"Hana? Sudah bangun?"

Joshua menghampiriku diikuti Yura dan juga Vernon. Aku hanya bisa mengangguk. Rasanya lemas, aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku.

"Kak jangan sakit..."

Aku masih berusaha tersenyum untuk menenangkan Yura.

"Jo...."

"Hmm?"

Joshua menggenggam tanganku, tangannya yang lain mengusap kepalaku penuh kasih sayang.

"Joshua, aku takut.."

Benar aku tidak bohong. Seluruh tubuhku sakit, perasaan takut mendominasi pikiranku. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Takut, cemas dan mendadak kilasan peristiwa tidak menyenangkan yang aku alami belakangan ini terus berulang memenuhi ruang ingatanku.

"Aku di sini, ada Yura, dan Vernon juga."

Aku memejamkan mataku, mencoba menenangkan diriku sendiri.

***

"Bukan, dokter bilang tidak ada yang salah dengan fisiknya. Mentalnya terganggu Han, itu hampir seperti gangguan kecemasan berlebih. Belakangan ini Hana juga sering mimpi buruk."

"Dia pasti sangat tertekan karena kepergian ibunya dan juga hal buruk yang menimpanya di masa lalu."

Samar - samar aku mendengar percakapan dua orang pria, dari suaranya aku bisa tahu itu suara Joshua dan Jeonghan. Aku ingin membuka mata tapi rasanya sangat sulit. Jadi aku hanya diam dan mendengarkan obrolan keduanya.

"Dia memintaku untuk membunuh ayahnya."

"Dan kau menuruti kemauannya? Astaga Joshua, bukan itu solusinya."

"Kita bicara di luar. Hana bisa saja bangun."

Kemudian suara mereka tidak lagi terdengar. Bersamaan dengan suara pintu yang di tutup.

Apa yang terjadi padaku? Apa mentalku bermasalah?

"Hana...."

Tidak lama setelahnya Jeonghan masuk tanpa Joshua. Dia tersenyum seperti biasanya.

"Apa kabar Jeonghan?"

"Baik. Aku ingin menanyakan kabarmu juga tapi lihatlah dirimu dan dimana sekarang kau berada. Aku tidak perlu basa - basi menanyakan kabarmu kan?"

Aku tertawa kecil mendengar perkataan Jeonghan. Dia menarik kursi lalu duduk tepat di samping tempat tidurku.

"Joshua mana?"

"Ke kantin. Dia harus makan kalau mau menjagamu disini sepanjang malam."

"Emm begitu, aku tidak boleh pulang?"

Jeonghan menggeleng, "belum bisa."

"Hana..."

"Hmm?"

"Aku ingin bicara tentang sesuatu."

"Kau sudah bicara sedari tadi Jeonghan."

Jeonghan tertawa lalu menatapku dalam.

"Begini... Aku tahu kau banyak melewati hal buruk. Kau melalui banyak kesulitan. Pasti berat kan?"

Aku terdiam menunduk. Jeonghan selalu tahu, dan dia juga selalu bisa mencari celah untuk mengajakku bicara.

"Sangat berat."

Jeonghan mengangguk lalu mulai bicara lagi.

"Aku tidak tahu seberat apa beban yang kau tanggung selama ini. Tapi lihat sisi baiknya, hari ini kau berhasil melewatinya. Semua kejadian buruk itu ada di masa lalu. Dan sekarang kau ada disini, di masa depan. Karena apa? Karena kau berhasil melewatinya dengan baik. Kau sudah bertahan sejauh ini, sekarang waktunya kau bahagia."

Aku mulai menangis.

"Jeonghan, kau tidak tahu mimpi buruk selalu datang dalam tidurku setiap malam. Mereka mencekikku sampai aku tidak bisa bernafas. Aku hanya ingin semua rasa sakit ini bukan hanya aku yang merasakan. Tapi dia juga, orang yang menjadi sebab atas luka yang aku derita."

"Kau menyuruh Joshua membunuh ayahmu?"

Aku mengangguk.

"Joshua melakukannya?"

Aku mengangguk lagi.

"Dan sekarang apa kau bahagia?"

