You were mine 4

12 1 1
                                    

#part4

Kakiku berpijak dibumi tempat dimana aku meninggi dan merendah, sebuah tempat yang di sebut rumah. Rumah yang telah lama aku lewatkan.

"Hah.." Berat hembusan nafas ini, kini aku menjinjing dua beban pada pundakku, beratnya kesemuan dan beratnya kenyataan.

"Permisi..." Salamku terasa seperti berkunjung ke tanah tanpa tuan.

Sosok yang ku rindu kini tengah berdiri diujung sana, menatapku dengan tatapan rindu. Ibuku, dia terlihat tidak percaya buah hati tercinta yang selalu iya harapkan pulang kini benar dan nyata berdiri di hadapannya.

"Buk, aku pulang"

"Ibuk..." Ucapku menyapanya seperti tertahan.

Matanya kini berkaca-kaca, langkah rentanya mendekat, tercium aroma hangat dan pelukan cinta yang lama tidak aku rasakan.

"Akhirnya kamu pulang nak" Lirihnya sembari mengelus pucuk kepalaku.

Aku tak lagi dapat membendung getaran hatiku, airmataku terguncang tanpa lagi ada penahan, air itu lolos begitu saja.

Sesak mendengar suaranya yang telah melemah, tangannya yang dulu menyuapi aku kini kurus dan renta. Ku peluk kembali surgaku, bibirku tidak dapat terkatup sepurna, tak ada isak atau suara yang keluar hanya pelukan yang semakin hangat, erat dan dalam mengiringi pertemuan kami sore itu.

"Nak.. Kamu kapan pulang? Pamali berdiam di pintu masuk" Suara lelaki paruh baya itu menghentikan pelukan kedamaian tadi, pahlawan terkuatku. Bapakku tercinta.

Seketika aku dan ibuku menoleh kearah suara sumber suara, kami tak menjawab apapun sembari mengikuti perintahnya dan menuju ke ruang tengah.

"Duduk nak.." Kata ayahku pelan.

Aku hanya menurutinya tanpa ada perlawanan, tak sanggup aku tatap wajahnya yang memudar dari ingatanku.

"Apa yang kini membawamu pulang? Kamu sakit? Atau kenapa? Sekian tahun kamu meninggalkan rumah ini bahkan tidak pernah bapak dengar tentangmu, akhirnya kini bapak bertemu denganmu seperti ini"

Tenggorokanku seketika kering, ada rasa bersalah yang sangat besar ketika lirig suara tuanya terdengar merasuki lorong telingaku, mendengar suaranya yang tegas namun penuh kehangatan itu aku tidak berdaya. Sesak dadaku sampai bernafas rasanya seperti menarik beban ribuan ton.

"Maafin aku buk, pak. Aku..." Suaraku kembali tertahan, hanya lolosan airmata yang menjelaskan situasi mencekam ini.

"Bapak senang kamu pulang, bapak bahagia, karena jika seandainya kamu tidak kembali bapak khawatir tidak bisa merelakan dunia ini untuk bapak tinggalkan" Kini suara bapak bergetar, aku lirik raut wajahnya memudar, air matanya kini ikut menetes.

"Aku minta maaf pak"

"Maafin aku"

"Aku minta maaf..." Ucapku berulang.

Kakiku lemah sehingga dudukku merosot dihadapan pria kuat ini, aku bersimpuh memeluk kaki yang selalu sigap berlari menghampiri aku ketika aku terjatuh, kini tanganku memeluk kaki kuatnya dengan rasa bersalahku.

Aku telah lama menjauhi nafas dan hidupku, menjauhi orang tua ku. Tanpa kabar, tanpa sapa, aku tidak pernah menunjukkan diri atau bahkan sehelai rambutku sejak terakhir kali aku melangkahkan kaki dari rumah ini.

Ternyata kekecewaanku terhadap harapan yang gagal membawa aku kembali berani untuk berpulang pada jiwaku yang kosong.

"Tidak nak, bapak yang minta maaf. Jika saja bapak mampu memberikanmu kebahagiaan dan seisi dunia, mungkin bapak tidak harus melewatkan waktu seperti ini" Jawab bapak tegas.

"Ibu juga minta maaf nak, jika saja ibu lebih mengerti tentang tanggung jawab sebagai seorang ibu adalah untuk tidak menuntut ego, ibu tidak akan kehilanganmu selama ini"

Tak ada kata yang bisa aku lontarkan untuk menanggapi perkataan dua orang ini. Aku tau egoku dulu beradu dengan ego mereka dan menodongkan kami dengan perpisahan.

"Aku terluka, aku hancur pak, buk. Aku tidak tau kemana aku harus berlari saat ini semuanya terlihat sesak. Pelukan siapa yang entah aku harapakan bisa membawa tenang, aku kehilangan damaiku dan juga diriku" Kataku dalam tunduk dan rasa bersalahku, aku masih berlutut dihadapan mereka berdua.

"Anakku.." Ibu ikut bersimpuh memeluk dan mengelusku dengan lembut, terdengar suaranya semakin berat untuk terucap.

"Apapun yang terjadi didunia ini terjadilah, apapun yang menyakitimu terimalah. Pulanglah nak, ketika hatimu lelah menerima cela, ketika kakimu gontai untuk berlari melawan arah. Pulanglah, peluklah bapak dan ibumu, meski lukamu juga tak akan hilang tapi kamu tidak akan sendiri menghadapinya" suara lemah ibu kini terdengar berat untuk di fahami hatiku.

Ku lirik bapak hanya terdiam dengan raut wajah sedih. Aku yang masih terisak dipelukan ibuku tak mampu melakukan apapun selain menikmati tangisku.

"Aku telah memilih luka yang salah buk, luka ini terlalu parah. Bagaimana bisa aku menutupi lubang menganga ini?" Tanyaku dalam isak.

Ibuku menggeleng pelan dan mengusap pucuk kepalaku.

"Tidak nak, tidak ada luka yang salah. Kamu hanya tidak menerimanya. Kamu hanya membiarkannya, sakitmu tidak kamu rawat sehingga ini semua kemudian menjalar keseluruh hidupmu" Ucapnya mengetuk dadaku dengan telunjuk rentanya.

"Buk, aku ingin disini, dirumah ini bersama kalian sampai aku menemukan kembali harapan baru untuk melanjutkan ceritaku" Aku mengucap pengharapan pada ibu.

Ibuku hanya mengangguk pelan dan menatap ayahku sendu seolah menuntut ayah untuk bersuara. 

"Tinggalah disini nak, selama yang kamu mau. Jangan merasa bahwa kami tidak menginginkanmu meski telah banyak hal terjadi kemarin, jangan mencemaskan masalalu. kita dahulu hanya insan yang ingin selaly ingin didahulukan tapi kita malah menempatkan satu sama lain kedalam kerumitan. Lepaskan nak, yang sudah lewat biarkan lewat, bapak ingin kamu pulang, temui kami nak, meskipun hanya ketika kamu butuh pundak untuk menangis sebab lebih berat tidak tau menau soalmu diluar sana dibandingkan ikut menanggung tangismu disini"

Ku tatap kini wajah bapak dengan rasa haru, dari sorot matanya aku lihat cinta dan pengharapan kepada aku anak semata wayangnya.

Aku mengangguk pelan, mengiyakan semua ucapan bapak. Aku merasa selama ini telah melewati batas-batasanku, banyak hal yg tidak sempat aku ceritakan dahulu padanya, ada sesal mengingat itu. Tapi kini yang terlewatkan tidak dapat diputar ulang, aku hanya menerima kenyataan bahwa kini lembaran baru hidupku telah dimulai.

Aku telah pulang, pulang kedalam pelukan penjagaku dan lenteraku. Percakapan sore itu berakhir begitu saja dengan pelukan penuh penyesalan, luka, haru dan pelepasan. Dan kini aku sudah di rumah, di rumahku yang lama hilang.

Terimakasih bapak, ibuk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 11, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Piece Of My LifeWhere stories live. Discover now