"Masak mi warkop, yuk? Tapi pinjemin dulu piring ke Pak Bima yang agak gedean. Di sini gak ada yang muat."

"Bocils sini, deh. Gue kasih tugas masing-masing biar lo lo pada gak gabut amat jadi manusia."

"Mau hujan, bagi cucian yang belum diangkat cepetan diangkat. Mampus lo besok kehabisan sempak."

Bayu mendadak jadi ibu-ibu rumah tangga yang punya anak banyak gara-gara tahu gue lagi gak siap menerima pertanyaan kenapa baru pulang jam segitu terus diem-diem aja. Gue ingat betul tatapan Bocils waktu itu yang lagi kepo tapi ditahan. Bastian disuruh ke warung beli micin, Delvin disuruh buang sampah di belakang dan Chandra disuruh siram tanaman yang ada di balkon pakai ember dan gayung. Karena dia penghuni paling muda dan tipe mau-mau aja, jadilah dia babu dadakan.

Sayangnya, Juna waktu itu ada di kamar dan gak sengaja papasan pas gue sampai di lantai dua menuju kamar gue sendiri. Dia lihat gue berhenti sebentar di tengah koridor dan gue kegep lagi buka galeri lama.

 Dia lihat gue berhenti sebentar di tengah koridor dan gue kegep lagi buka galeri lama

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

"Foto bini orang disimpen mulu lo, Bang."

Karena gue tengsin, jadinya gue berkilah. Cari alasan pokoknya supaya gak ngenes amat pandangin foto-foto lama Adisa sewaktu kita kencan. Dulu. Yah, repot kalau berurusan sama masa lalu yang bayangannya belum bisa kabur. Kenangannya menetap dan diingat, tapi orangnya udah minggat.

"Namanya aja move on. Move kan pindah artinya. Lo gak perlu maksa buat melupakan, Bang, karena ya memang gak bakalan bisa lupa. Ketika lo suka sepenuh hati sama seseorang, rasa itu bakal menetap. Tapi, lo selalu punya sisa celah buat diisi orang baru."

Bagi gue omongan Juna adalah tamparan. Alasan gue gak bisa pindah ke lain hati karena gue memang kurang niat dan selalu berharap pada siklus yang sama; Adisa bisa jadi milik gue lagi selayaknya waktu itu. Di sisi lain gue masih gak terima dengan takdir yang gue dapat. Entah karena gue terlalu lambat bergerak atau Adisa lah yang terlalu cepat memutuskan untuk meninggalkan gue dan menikah dengan orang lain. Mungkin kalau dia masih dalam status sebagai pacarnya orang, gue gak akan terlalu kayak gini.

Tapi, Adisa sekarang sudah jadi seorang ibu...

Pesannya sore itu gak gue balas. Masa bodoh dengan tanda 'terbaca' yang akan kelihatan di ruang chat. Gue hanya ingin waktu sendiri dan entah kenapa refleks gue justru berakhir berdiri di sebuah toko perlengkapan bayi dan memutuskan untuk membeli satu set peralatan makan beserta beberapa pasang baju dan keperluan mandi bayi.

Hati gue udah gak tahu kayak apa bentuknya. Selama seminggu gue biarkan bingkisan itu menganggur di atas meja kamar, tempatnya tepat di sebelah miniatur Menara Eiffel yang Adisa kasih sewaktu kita masih pacaran. Sampai pada waktunya gue datang ke rumah Adisa sebagai tamu dengan status yang memilukan.

"Sa, Raisa lagi tidur. Gak bisa lo gendong, deh."

Adisa bicara sambil bawa nampan berisi satu stoples keripik pisang yang ditaburi gula halus dan secangkir teh yang asapnya masih mengepul. Gue gak tahu kenapa alam jahatnya kebangetan kayak gini. Di saat giliran gue bertamu ke rumah Adisa, kenapa harus sederas ini hujannya? Biar gue gak bisa pulang terus lihat dua sejoli yang baru dikaruniai momongan memadu kebahagiaan? Biar luka di dalam diri gue terasa semakin nyata kayak luka ditaburi garam?

ANDROMEDATahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon