Prolog

34.6K 2.1K 80
                                    

Pria berumur 27 tahun itu melepas kemeja putih yang membalut tubuhnya. Dia simpan di atas tempat tidur king size sebelum akhirnya mendudukkan diri sambil termenung beberapa saat.

Mata hijau terangnya memancarkan kekosongan, kehampaan, kehilangan sesuatu hal yang sebenarnya tidak pernah menjadi miliknya. Sesuatu yang tidak terbayangkan olehnya. Dia bahkan tidak tahu hal apa yang sedang dipikirkannya?

Kenapa ada rasa hampa untuk sesuatu hal yang tidak pernah tangannya gapai?

Abstrak!

Padahal, hari ini untuk kesekian kalinya dia kembali mendapatkan penghargaan. Operasi militer ke jalur Gaza yang dia pimpin lagi-lagi bisa pasukannya menangkan. Darah membanjiri tubuh tinggi berototnya, luka sayatan pedang yang menghiasi dada kirinya, menjadi sebuah bukti bahwa dulu dia pun sempat mengalami apa yang disebut dengan kegagalan.

Sebuah kenangan yang bagi orang lain menyakitkan. Detik-detik di mana dia seolah nyaris dijemput malaikat maut yang mungkin saja sudah mengikutinya sepanjang perjalanan membisikkan nyanyian kematian.

Bukan dulu.

Pria itu mengukir sunggingan sinis. Mengingat masa-masa itu, sama sekali tidak membuat dirinya takut apalagi dijebak trauma.

Itu baru Satu tahun yang lalu.

Goresan luka yang nyaris membuatnya mati tidak pernah bisa hilang. Bahkan bekas jahitannya pun masih terlihat dalam seolah menjadi beban yang sampai mati pun tidak mungkin bisa dia lupakan.

Amat dalam, lebar, terlihat seperti dijahit oleh seorang amatiran.

Dia ingin tahu, kenapa sampai saat ini dirinya masih bernapas?

Kenapa sampai saat ini dirinya masih bertahan hidup?

Seingatnya, dulu, dia sudah nyaris melihat malaikat pencabut nyawa yang akan mengambil jiwa kotornya. Tangannya sudah terlanjur banyak membunuh, bernoda, bahkan tidak pernah sekali pun dia bersihkan dengan air suci.

Dia bahkan lupa kapan terakhir beribadah dan meminta pertolongan kepada Tuhan? Dia merupakan makhluk pendosa yang tidak seharusnya diberi umur panjang setelah banyak kekejian yang dirinya lakukan.

Dia menjadi tentara militer bukan untuk Negaranya, bukan untuk Tuhannya, bukan untuk dirinya. Semuanya demi ayahnya. Ayahnya yang telah gugur di jalur Gaza saat usianya masih sangat belia. Meninggalkan dia dan ibunya, membuat ibunya gila kemudian mengakhiri hidupnya sendiri dengan meminum racun serangga.

Ironis.

Dulu, setiap memikirkan hal itu, pria bernama Lufius itu akan menangis histeris mengutuk kekejaman yang dunia lakukan. Di mana semenjak saat itu, selama bertahun-tahun dia harus berjuang sendiri demi mencari makan.

Lufius ditinggalkan orangtuanya saat usianya masih tujuh tahun. hanya dengan rumah peninggalan dan juga pakaian-pakaian yang terakhir orangtuanya belikan.

Dan sanak family-nya sama sekali tidak ada yang memedulikannya. Tidak ada seorang pun yang memikirkannya. Dia dipaksa untuk dewasa di usia yang tidak seharusnya. Dia terus saja bertahan hidup dengan kegelapan yang sudah terlanjur menyatu dengan darahnya.

Dia akan membalas setiap perlakuan keji yang dilakukan orang-orang yang ada di sekitarnya, juga mereka yang sudah merenggut paksa kebahagiaannya.

Mengerjakan apa pun demi tetap melanjutkan sekolah dan makan setiap harinya. Lufius kecil di usianya yang ke sepuluh memutuskan menjual rumah. Dia mendaftarkan rumah mewahnya yang listrik dan airnya sudah dicabut ke pelelangan dan mendapatkan uang yang cukup untuk kehidupannya selama beberapa tahun asal dia bisa mengatur pengeluarannya saja.

Fatimah's Blue Eyes (Tamat)Where stories live. Discover now