakit," kataku lalu kembali menginjak pedal gas dan menghidupkan sen kanan untuk berputar arah.

"E-eh, nggak usah! Gue naik ojek aja. Kalo balik kesana naik mobil nggak bakal bisa gue dateng ke kampus tepat waktu. Dan lo liat, ini udah jam sembilan," jelas kak Dyvia panjang lebar.

"Yakin naik ojek?" tanyaku khawatir. "Gue bisa ngebut, kok."

"Nggak! Enak aja lo mau ngebut-ngebut. Udah, mendingan lo makan sama Vairam. Belum pada sarapan, kan?" aku dan Vairam sama-sama mengangguk.

"Yaudah gue balik lagi ya. Tenang, gue naik ojek online kok. Jadi bakal aman," katanya padaku lalu membenarkan letak tasnya dan turun dari mobil.

"Vai, pindah aja ke depan," pinta kak Dyvia pada Vairam yang sedari tadi hanya menonton perbincangan kami.

"Ohiya, kak." Ia pun pindah ke depan dan membuka kaca jendela.

"Hati-hati lo, Land. Jangan sampe kena masalah, ya!" peringat kak Dyvia padaku.

"Iya-iya. Lo juga! Kalo nanti udah sampe kampus kabarin gue."

"Idih, ngapain?" nyinyirnya jijik padaku namun setelahnya ia tertawa. "Haha, oke."

"Kita duluan ya, kak," kata Vairam disampingku.

"Iya udah sana! ojol gue juga bakalan sampe bentar lagi."

Setelah melambaikan tangan, kami pergi meninggalkan tepi jalan dan kembali memasuki jalanan yang penuh sesak dan padat. Sebegini parahnya kah kehidupan di Jakarta? Sampai-sampai jalanan pun sudah dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan.

Aku mendengar keluhan nafas pelan dari sampingku. Vairam.

"Kenapa?"

"Gini nih, yang bikin gue males buat balik ke Jakarta. Macet dimana-mana, polusi juga berlomba-lomba buat menuhin udara, parahnya tuh liat tuh!" ia menunjuk tumpukan sampah yang ada di pinggiran trotoar yang tak terurus.

"Jadi lo mau balik ke Bandung, gitu?" tanyaku ringan. Walau dalam hati sangat berat untuk bertanya seperti itu.

"Enggaklah. Ngapain juga gue balik kesana? Bokap nyokap gue kan disini. Di Jakarta. Dan lo-nya juga di Jakarta, kan? Bukan di Bandung." Ia tersenyum lebar.

"Kenapa gue yang jadi patokan?"

"Ya karena lo itu berharga buat gue," jawabnya santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam sweater.

"Berharga? Maksudnya?"

Ia tersenyum simpul. "Nanti lo juga ngerti apa maksud gue."

===

Akhirnya kami pun tiba di warung soto betawi pak Mansyur. Lokasinya yang ada di pinggiran kota memang membuat kami sedikit kewalahan mencarinya. Pasalnya, terakhir kali kami datang kesini adalah tiga tahun silam.

"Akhirnya!" Vairam melonjak kegirangan saat turun dari mobil.

"Biasa aja kali," kataku.

"Yeu, biarin gue bahagia dikit ngapa," ucapnya lalu menatapku tajam.

Yang (Tak) TerlupakanWhere stories live. Discover now