10• Perkara Dua Ribu

6 2 0
                                    

Kutapaki anak tangga menuju lantai satu dari rumah bak neraka ini dengan rasa takut. Semalaman Mama dan Papa tak pulang, dan aku harap tidak pulang sebelum aku sampai di sekolah. Aku tak tahu, apa yang akan terjadi jika mereka tahu boneka kesempurnaan mereka pulang menaiki angkutan umum.

Hal terbodoh yang aku lakukan, adalah menggunakan sepatu pantofel yang membuatku harus berhati-hati dalam tiap langkah kaki jika masih mau berangkat sekolah tanpa drama yang terjadi.

Dengan bangga aku ingin meloncat riang setelah tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu yang akan membuatku selamat pagi ini. Sebelum, "Arwa, kamu mau kabur?" rasa banggaku buyar dalam satu detik.

"Eh, Ma?" Rasanya benar-benar kikuk, sementara Mama berdiri di tempatnya dengan tatapan dingin. Aku tahu, Mama pasti sudah mendengar tentang kepulanganku dengan angkutan umum kemarin.

"Apa gunanya taxi online kalau kamu malah jadi gelandangan dengan naik angkutan umum?" Kini kepalaku tertunduk, tak tahu harus menjawab apa pada Mama. Jika aku menjawab dengan alasan bahwa aku tak ingin jika hanya berdua hanya dengan supir taxi, semua malah akan bertambah panjang.

"Kamu mau jadi rakyat jelata ha?!" Mama mulai berjalan mengitariku, dengan satu jari telunjuk yang makin membuatku tertunduk. "Apa gunanya kamu kaya kalau kamu aja kayak orang miskin? Kamu mau jadi apa kalau semua hal aja kamu lakuin kayak pengemis?! Dengar kata Mama. Untuk selamanya, kamu itu harus sempurna!"

Aku tak punya pilihan lain selain menunduk. Ucapan intimidasi dari Mama memang sebuah sarapan tiap pagi. Tapi, sempurna menurut Mama masih membuat batinku tersakiti.

"Kamu mau jadi orang miskin kan? Mau naik angkot terus kan? Iya kan?! Jawab Mama!" Kugelengkan kepala sambil masih tertunduk, menikmati rasa sakit dan kaget dari kalimat yang Mama katakan.

"Mulai hari ini, kamu harus naik angkot setiap pulang sekolah, dari pertengahan September di hari ini, sampai awal November!" Kemudian ia pergi menaiki lantai dua, dengan amarah yang mampu kutangkap dari gema sepatu high heelsnya.

***

"Maaf ya Neng. Gara-gara Bapak Neng jadi dimarahin sama Nyonya." Itu adalah kalimat ke lima, yang sama, yang Pak Jordan katakan di perjalanan pagi ini. Dan untuk ke lima kalinya pula, aku menjawab, "Enggak apa-apa kok Pak. Kalau pulangnya mah, banyak temen." Walau, aku sudah menerka bahwa perjalanan dua bulan ini tak akan menyenangkan.

Kumasuki lorong-lorong yang telah sepi, sampai di kelas bertuliskan "XI IPA 2" di palang pintunya. Masih sangat sepi di jam enam pagi. Masih tenang, seperti biasa. "Hai Wa. Aman kan?" Kuanggukkan kepala dan memberi senyuman pada Ziza, yang juga masih datang di jam yang sama.

"HAI ARWA! YEE, AKHIRNYA BISA BARENG SAMA KAMU BERANGKATNYA!" Dan, suara cerewet yang sama. Yang menjadi satu-satunya kesamaan yang sama sekali tak kuinginkan.

"Eh, hai Za!" Ziza tersenyum manis pada cewek itu. Sementara kini, kulangkahkan kaki menuju tempat duduk, membuka buku paket matematika yang hampir habis kukerjakan. Di sisi kanan, kulirik Ziza yang fokus pada komiknya. Sesekali kulihat ia menguap, sepertinya tadi malam ia lagi-lagi begadang.

"Ngantuk Za? Tidur dulu gih. Nanti kalau udah KBM kubangunin." Tapi Ziza malah memberikanku gelengan tegas. "No! Rusak imejku nanti kalau cowok-cowok pada datang dan lihat aku lagi tidur." Kemudian, ia terkekeh. Membuatku malah tersenyum masam. Entah mengapa Ziza mau berangkat pagi demi melindungiku dan mengorbankan waktu tidurnya.

"Oi. Jangan ngalamun." Dan entah mengapa pula Vina selalu menggangguku di mana pun dan kapan pun. Padahal aku bukan anak yang asyik untuk diajak bicara. Bukan pula anak yang menyenangkan untuk diminta bergaya. Lantas, apa yang Vina lihat dariku di matanya?

Di Pergantian MusimWhere stories live. Discover now