phase one

576 48 2
                                    

tw: toxic/manipulative relationship, implied infidelity







asahi berdiri di samping pintu ruang dewan siswa — atau singkatnya dewa. tangannya bergerak acak memainkan kuku, atau tali tasnya yang menjuntai. menunggu tak sabar.

"hei,"

asahi menoleh, tersenyum lebar. "hai. udah selesai?"

orang itu menggeleng samar, "belum. masih ada yang mau di kerjain. mau nunggu? tawarnya. kalo capek aku pesenin taksi."

asahi mendorong orang itu kembali ke ruangan, kali ini bersama dirinya. "nggak, aku tunggu. selesain aja. mama nggak akan marah kok kalo sama kamu."

sampai di dalam sensasi dingin menerpa wajah lelah asahi, ruangan ini hampir kosong hanya ada yedam dan dua rekan dewan siswanya yang sibuk dengan laptop masing masing.

duduk berdua di salah satu meja, yedam menumpukan pipinya ke bahu asahi. "capek banget?" anggukan terasa di bahunya.

"mau dibeliin minum?"

"nggak usah kamu disini aja."

asahi mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya. untuk mengatasi bosan menunggu pacarnya yang sibuk dengan segala urusannya, yang ia tak paham.

"woy, yedam!"

"kenapa?"

"ayo ke sponsor, baru dikabarin mereka bisanya hari ini. yang hari janjian kemarin mereka nggak bisa." kata salah satu anggota dewan siswa yang asahi tidak kenal.

"harus hari ini banget apa?"

"ayolah, sponsor gede nih! masa nggak mau."

yedam menghela napas kasar, "yaudah ayo deh," yedam membereskan tas nya, menyimpan laptopnya ke loker lalu mengunci. asahi menonton semuanya dalam diam. "kamu aku pesenin taksi aja ya? aku harus ketemu sponsor dan tempatnya beda arah sama rumah kamu. nggak apa apa kan?"

asahi mengangguk, "aku naik bus aja. masih ada kok jam segini. kamu hati hati." tuturnya.

yedam mengangguk lalu memeluk singkat pacarnya, "maaf." bisiknya sebelum mengelus rambut hitam asahi dan mengikuti temannya yang sejak tadi menunggu.

lagi lagi asahi sendiri.

dan ia benci itu.

— —

sejak pagi yedam sama sekali tidak menjawab pesannya, dibaca pun tidak.

bukan pertama kali sih, asahi pun rasanya sudah biasa dengan hal ini. sering lewat di benaknya —

does yedam ever put him as his priority, even just once?

masih menatap nanar layar ponselnya. suara teman temannya pun tak ia gubris. ajakan ke kantin, membagikan secuil makanan tak ada artinya.

sudah sering begini, tapi kali ini rasanya asahi sudah muak — muak sekali. rasa-rasanya presensi dirinya dengan titel kekasih bang yedam tak ada gunanya

mungkin lebih baik kalau mereka bahkan tidak bertemu sama sekali.

"asahi,"

lamunannya buyar, ponsel diletak ke meja. "ya? kenapa?"

"your boyfriend is waiting outside, daritadi dipanggil kamu nggak jawab."

asahi menoleh, mendapati yedam berdiri didekat pintu kelasnya — lalu mengangguk. "thanks, felix. aku kedepan dulu."

jemarinya mengetuk punggung lebar yedam yang berdiri membelakanginya. "hei."

"hai, maaf ya?"

"untuk?"

not the only one ✔Where stories live. Discover now