Prolog

30 3 0
                                    

Pagi yang begitu dingin. Awal tahun baru yang disambut dengan hujan dan awan kumulus nimbus pekat yang memeluk langit dengan kuat. Hembusan angin semilir menambah suhu kian meminus dan menusuk tulang. Daun-daun kering saling bergesekan, membuat suara khas yang terkesan menyeramkan. Ilham merutuki dirinya sendiri. Ia tidak memperkirakan cuaca akan seburuk ini, dan ia begitu malas mengenakan jaket atau sesuatu yang dapat menghangatkan tubuhnya. Ia nyaman dengan kemeja merah bata dan jeans biru yang terlihat sedikit lusuh membalut tubuh jangkung nya.

Beberapa lembaran dokumen di dalam map yang telah ia siapkan untuk berangkat ke kampus ia letakkan begitu saja di atas meja besar. Ilham berjalan menuju piano kesayangannya, ia menatap pada tuts tuts piano yang berjajar rapi di hadapannya sekarang, menghadap dinding kaca yang begitu besar terlihat cuaca yang semakin gelap, dengan tatapan sedikit rindu, Ilham mulai menekan satu tuts piano dengan lembut. Memainkan nya sesuai dengan isi hatinya. Piano yang diberikan oleh mama nya saat ia berumur 12 tahun tepat di hari ulang tahunnya adalah obat rindu, ia belajar piano sudah lebih dari 10 tahun secara otodidak, cita cita pertamanya adalah menjadi pianis terkenal seperti yang ia lihat di beberapa acara televisi.

Menjadi pribadi yang begitu dingin dan tertutup dengan orang lain membuatnya nyaman untuk tetap berteman dengan sebuah piano elegan yang sekarang tengah ia mainkan.

Tak lama terdengar lantunan musik klasik yang keluar dari piano itu, terdengar lembut namun juga bertenaga. Sangat lembut dan juga berperasaan. Kesan lagu yang misterius dan tersembunyi terasa pada lantunan nada nya. Ini lah Ilham, mencoba memberi tahu pada isi dunia bahwa hidup adalah teka teki.

***

Tentang sebuah kisah dua manusia dengan sisi yang lain. Memendam rasa bukanlah perkara yang mudah, seperti ingin keluar dari jalurnya. Saga melupakan sejenak tentang sebuah rasa hormat pada papa nya.

Saga memberanikan diri setelah sekian tahun mencoba mengumpulkan sebuah keyakinan. Setelah sekian lama ia mencari pendukung dari apa yang akan ia lakukan. Dan pada akhirnya keberanian itu muncul tepat pada waktunya namun dengan keadaan yang salah. Keyakinan itu adalah bahwa ; ia benar-benar kehilangan apa yang selama ini dimiliki setiap keluarga utuh, cinta dan kasih sayang.

Saga memasuki rumah megah yang menjadi tempatnya tumbuh sejak kecil. Ia mendengar suara piano yang dimainkan Ilham kakaknya sejak dari pintu masuk.

"Baru balik? Dari mana?" Ilham yang menyadari kehadiran adiknya menghentikan permainannya.

"Kampus." Saga menuju kamar dan tak lama ia sudah kembali dengan tambahan jaket merah maroon di tubuhnya.

"Kemana lagi?" tanya Ilham.

"Jalan, sama Erin."

"Hujan," ucap Ilham.

"Terus?. Kenapa?. Hujan air, kan?"

Semenjak mama dan papa nya berpisah, Saga Ravenda tumbuh menjadi pribadi yang tidak ingin di larang, hidupnya harus bebas sebebas bebasnya, terkadang sifatnya bertolak belakang dengan Ilham kakaknya. Sudah belasan tahun ia hidup bersama kakaknya. Sifat dingin Ilham membuat Saga paham betul apa isi hati kakaknya yang sesungguhnya.

Lelaki yang nyaris sempurna itu keluar rumah tanpa persetujuan dari Ilham. Kulitnya yang putih, tubuh yang jangkung serta hidup serba cukup, membuat Saga selalu menjadi pusat perhatian orang orang terutama kaum wanita. Hanya karena wajahnya yang terlihat tidak ramah, banyak wanita yang hanya menatapnya kagum tanpa berani mendekatinya, belum lagi mobil mewah selalu menemaninya kemana pun dia pergi semakin membuat Saga terlihat sempurna di mata kaum hawa.

MemoriesWhere stories live. Discover now