BAB 4

6 0 0
                                    

Selama jamuan makan, aku memperhatikan Gavin yang tampak berbicara mesra dengan wanita di sebelah. Nama Nayla Quinn menjadi musuh dalam kamus 'Mencari Cinta Gavin', dan aku menandainya di urutan paling atas agar ingat betapa sakit hati pertemuan pertama Gavin membawa wanita lain.

Padahal dia sendiri yang memintaku untuk berjanji, tetapi dia mengingkari karena ternyata tidak menunggu sampai aku dewasa. Ugh! Ibu bisa-bisa membenarkan bahwa ini hanyalah mimpi monyet, begitu pula Audrey yang memastikan bahwa ini benar-benar cinta monyet. Aku memberi mosi tidak percaya, karena Gavin belum melihatku dengan benar dan seksama.

"Krista, jangan memainkan makananmu," bisik Ibu yang duduk di sebelah.

"Aku tidak lapar," balasku sama berbisik.

"Perhatikan etikamu, beberapa mata memperhatikan kita."

Huft, aku ingin mengatakan pada Ibu bahwa mata-mata yang melihat ke sini bukan karena aku memainkan sendok di piring, tetapi memang karena aku selalu menarik perhatian banyak mata.

"Mom, aku tidak lapar," bisik-ku lagi nyaris meninggikan suara. Ibu mendelik tajam hingga mau tidak mau aku bungkam.

Kembali kuperhatikan Gavin yang terang-terangan berbisik di telinga wanita itu tanpa malu. Seakan tidak ada orang lain di sekitar, dan dengan sadar aku menikam steak pada piringku. Benar-benar Gavin menyebalkan. Bisa-bisanya dia mengabaikan calon istrinya yang jelas-jelas duduk di seberang.

Jaxon menyembunyikan senyum dari balik gelas minuman, sedang matanya bagai pimpong melihat aku dan Gavin bergantian. Aku ingin menjulurkan lidah, tapi menahan diri saat Austin Walker mengatakan lelucon garing namun tetap mengundang tawa bapak-bapak di sekitar. Duh, mengapa Ibu selalu memaksaku hadir di jamuan makan malam tanpa mengundang remaja lain. Aku terlihat aneh di dalam kumpulan ini.

Belum lagi hatiku yang patah masih sakit menatap kemesraan Gavin dan plus one-nya itu. Menutup kedua telinga, aku pun memusatkan perhatian pada Gavin yang tampak ingin mencium Nayla. Kepalaku membayangkan menarik wanita itu menjauh, mengacak-acak rambut extension-nya, mencakar wajah mulus penuh make up tebal, lalu menyiram gaun malam itu dengan saus dan kecap.

Ugh! Aku benar-benar ingin melakukannya!

"Krista," panggil suara berat baritone dari sebelah kiri.

Huh, sejak kapan Jaxon berpindah duduk?

"Kau memutilasi steakmu, lihat, tidak berbentuk."

Aku menatap ke Steak-ku yang terpotong tidak beraturan. Kulirik Ibu yang masih sibuk berbincang dengan Nyonya Harque. Ah, untung saja Ibu tidak lihat.

"Sejak tadi kau menertawaiku, memangnya apa yang lucu?" desisku kesal.

Kali ini dia tidak tertawa, tetapi tersenyum dan kuikuti gerak matanya yang melirik ke arah Gavin.

Ugh, kalau pria itu benar-benar mencium jalang itu di hadapanku, akan kulepaskan Monster Krista dan memporak-porandakan siapa pun yang menghalangi jalan demi sampai ke hadapan jalang itu.

"Hey, kau harus bisa mengendalikan diri dan bersikap tidak terpengaruh pada sekitar," saran Jaxon yang tentunya sulit kulakukan.

Aku orang yang sangat ekspresif, bagaimana mungkin bersikap void emosi. Bisa-bisa Ibu membawaku ke dokter gigi, karena hanya pada saat itu aku benar-benar tidak bicara.

"Aku orang yang sangat kreatif, diam saja hanya akan membuatku semakin gila," kataku berbisik dengan suara rendah.

Jaxon sampai ikut merendahkan tubuh, dan mendengarkan perkataanku.

"Gavin sangat terbiasa dengan wanita yang selalu melemparkan tubuh padanya, jika kau menjadi sedikit dingin dan jaga jarak, dia pasti akan tertarik lalu mengejarmu. Percaya padaku, dia tidak peduli dengan wanita yang saat ini berada di sebelahnya, bahkan kau tanya pun siapa nama wanita itu, dia tidak akan hapal."kata Jaxon sedikit menyadarkanku bahwa apa yang dia katakan, ada benarnya.

Dear GavinWhere stories live. Discover now