"Kasus ini masih dalam penyelidikan." Ayis mendesah, tidak kalah frustrasinya dengan Agus Sinar.

"Lalu apa yang membuatmu berpikir sampai ke arah situ?"

"Kami menemukan noda darah di kursi penumpang, dan itu tidak sedikit."

"Apa kaubilang?" Agus Sinar mendebat, sementara Ayis berusaha memberinya pengertian dengan menjelaskan situasi yang sedang mereka hadapi. Hujan tidak kunjung berhenti dan itu benar-benar membuat mereka kesulitan.

Di tengah pertikaian itu, Samsuri mencoba mempelajari situasi. Cuaca sungguh sangat tidak mendukung dan dia khawatir pencarian ini akan segera dihentikan. "Penculik itu meninggalkan mobilnya di daerah ini," dia berbicara seorang sendiri, sembari menatap penjuru mata angin, dan mulai menduga-duga, "bagaimana ... jika ini hanyalah akal-akalan sang penculik saja?"

Agus Sinar yang mendengar sekilas gumaman itu lantas terjekut. "Apa maksudmu?"

"Pelaku sedang mengecoh kita. Dia ingin kita menghabiskan waktu di tempat ini," tukas Samsuri. Ayis menatapnya dalam dan menyadari betapa putus asanya Samsuri ketika mengatakan itu. Dia meracau tentang kemungkinan adanya jejak mobil lain. "... atau mungkin saja pelaku membawa Dimas dengan berjalan kaki. Yis, kurasa kita harus memperluas area pencarian." Dia tampak begitu kacau, sampai-sampai Ayis tidak sanggup membantahnya.

"Baiklah." Ayis mengangguk, lantas berteriak untuk meminta seorang anak buahnya membawakan peta kawasan Waduk Sei Ladi. Di bawah payung yang dia genggam, Ayis menelaah gambaran rute kawasan Waduk Sei Ladi. "Di sini, ada gedung terbengkalai. Letaknya tidak jauh, barangkali sekitar dua puluh meter dari sini."

Samsuri mendekat untuk melihat. Kemudian diremasnya pundak kiri Ayis. Seraya berbisik dia menatap Ayis dengan binar mata lelahnya, "Kau yang memutuskan. Apa kau sanggup menanggung beban, jika setelah hari ini kita menemukan jasadnya di tempat itu atau di tempat lainnya di dekat sini?"

"Kita akan menyebar. Sebagian dari kalian, tetaplah di sini, cari di sekitar waduk."

_____________________________

Samsuri tiba lebih dulu di depan gedung terbengkalai itu usai menempuh perjalan panjang. Deru napasnya memburu di tengah hujan. Dengan langkah tergesa-gesa, dia lantas berderap mendekati bangunan tersebut.

Cahaya senternya sekonyong-konyong bergerak menyusuri jalanan berlumpur di antara rimbunnya padang ilalang. Kendati hujan mengguyur sekujur tubuhnya hingga basah kuyup, dia dapat merasakan jantungnya memanas saat mengetahui gedung itu hanya berjarak sekian langkah lagi darinya. Perasaan itu nyata. Dia terus saja dibayang-bayangi oleh gambaran mengerikan tentang Dimas.

Apakah Dimas ada di dalam sana? Apakah dia akan selamat?

Dalam benaknya Samsuri bertanya-bertanya. Sesaat kemudian dia menggeleng. Menghela napas dan mencoba menepis pikiran buruk yang datang menghampirinya. Sebab dia yakin segalanya akan baik-baik saja. Dimas hidup di masa yang berbeda darinya, masa mendatang yang sampai detik ini sulit sekali untuk diterima oleh akal sehat. Mereka bahkan saling berkomunikasi melalui HT. Samsuri membatin, Dimas pasti bisa melaluinya, dia akan melewati segalanya, hidup untuk waktu yang lama, tanpa rasa penyesalan.

Segera setelah memasuki gedung tersebut, Samsuri memandang berkeliling dan mendapati hutan beton di mana-mana. Cahaya senter yang menyorot terhalang karenanya dan membuat dia agak kebingungan menentukan arah.

Tidak lama setelahnya, Ayis beserta sejumlah personil polisi yang ikut bersamanya pun tiba di tempat itu. Area di sekitar bangunan tersebut gelap. Namun, dari sela-sela salah satu jendelanya yang terlapisi koran, dia dapat melihat seberkas cahaya. Menyala merah, seolah ada kobaran api yang hidup di dalamnya.

Melihat itu Agus Sinar lantas berlari menyusul Samsuri yang kini telah tiba di anak tangga menuju lantai tiga. Dia nyaris tersungkur, akibat salah menapaki anak tangga.

"Di sana!" Spontan Ayis berteriak begitu melihat sekelebat bayangan pria menyelinap di balik tiang-tiang bangunan.

Dengan sigap Samsuri pun menoleh hingga membuat pria itu menjadi panik karenanya. Secepat kilat dia berlari menjauh untuk menyelamatkan diri dari Samsuri yang dengan tangkas bergerak mengejarnya. Dalam situasi yang serba terbatas, pria itu tidak diberinya ruang untuk bernapas. Samsuri terus membuntutinya, mereka mengitari lorong di sepanjang lantai tiga, menuju sisi gedung lainnya.

Pada satu kesempatan, Samsuri berusaha meraih punggung pria itu, tetapi dia gagal menjangkaunya. Pria itu tiba-tiba saja berbelok arah dan dengan nekat menyerangnya dengan satu tendangan keras di perut.

Samsuri menghadapinya tanpa rasa takut. Dia membalas serangan pria itu dengan menendang bagian belakang betisnya. Pria itu lantas jatuh berlutut. Dalam upayanya kembal berdiri di atas kedua kaki, Samsuri kembali menyerangnya. Tendangan yang Samsuri arahkan ke wajah pria itu membuat dia terjungkal dalam posisi memalukan.

"Brengsek!" pria itu memaki dalam bahasa kotor lainnya. Sorot matanya menyiratkan amarah, sementara wajahnya dipenuhi oleh kekesalan. Akan tetapi hal itu tak lantas menghentikan Samsuri untuk terus meninjunya secara membabi buta. Darah memercik dari sudut bibir pria itu, meninggalkan bercak di kepalan tangannya.

Serangan bertubi-tubi yang pria itu dapatkan membuat dia benar-benar kewalahan. Pria terhuyung-huyung demi menghindari pukulan Samsuri, dan lambat laun langkah kakinya yang tersaruk mundur mencapai ujung garis rangka jendela. Gedung itu belum selesai dibangun sepenuhnya, sehingga tidak ada jerjak yang membatasinya. Samsuri sendiri baru menyadari hal itu ketika pria tersebut tergelincir dari hadapannya.

Di tengah minimnya cahaya yang menjangkau tempat itu, Samsuri berhasil menahan pria tersebut. Kendati air hujan yang merecik membuat genggaman tangan mereka menjadi licin, Samsuri tetap berjuang mempertahankan pria itu. Pria itu bergelantungan, mencoba mencari pijakan untuk kedua kakinya, namun tidak ada sesuatu pun yang dapat membatunya menahan bobot tubuh.

Guruh dan petir menyalak tiba-tiba. Cahayanya yang terang benderang mengenai separuh wajah pria itu. Pada saat itulah Samsuri baru menyadari betapa garis wajah pria tersebut sangat mirip dengan Adam, wali kelas Dimas di sekolah dasar. Bahkan, sulit untuk membedakan keduanya. Samsuri nyaris saja tertipu oleh figur dan penampilan pria tersebut.

"Apa yang kau lakukan pada anak itu?! Di mana dia?!" Samsuri menggeram marah. Kendati tengah berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, pria itu tampak tidak segan menyunggingkan senyum pongahnya.

Samsuri hendak berteriak lagi, namun suara-suara di belakang punggungnya tiba-tiba menyela. Bergaung, mengumumkan satu kabar baik yang ditunggu-tunggunya sejak berjam-jam yang lalu, bahwa mereka telah berhasil menemukan Dimas. Di sebuah ruangan penuh debu dan tumpukan kayu lapuk, Dimas ditemukan tergeletak tidak berdaya. Dia masih bernapas. Agus Sinar memeriksa kondisinya sembari terisak. Sementara Ayis lekas menarik telepon selularnya untuk melakukan panggilan darurat.

Samsuri bergeming selagi mendengar itu semua. Dia masih dalam posisinya, tampak enggan menarik pria itu. "Kenapa kau menculiknya? Apakah ... ada seseorang yang menyuruhmu melakukan itu?"

Pria itu lagi-lagi bungkam. Dan pada akhirnya Samsuri terpaksa merelakan pembicaraan mereka tersudahi begitu saja. Dia tidak mendapat jawaban apa pun yang dapat membuat hatinya lega. Kehadiran dua orang personil polisi membuat pria itu lantas berteriak meminta tolong. Meraka datang untuk membantu Samsuri mengangkat pria itu.

Tak sedetik pun Samsuri melewatkan momen ketika kedua tangan pria itu diborgol oleh mereka. Pria itu dipaksa berjalan menuju ke pelataran gedung terbengkalai tersebut. Samsuri berderap mengawal pria itu di belakang. Kemudian, begitu tiba di pelataran parkir, di antara celah ceruk leher para petugas medis, dia menyaksikan Dimas diangkut di atas brankar berjalan. Hatinya mencelus sekaligus teriris, melihat betapa pias wajah Dimas tertutupi oleh masker oksigen. Agus Sinar berada di sana, dia masuk ke dalam ambulans untuk mendampinginya.

Samsuri menghela napas panjang. Ditengah sesaknya udara dingin dan hujan yang tak kunjung berhenti, dia mengepalkan kedua tangan. Air matanya bercucuran, jatuh tak tertahankan ketika melepas kepergian Dimas malam itu. Dia nyaris kehilangan sesuatu yang sudah dia anggap berharga dalam hidupnya dan itu sungguh seperti akan membunuhnya. Samsuri berjanji pada dirinya sendiri akan mencari jawaban atas ini semua. Dia tidak akan berhenti sebelum menemukan dalang di balik aksi penculikan ini.

Notes:

Hadeh lama banget baru update lagi. Mohon maaf gaes. Saya agak sibuk belakangan ini.

SIGNAL: 86Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu