Pulang

43 7 3
                                    

Seminggu sudah aku berada di rumah sakit dan seminggu itu pula aku sendirian. Johnny hanya ada di hari pertama, seterusnya tidak hadir. Aku sudah terbiasa sepi sendirian seperti ini, tetapi sendirian di rumah sakit sangat membosankan.

Kuraih telepon pintar yang ada di nakas sebelah brankar dan cek pesan yang ternyata belum dibalas oleh Johnny sejak 3 hari lalu. Menghela napas lelah, menatapi layar telepon, dan merenungi kembali kejadian seminggu lalu. 

Seorang perawat masuk ke dalam kamar dan membantuku melepaskan infus. Hari ini aku sudah bisa kembali pulang. Tapi, aku harus pulang kemana?

Aku tidak yakin bisa pulang kerumah. Johnny bilang rumah sudah kosong sejak kejadian ayah marah dan ibu pun tidak terlihat pulang kerumah.

Tak sadar perawat sudah selesai bahkan membantuku merapikan tas berisi barang-barang yang dibutuhkan selama aku sakit. Tentu saja Johnny yang membawakan semua itu, bahkan Johnny membayar biaya tagihan pemulihan diriku. Huh, hutangku banyak sekali.

setelah memastikan semua rapi, aku berjalan tanpa semangat keluar ruangan. Oh, sepertinya menyewa taksi online tidak buruk, tapi aku harus pergi kemana?

ku coba melakukan panggilan untuk Johnny tapi hanya suara operator yang menjawab. Apa aku pergi ke tempat nenek?

--

"Ranu, sayang, apa kabar? baru mengunjungi nenek lagi." Nenek menyambut kedatanganku dan langsung merangkul mengajakku masuk ke dalam rumah sederhana yang hanya ditempati dua orang.

"Ranu baik, nek. Nenek juga baik?" Nenek mengangguk antusias. Meski diriku tidak yakin. Pandangannya jatuh ke tas ransel besar yang aku bawa, "Kamu mau nginap disini?"

"Iya nek, boleh?" aku menatap nenek penuh harap dan dibalas dengan senyuman. Senyuman tulus yang sangat menenangkan hati. "Boleh dong, yang lama juga ngga apa, nenek senang jadi ada yang temanin."

Aku juga berharap seperti itu. Tapi semesta menolak, keluarga yang lain akan menggunjing dan berkata tidak baik kepadaku. Mereka bilang aku merepotkan, tidak tahu diri, dan kata-kata lain yang cukup membuatku sakit hati. 

Setelah meletakan tas di kamar tamu, nenek membawaku duduk di ruang makan. Sudah ada beberapa hidangan sederhana yang diletakan di atas meja. "Kebetulan kamu dateng, tadi nenek masak sayur sawi sama goreng tempe. Kita makan siang bareng ya!" 

Aku suka kesederhanaan disini. Aku rindu semua kenangan yang terjadi disini. 

"Nenek tahu apa yang terjadi. kenapa kamu nggak langsung pergi ke tempat nenek? kamu kemana setelah kejadian itu?" Nenek bertanya tanpa menatapku. Ah, berbincang saat makan memang tidak sopan tapi aku suka seperti ini.

"Aku ditempat temanku. Nenek tahu darimana?" Tidak mungkin aku mengatakan kalau aku harus opname di rumah sakit. 

"Om kamu, dia waktu itu kunjungan ke rumah kamu mau kasih undangan nikah. Tapi kata tetangga rumah kosong setelah ada suara pertengakaran. Nenek kaget dengarnya, nenek kepikiran kamu." Aku menatap sendu kepada nenek. Aku sudah banyak merepotkan dirinya, tidak heran aku selalu mendapat gunjingan dari saudara sendiri. 

Setelahnya kami makan tanpa obrolan. Semua terasa semakin berat sekarang. Aku tidak tahu orang tuaku dimana. Aku takut untuk terus berada disini.

Aku membantu merapikan peralatan bekas makan dan mencucinya. Nenek sudah lebih dulu pergi ke teras depan untuk minum teh katanya. 

"Ranu, tinggalin saja cuciannya. Biar nanti kakekmu yang cuci, dia akan marah kalau pekerjaannya diambil orang." Aku tertawa mendengarnya. tidak pernah berubah. Ini yang membuatku tidak enak untuk tinggal lama di tempat Nenek. Mereka akan melarang untuk melakukan pekerjaan rumah. "Iya, tanggung."

Setelah selesai, aku bergegas menghampiri nenek dan ikut duduk disebelahnya.

"Ranu dulu suka duduk diatas loteng masjid, naik ke pohon jambu besar." Nenek menujuk ke atas loteng masjid yang ada didepan rumahnya. Aku sangat ingat hal itu. Dari kecil aku sudah sering dititipkan ke nenek dan kakek karena ayahku tidak ingin melihatku. Jika ayah pulang dari dinas luar kotanya, ibu akan menitipkan ku kepada mereka, dan jika ayah sudah pergi lagi untuk beberapa hari, aku akan dijemput kembali. 

Nenek menggenggam tanganku dan menatap pada mataku. "Ranu, kamu sudah besar sekarang. Maafin kami ya tidak bisa mendidik ayahmu dengan baik. Nggak apa kan sekarang kamu sendiri? Biarin mereka ya, biarin orang tua kamu pergi. Kamu cukup pikirin diri kamu ya. Nenek dan kakek nggak selalu bisa sama kamu. Ada saatnya kami akan pergi, ntah itu kapan."

Jika waktu itu tiba, waktu dimana dua orang yang begitu aku cintai pergi, aku mungkin akan semakin hancur. Atau aku saja yang pergi lebih dulu?

--

see you~

Dandelion ; Johnny SeoWhere stories live. Discover now