Disappear

1 0 0
                                    

Hujan kembalimengguyur kota. Hawa panas yang tadinya mendominasi, sekarang sudahtersingkirkan. Dingin. Perlahan namun pasti dingin merasuk. Menarik selimutadalah pilihan tepat. Apalagi ditambah dengan minuman hangat. Sungguh perpaduanyang sangat sempurna.

Dilla mengerjapkanmatanya kala kembarannya bergabung di atas kasur. "Dil dil, aku ada tebakan maujawab gak?" tanya kembarannya. "Hmmm apa sih? Aku jawab atau enggak juga masihditanyain," jawab Dilla malas.

"Hehe, hewan hewanapa yang gak konsisten?" tanyanya. "Dah lah, malas berpikir kakakmu ini,"kembarannya hanya mendengus pura-pura kesal. "Ahh kak Dill, ayok jawab. Yourlittle brother is waiting," Dino masih konsisten dengan kepura-puraannya.

"Little apanya, badan juga gedean kamu, No," dan jitakan kecil mendarat di jidat Dino.

"Jawab ayok Dil, masa gitu aja gak tau,"

"Huuu payah," lanjut Dino.

"Gak tau gak tau, males mikir,"

"Dih malesan,"

"Dari sekian banyak yang harus dipikirkan, kenapa aku harus memikirkan hewan yang tidak konsisten?" Dilla menarik selimutnya, menutupi mukanya, tanda dia sudah sangat sangat malas meladeni kelakuan adik kembarnya.

"Karena aku yang bertanya hehe," dan tidak ada kata menyerah dalam hidup Dino untuk menggoda kakak kembarnya.

"Pergi sana, aku bilangin mama nanti,"

"Ya jawab dulu dong kakak kembarku yang cantik,"

"Dibilang gatau,"

"Yaudah gak mau pergi," ucap Dino sambil menarik selimut.

"Dinooo jangan ditarik selimutnya. Dingin,"

"Berbagi itu indah kak,"

"Males banget berbagi sama kamu,"

"Eh eh eh, gak boleh gitu. Ingat, dari zigot kita sudah berbagi,"

"Mamaaaa," teriak Dilla.

Mama yang dipanggil sedang tidak berada di rumah. Pun dengan papa yang sedang di luar kota. Di rumah ini hanya tinggal mereka berdua. Mau tidak mau mereka harus berbagi.

"Kak Dilla, kakak jangan sedih ya?" entah mengapa Dino tiba-tiba berkata demikian.

Dilla yang terkaget sontak menurunkan selimutnya dan terduduk. Lalu ia mengamati adik kembarnya lekat-lekat.

"Kesambet apa kamu dik? Bisa bicara manis gitu?" Dilla makin mengamati adik kembarnya. Karena seumur-umur belum pernah adiknya mengatakan hal sejelas itu. Iya, Dilla tahu adiknya sayang kepadanya. Namun, ia merasa aneh saat adiknya mengungkapkan secara langsung. Dino, tipikal saudara yang tsundere. Dino akan melakukan apa saja untuk kakaknya, tapi tidak pernah sekali pun ia berkata manis.

"Enggak. Enggak apa-apa. Lupain aja, Dil,"

Kemudian hening.

"Dil, kamu belum jawab pertanyaan aku," lanjut Dino.

"Dibilangin enggak tahu. Dah lah, aku mau merem bentar. Awas ya jangan peluk-peluk,"

"Apaan, biasanya juga situ yang minta dipeluk,"

Hening lagi. Tidak ada jawaban dari Dilla. Bisa dipastikan dia sudah tertidur.

Dua jam berlalu. Hujan sudah reda. Dilla kembali mengerjapkan matanya. Setelah mendapatkan semua kesadarannya dia menangis.

"Lagi?" ucapnya.

"Dino, kakak belum tahu jawabannya apa," ucapnya lagi sambil tersenyum sedih.

Tangan Dilla beranjak ke meja mencari sesuatu. Tangannya menggapai sebuah figura yang terdapat potret dirinya dan kembarannya.

"Sudah 6 tahun ya dik?" lalu tangisnya pecah.

"Dino, kamu rindu kakak ya? Kamu ingin tebak-tebakan lagi? Kamu mau peluk-peluk lagi? Mau rusuh juga kan?" sejenak Dilla terdiam. Menghapus air matanya.

"Sama, Dino. Dilla juga, tapi sekarang tidak bisa. Dino dan papa sudah seharusnya bahagia dan tenang di sana. Biar Dilla dan mama yang meneruskan hidup ini. Forever you are still my cute little brother. Al-fatihah,"

Enam tahun bukan waktu yang sebentar dan akan terus bertambah. Dilla senang bertemu dengan Dino, tapi Dilla juga benci saat membuka mata Dino akan menghilang. Dilla juga benci jika adegan mimpinya selalu sama. Saat terakhir kali Dino bersama Dilla. Sehari sebelum kecelakaan itu terjadi.

DisappearWhere stories live. Discover now