Aku terdiam. Tidak aku tidak bahagia sedikitpun— aku hanya kosong dan kian terjebak dalam kesakitan ini. Rasa cemas, dan takut menggerogoti seluruh tubuh dan pikiranku. Rasanya mengerikan.

"Hana.. lihat kan? Kau tidak bahagia. Karena hatimu dipenuhi dendam. Dengarkan aku, dendam itu sesuatu yang terus tumbuh tanpa batas di hati siapapun yang menanamnya. Dendam itu ruang gelap tak berujung tanpa pintu keluar dimanapun kau mencarinya. Itu tidak baik. Dan sadar atau tidak, kau sedang di perbudak oleh dendam saat ini."

"Aku sulit mengendalikannya. Aku tidak tahu bagaimana melepaskan semua beban ini. Satu - satunya cara yang terpikir olehku adalah melimpahkan semua rasa sakit yang aku rasakan kepada orang lain. Dan itu ayahku. Aku ingin dia juga sama menderitanya denganku. Dia pantas mendapatkannya."

"Itu manusiawi. Tapi untuk kali ini saja, berdamailah dengan dirimu sendiri. Itu akan lebih baik dibandingkan apapun. Ayahmu mungkin lebih menderita— kita tidak pernah tahu mungkin dia mendapatkan lebih buruk dari apa yang kau alami. Sekarang pikirkan dirimu sendiri. Terutama kebahagiaanmu."

Aku hanya terdiam mencoba memahami kata demi kata yang Jeonghan katakan padaku. Dia benar aku harus berdamai dengan diri sendiri. Jika tidak maka aku akan hancur bersamanya juga.

"Aku pulang ya, salam untuk Joshua."

"Terimakasih Jeonghan."

"Ah iya, beberapa waktu ke depan aku tidak akan bisa bertemu denganmu. Jadi tolong sembuh ya Hana. Di waktu yang tepat jika kita bertemu lagi, tunjukan senyum terbaik untukku."

"Kau mau kemana?"

Jeonghan tersenyum penuh arti.

"Bukan hanya kau, aku juga sedang berusaha mencari kebahagiaanku."

Aku belum sempat bertanya lebih jauh tapi Jeonghan sudah pergi. Aku termenung dan berpikir, benar juga setiap orang pantas bahagia, terlepas dari sejahat apapun dia. Dan seseorang tidak seharusnya menjadi penghalang untuk kebahagian orang lain. Itu kejahatan yang sesungguhnya.

***

Sekitar satu Minggu aku menghabiskan waktu di rumah sakit. Hari ini aku sudah di bolehkan pulang. Aku berusaha, seperti apa kata Jeonghan aku melalui semuanya dengan baik sampai saat ini. Terutama di bagian berdamai dengan diri sendiri. Aku berusaha keras. Meski tidak mudah, karena mimpi - mimpi itu terus datang.

Joshua selalu di sampingku. Memberiku limpahan cinta dan kasih sayang yang membuatku selalu merasa nyaman karena mengetahui ada seseorang yang berjuang bersamaku.

"Mau mengunjungi ibu?"

Aku mengangguk. Jadilah sebelum pulang kami mampir ke rumah abu, tempat ibu di semayamkan.

"Ibu, Hana datang..."

"Joshua juga.."

Joshua menggenggam tanganku.

"Bu, apa kabar? Ibu harus baik - baik saja ya. Ibu tidak kesepian kan? Ibu orang yang sangat baik, jadi Tuhan pasti mengirim banyak malaikat untuk menemani ibu di surga."

"Ibu... Aku merindukan ibu sampai rasanya ingin pergi menyusul ibu. Tapi aku sadar, Yura masih membutuhkanku. Aku harus bertahan, berjuang seperti ibu dulu."

"Bu, aku akan hidup bahagia. Bersama Yura dan Joshua. Nanti aku akan kembali lagi. Dan membawa hadiah seorang cucu untuk ibu."

Aku mendengar Joshua terkekeh kecil, lalu aku juga tertawa. Tidak, aku tidak menangis lagi. Ibu pasti sedih jika melihatku menangis jadi aku harus lebih kuat.

"Hana...?"

Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku.

"Hana? Kaukah itu?"

"Ayah?"













To be continue ...






Beautiful Spring 🌸

MY HUSBAND - JOSHUA HONG (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang