"Lalu, maksudmu aku diam saja dan menganggap dia lalat?"

"Tidak, bukan itu, tetapi bersikaplah biasa, dengan begitu dia akan penasaran. Jangan tunjukan kau tertarik padanya."

Baiklah, sepertinya itu mudah. Bersikap biasa tanpa menunjukan perasaan. Akan kucoba.

"Ok," kataku setuju. Jaxon memasang senyum, dan saat itulah kurasakan kehadiran seseorang di dekat kami.

Bersamaan aku dan Jaxon mengangkat kepala, tidak sadar sejak tadi wajah kami begitu dekat karena berbisik. Dan barulah aku sadar, banyak mata menatap kami penasaran.

"Jax, ingat ada Mia yang menunggumu di Aurelia," ucap Gavin sembari melotot pada Jaxon.

Dari rumor yang beredar, aku dengar bahwa Jaxon tinggal di sebuah kastil bernama Aurelia yang berada di atas bukit emas, tetapi aku tidak tahu soal wanita di dalam hidupnya karena Jaxon sangat privat.

"Kau punya kekasih?" tanyaku spontan, tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

Awalnya Jaxon menggeleng, namun berhenti, lalu mengangguk, berhenti, dan menggeleng, daaan ... mengangguk. Okeeeey, jawaban yang benar apa?

"Dia punya kekasih dan dikurung di kastil," jawab Gavin yang langsung mendapat delikan tajam dari Jaxon. Namun, wajah Jaxon berubah lembut saat menatap ke arahku.

"Gadis cantik, aku ingin berbicara dengan Ayahmu," kata Jaxon sembari beranjak, "Aku permisi dulu." Dan berlalu menuju ke arah Ayah yang duduk di sofa bersama beberapa pria.

Menyadari hanya Gavin dan Aku di sini, maka hati tanpa logikaku merasa bahwa ini adalah kesempatan, tanpa membuangnya aku pun memberanikan menawarkan diri.

"Kau mau berdansa denganku?" kataku berusaha terdengar biasa, seolah ditolak tidak masalah walau sebenarnya menyakitkan.

Saat kulihat Gavin menimbang ajakanku tanpa langsung mengiyakan, hatiku berdenyut ngilu, kepalaku mulai memaki hati yang tidak memiliki logika. Yah, tentu saja dia menolak, lagi pula dia datang bersama seorang wanita. Batinku merintih sakit mengingatnya.

"Baiklah," jawabnya hingga membuat senyumku mengembang seketika.

Kulihat Gavin mematung sesaat, namun wajahnya kembali biasa dan membalas senyumku yang merekah. Bahkan suara gelas membentur lantai tidak lagi kupedulikan. Biar saja Ibu repot mengurusi pecahan gelas-gelas.

Kami berdua memasuki lantai dansa begitu terdengar melodi indah yang mengalun di seisi ruangan.

Gavin menaruh tangannya di pinggangku sedang satunya menggenggam telapak tanganku hangat, lalu mengayunku ke udara mengikuti irama. Rasanya aku ingin menyandar di dadanya yang bidang, membaui aroma tubuhnya yang bercampur cologne, lalu melupakan orang sekitar, tenggelam dalam dunia yang hanya milik berdua.

"Kau benar-benar lupa padaku?" tanyaku saat tubuh kami merapat.

Dia menatapku dengan wajah blank seperti kertas kosong tanpa tinta.

"Kau benar-benar lupa padaku," kataku lebih seperti meyakinkan diri bahwa dia tidak pura-pura. Sepertinya perkataan Jaxon tidak benar semua. "Lima tahun lalu, kita bertemu di tempat ini, kau tidak ingat?" tanyaku lagi sembari mengingat percakapan kami yang terjadi di lantai dansa saat itu.

Bagaimana mungkin dia lupa, aku saja masih bisa mengingat jelas postur tubuh serta gaya berpakaiannya saat itu. Setiap kata yang keluar dari bibir sensualnya masih jelas terpatri di kepala. Tapi Gavin tetap menatapku tanpa menjawab. Matanya seakan memeta lekuk di setiap wajahku. Mungkin berusaha mengingat siapa aku lima tahun lalu.

"Gadis kecil tiga belas tahun yang mengatakan akan menikah denganmu," kataku pada akhirnya, menjawab pertanyaan yang tergurat jelas di keningnya.

Bagaikan bunga yang mekar, wajah itu mengingat kembali identitasku. Tapi sayangnya, secepat itu pula dia layu begitu menatap mataku kembali.

"Tidak mungkin," bisiknya.

"Aku tidak percaya kau lupa, padahal kau sendiri yang bilang ketika aku dewasa kau akan menikah denganku bila perasaanku masih tetap ada," bisik-ku sembari menyandarkan kepala di dadanya yang bidang, seperti saat pertama aku membayangkan.

Namun, bukan kebahagiaan karena berhasil mengingat kembali, tubuh itu malah tegang dan dengan cepat sesi dansa berakhir ketika dia menjauhkan tubuh kami berdua. Membuat jarak yang jauh.

Tanpa kata-kata, Gavin meninggalkanku sendiri di tengah lantai dansa bersama orang-orang yang masih berputar mengikuti alunan musik.

Aku melihat nanar pada punggungnya yang tenggelam dalam keramaian, hatiku terasa sakit ditinggal tanpa alasan. Dia bahkan tidak menjawab lamaran yang barusan. Bukan ini yang kuimpikan. Seharusnya dia memainkan ukulele, atau mungkin piano, lalu berlutut di hadapanku hingga semua orang bersorak mengucapkan selamat setelah kukatakan I do.

Tanpa melihat sekitar, aku berjalan menuju toilet, bahkan tidak peduli apakah Ibu atau Ayah melihat yang barusan.

Baru saja aku mencuci muka untuk mendinginkan kepala, saat kulihat gaun merah yang dipakai oleh Nayla ditangkap ekor mataku. Dia mendekat tepat di belakang, tetapi kuabaikan, pura-pura sibuk mencuci muka.

"Kulihat kau sangat akrab dengan Jaxon Bradwood dan juga Gavin Caleston. Seharusnya anak kecil sepertimu tidak bermain dengan orang dewasa, fokus belajar agar mimpimu tercapai," kata wanita itu penuh racun. Jelas sekali dia menahan diri untuk tidak meninggikan suara, takut menarik perhatian yang hanya akan merusak reputasi.

"Itu bukan urusanmu, mimpiku jug bukan urusanmu," desisku sama kesalnya.

Siapa dia, ibuku juga bukan.

"Kau masih kecil, tidak seharusnya mengejar pria lebih tua."

Oh, aku tidak tahan lagi!

"Siapa yang anak kecil? Dibandingkan dada palsumu, punyaku lebih asli. Bahkan aku bisa jamin ukuranku lebih besar dibanding milikmu yang seukuran jeruk," sindirku sembari memerhatikan penampilannya dari ujung kepala hingga kaki.

Tidak peduli bila Ibu menceramahi panjang lebar soal etika, tetapi wanita ini berani menghinaku.

"Dasar jalang! Mau jadi apa setelah dewasa? Wanita murahan? Masih kecil ucapanmu tidak sopan!" pekiknya.

"Jaga ucapanmu, Ayahku seorang Mayor!"

"Kau bahkan tidak mirip Levi Reid, berani-beraninya mengakui."

Saat dia melihat mataku mulai membara, wanita itu kembali memancing.

"Kau tahu, meski kau bersikap murahan dengan menggoda Gavin, malam ini yang menghangatkan ranjangnya adalah aku. Bukan kau. Jadi, anak haram sepertimu sebaiknya menyingkir dan jangan mencoba-coba mendekati Gavin," desis si Jalang Nayla yang benar-benar membuatku marah.

Aku hendak menjambak rambutnya, saat tiba-tiba seorang wanita masuk ke dalam.

Kami berdua terdiam, karena pertama aku tidak ingin Ibu tahu kejadian tidak sengaja kali ini, hanya akan bikin malu, dan kedua aku tidak ingin Jaxon mengejeku tidak sabaran karena terpancing emosi terlibat pertengkaran.

"Urusan kita belum selesai," kataku ketika wanita baru itu masuk ke dalam salah satu toilet.

Dengan wajah angkuh terangkat ke udara, si Jalang Nayla meninggalkanku.

Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Perkataannya tentang aku yang anak haram tidaklah menyakitkan karena jelas sekali aku bukan anak haram, hanya spekulasi karena aku tidak mirip Ayah dan Ibu, tetapi perkataan si Jalang itu tentang menghabiskan malam dengan Gavin benar-benar menghunjam hatiku dengan sembilu yang sakitnya tidak terkira.

Ah, aku tidak boleh menangis. Ibu bilang gadis cengeng dibenci laki-laki.

Dengan langkah berat aku meninggalkan toilet, dan berjalan menuju lantai dansa, mencari Ibu untuk pamit duluan ke kamar. Tetapi langkahku terhenti saat melihat si Jalang Nayla berdansa dengan Gavin.

Keduanya terlihat mesra mengikuti irama. Bahkan kepala wanita itu bersandar di dada Gavin yang sudah kupastikan hangat dan kokoh. Ada seringai di bibirnya begitu melihatku yang memperhatikan dari kejauhan, si Jalang Nayla bahkan sengaja mendekatkan bibir ke telinga Gavin membuat pria itu tertawa sedang mata jalang itu terus memerhatikan reaksiku.

Walau Jaxon bilang aku harus mengendalikan diri, tetapi aku juga tidak bisa berlama-lama melihat yang begitu. Dengan berat hati kutinggalkan lantai dansa tanpa meminta izin Ibu lebih dulu.

Dear GavinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang