“Saya minta maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda menceritakannya pada saya?”

Elysia memejamkan matanya lalu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tidak pernah terbesit sebelumnya jika ia akan menceritakan masa lalunya ini pada orang lain yang bahkan baru pertama kali ia temui.

Usai memantapkan hati, ia memulai ceritanya. “Saat berusia lima tahun, saya melihat Papa membunuh Mama. Saya melihat kejadian itu dengan kedua mata kepala saya sendiri. Mungkin saat itu saya terlalu kecil untuk menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi saya rasa saya sudah cukup besar untuk mengerti bahwa perlakuan Papa hari itu sangat kasar. Dia menampar Mama. Dia mendorong Mama hingga akhirnya kepalanya membentur ujung meja.”

Elysia menghela nafasnya lalu kembali melanjutkan bercerita, “Semakin besar saya semakin paham jika Papalah yang membunuh Mama. Sejak itu, saya tidak lagi percaya masih ada pria baik di luar sana sementara Papa saya sendiri membunuh istrinya yang konon dicintainya. Kalau saja seorang pria yang pernah mengatakan cinta saja membunuh orang yang dicintainya, lantas bagaimana bisa saya percaya bahwa masih banyak pria lain yang lebih baik?”

Nathan menghembuskan nafasnya yang ternyata tanpa ia sadari ikut tertahan saat ia mendengar cerita Elysia. Ia bisa memahami perasaan Elysia, melihat Mamanya meninggal di tangan Papanya tentu bukan perkara sepele. Ia tahu, ini akan menjadi tantangan tersendiri buatnya.

“Kalau boleh tahu Anda tinggal bersama siapa saja saat ini?”

“Berdua bersama Nenek dari pihak Mama.”

“Apa Nenek Anda pernah mengatakan sesuatu terkait dengan kejadian itu pada Anda?”

Elysia menggeleng. “Nenek nggak pernah bilang apa-apa karena dia sendiri tidak ada di tempat saat kejadian itu berlangsung. Papapun tidak pernah memberikan pembelaan apa-apa, jadi kami anggap dia memang bersalah.”

“Dia tidak pernah mengatakan apapun, tidak pernah melarang untuk mengunjungi ataupun menyarankan untuk mengunjungi Papa di penjara. Sama sekali tidak pernah ada pembicaraan berarti di antara kami berdua seputar Papa.”

“Saya mengerti. Lalu apa selama ini Anda tidak pernah dekat dengan lawan jenis?”

Elysia mengangguk. “Dulu ada seseorang yang pernah mendekati saya semasa masih sekolah dulu.”

“Reaksi tubuh Anda?”

“Sama seperti yang saya alami belakangan ini.”

“Pertanyaan selanjutnya, jika hari ini Anda ada di hadapan saya, kira-kira apakah yang menjadi motif di belakangnya?”

“Saya tidak tahu, tapi ada sebuah perasaan ingin berubah. Saya tidak ingin selamanya terkurung dalam kondisi yang sangat tidak mengenakkan ini.”

Nathan tersenyum simpul. “Saya rasa ini ada kaitannya dengan seseorang yang dekat dengan Anda belakangan ini. Apa saya benar?”

Elysia mengangguk. “Kira-kira begitu.”

 “Baiklah, saya rasa informasi yang saya dapat hari ini sudah cukup. Saya akan mempelajarinya lebih dalam lagi. Kira-kira kapan Anda bisa datang kembali untuk proses lebih lanjut? Mungkin saya akan mulai dengan terapi yang sesuai di pertemuan kita selanjutnya.”

“Saya bekerja dari hari Senin sampai Jumat. Jadi kemungkinan saya akan datang lagi hari Sabtu depan. Kira-kira dengan jam yang sama karena jam antar jemput travel yang terkadang maju dan mundur tidak menentu.”

“Anda tidak berdomisili di Surabaya?”

“Saya berdomisili di Probolinggo. Kira-kira tiga jam perjalanan dari sini.”

LOVE, Cinta Takkan Pernah SalahWhere stories live. Discover now