Kau, Setelah Hampir Tujuh Tahun Berlalu

138K 4.4K 189
                                    

Plaza Indonesia, Maret 2015.

Sabtu sore yang dingin, Drew dan Rasta duduk dalam diam sambil menyesap kopi di Dill Gourmet Cafe. Rasta memandang muka keruh sahabatnya sejurus lamanya lalu meletakkan cangkir Snowflake Coffee nya dengan bunyi yang menghentak keras. Drew mengangkat wajahnya dari cangkir kopi dihadapannya, memandang Rasta dengan mata bertanya.

"Kenapa?" tanyanya dengan alis terangkat.

Rasta mendengus, "Seharusnya gue yang tanya, lo kenapa?"

Drew menggeleng, "Gak ada."

"Ini sabtu sore, Drew. Demi lo gue rela gak menemani Shinta ke resepsi pernikahan teman kantornya. Gue milih nemenin lo ngopi. Gue pikir ada yang penting mau lo bicarain, tapi sudah setengah jam disini lo malah ngelamun. Ada yang menarik dengan cangkir Espresso Con Panna lo itu daripada muka gue?"

Drew tergelak, "Gak... Masih kopi yang sama. Hanya menggunakan cream. "

Rasta menggeleng, "Yeahhh.. kopi hitam. Lo selalu minum kopi hitam. Pahit."

"Lo tau gue.. "

"Ya.. lo dan kopi hitam pahit itu adalah kombinasi. Oh bukan... gaya hidup. Ahhh ya.. filosofi hidup. Hidup adalah kepahitan."

"Lo terlalu sinis," keluh Drew, cemberut memandangi Rasta seraya mengusap wajahnya kasar.

"Ada apa lo minum kopi dengan cream?" tanya Rasta, "Lo ingat dia lagi?"

Drew meringis, "Pikiran gue bisa di baca dengan pemilihan minuman ya?"

"Lo tau kenapa gue ajak lo sore ini kesini?" tanya Drew pada Rasta yang menatapnya tanpa kedip.

Rasta menggeleng.

"Gue ajak lo kesini karena dia sangat menyukai mal ini. Di awal hubungan kami, dia sangat suka kesini untuk berbelanja. Membeli apapun yang diinginkannya di butik-butik itu. Entah ia membutuhkannya atau tidak. Gue sampe lelah mengikutinya. Gue sampe kesal menenteng seluruh paper bag nya. Ada suatu masa gue kesal jadi pacarnya," Drew terdiam, tersenyum samar.

"Lalu... setelah gue kuliah. Di setiap libur singkat gue... Dia masih suka mengajak gue kesini. Berjalan dan menyusuri mal ini. Memandangi setiap etalase yang di laluinya. Tapi ia gak membeli apapun. Ia hanya menatapnya. Gue pikir dia berubah karena ia sadar kegemarannya berbelanja itu penyakit. Ternyata bukan."

Rasta menggeleng, "Sudah Drew... Sudah..."

"Dia berhenti karena ia tidak bisa. Dia berhenti karena ia tidak mampu. Dia berhenti karena keadaan. Dia menjadi pribadi yang berbeda. Dia yang biasanya terlalu mendominasi menjadi menarik diri. Dia tak lagi ribut berceloteh. Dia lebih banyak mendengar. Dia berubah pendiam. Dia si mawar cantik yang wangi dan dapat di cium menjadi teratai yang tak tersentuh."

"Teratai?"

"Ya teratai," Drew mengangguk, "Dia bilang ia adalah teratai. Si cantik dengan akar yang menjerat dan tertanam kuat dalam kolam penuh lumpur. Terkadang daunnya di makan ikan. Terkadang daunnya menjadi tempat duduk dan sarana lompat kodok-kodok berisik. Tapi ia tetap ada. Merekah cantik dan bertahan hidup. Gue bingung dia bicara apa dan dia hanya tersenyum. 'Pandangi aku dari jauh, Drew. Pandangi aku selama kamu bisa memandangi, Drew. Pandangi aku selama aku masih bertahan di kolam berlumpur ini. Pandangi saja karena aku tidak akan bisa tersentuh oleh kamu. Selamanya aku akan berada disini.' Gue pikir dia minta putus karena hubungan jarak jauh kami. Mencari cara putus dengan alasan berbelit-belit karena kebanyakan nonton drama Taiwan kegemarannya. Ternyata bukan. Bertahun-tahun gue baru sadar itu kiasan. Itu adalah kami. Ia si teratai dan gue penikmat keindahannya."

TerataiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang