Bab 9 - The Artist

Start from the beginning
                                    

Gwen tidak bisa menahan air di pelupuk matanya yang mendesak minta menetes. Dia bersimpati pada si penyihir yang merelakan perasaannya demi keselamatan si gadis. Mungkin karena kisah mereka berdua mirip.

"Apakah kau tidak suka pertunjukannya?" Edmund memberikan saputangan untuk menyeka air mata istrinya.

"Justru karena aku menyukainya, makanya aku menangis." Gwen terisak.

"Tapi, Gwen, ini hanya cerita fiktif." Edmund terlihat serius memikirkannya. Dia—dan mungkin banyak pria lainnya—tidak paham kenapa banyak wanita yang hadir menangis hanya karena menonton Opera.

"Aku mau ke kamar mandi dulu untuk merapikan riasanku." Gwen meminta izin.

***

"Anda nona yang tempo hari membantu pameran kami, kan? Apa Anda juga menonton opera?" Seorang pria menghentikan langkah Gwen ketika dia hendak kembali ke samping Edmund. Dia si profesor yang kali ini mengenakan setelan khas bangsawan dan memberi gadis itu senyum cerah.

"Oh, Anda profesor di akademi." Gwen membungkuk.

"Nama saya Harvey, dan Anda?"

Gwen diam sejenak untuk berpikir. Kebanyakan bangsawan mengenalnya. Selain sebagai istri dari Duke Edmund, yang merupakan pahlawan perang sekaligus bangsawan dengan kekuasaan tinggi, dia juga diberi gelar Permata Teutonia oleh banyak media. Profesor ini tampak berasal dari keluarga ningrat, tapi dia mungkin terlalu sibuk mengajar dan melakukan penelitian sampai dia tidak mengenali Gwen.

"Anda bisa panggil saya Gwen."

"Bagaimana menurut Anda tentang operanya?" Profesor tampak mulai berbasa-basi. Gwen pun gelisah, Edmund mungkin menunggunya. Babak kedua teater musikalnya akan segera dimulai. Tapi entah kenapa Gwen merasa sayang melewatkan kesempatan mengobrol dengan seseorang yang mungkin memiliki minat yang sama dengannya.

***

Edmund mengetukkan jarinya sedikit gusar di lengan kursi. Istrinya terlalu lama, apa dia tersesat atau semacamnya? Selain itu, jeda pertunjukan dirasanya terlalu lama. Edmund bangkit dari duduknya. Beberapa orang di sekitarnya yang memiliki gelar lebih rendah secara reflek menundukkan kepala.

Sang duke mengangkat tangannya, meminta ajudannya untuk mendekat. Gwen mungkin akan mengantuk setelah acara selesai dan Edmund khawatir dia tidak sempat memberikannya hadiah.

Ajudannya memberikan sebuah kantong kertas berisi buket bunga mawar ungu serta kotak perhiasan. Itu adalah tanda permintaan maaf karena sikapnya yang keterlaluan. Kalau ada satu hal di dunia ini yang bisa membuatnya gelisah dan tidak produktif dalam pekerjaannya, itu adalah saat Gwen mendiamkannya.

Sang duke mencari istrinya ke lorong menuju kamar mandi, yang juga cukup ramai dengan para ningrat. Mereka memilih tempat yang kurang layak untuk bersosialisasi. Tapi gedung teater ini memang didesain untuk mengakomodir sosialisasi para pengunjung. Mereka menyediakan tempat duduk dan sofa yang nyaman di lorong luas itu, serta menggantung lukisan-lukisan seperti di galeri.

Jantung Edmund terasa teremas ketika melihat Gwen sedang berbicara dan tertawa akrab dengan pria asing yang sama sekali dia tidak kenal. Edmund sudah cukup lama mengenal Gwen untuk tahu dengan siapa saja dia bergaul, tapi tidak dengan pria itu.

"Duchess?" Edmund menegur dengan nada amarah tertahan.

"Oh? Yang Mulia Duke, apakah babak kedua pertunjukannya sudah mau dimulai?" Gwen menyahut dengan setitik rasa bersalah. Apakah dia seharusnya tidak mengobrol? Apakah dia sudah membuat Edmund menunggu?

"Duchess?" Harvey bertanya ragu.

"Iya, dia Duchess Gwendolyn Rosiatrich, istri saya. Dan bolehkah saya tahu nama Anda, Sir?" Edmund melihat pria itu dingin.

"Maafkan saya karena tidak mengenali Anda, Duke, Duchess, karena saya baru beberapa bulan di Teutonia. Saya Harvey Shawn Maxwell, pangeran kedua dari negara Arbavia." Pangeran Harvey membungkuk sedikit untuk menunjukkan rasa hormatnya.

Duke Edmund tampak sedikit gentar dan mengendurkan sikap waspadanya. Dia balas membungkuk dan mengulurkan tangannya. Harvey membalas menjabatnya.

"Saya seharusnya bertemu Anda bulan lalu di istana, tapi ketika itu saya sedang ada tugas kemiliteran. Walaupun terlambat, saya ucapkan selamat datang." Ekspresi Edmund berubah netral.

"Terima kasih, Duke."

"Saya juga penasaran, bagaimana Anda bisa mengenal istri saya?" Edmund memeluk pinggang Gwen sembari bertanya. Gadis itu sadar kalau rona merah muda mungkin sudah menjalar ke pipi dan kupingnya. Gwen berusaha keras meredam dan mempertahankan keanggunannya.

"Dia membantu saya di akademi. Duchess sangat cerdas dan punya pengetahuan luas tentang seni dan artefak kuno." Harvey menjawab ramah.

"Apa?"

"Err, tempo hari aku berkunjung ke rumah ayahku dan Quentin mengajakku ke akademi untuk urusan pekerjaannya." Gwen berbisik menjelaskan.

"Bukan itu, maksudnya apa tentang Duchess yang memahami seni dan artefak kuno?" Edmund memastikan lagi.

"Itu hanya hobiku, Duke. Kau tahu kalau Marquis Remian adalah seorang antikuarian ternama. Wajar kalau aku tahu sedikit soal itu." Gwen mengklarifikasi.

Edmund terdiam sejenak sambil memandang mata istrinya lekat. Dia butuh jawaban sekaligus mengevaluasi istrinya saat ini. Edmund yang mengira sudah mengetahui semua tentang Gwen ternyata terbukti salah. Sang duke meragu sekaligus gelisah dan gusar. Dia tidak suka. Dia membenci perasaannya sekarang ini.

"Aku sedikit tidak enak badan, kurasa aku akan pulang duluan. Kau bisa melanjutkan menonton. Para kesatria akan mengawalmu pulang nanti." Edmund memberi tahu setengah berbisik pada Gwen, dia beranjak pergi tanpa menyerahkan hadiahnya pada Gwen.

"Tidak, Duke, aku akan ikut pulang bersamamu. Aku tidak bisa menonton sambil mengkhawatirkanmu di sepanjang pertunjukan. Profesor Harvey, semoga kita bisa berbincang lagi nanti." Gwen membungkuk untuk berpamitan.

Harvey menyandarkan badannya yang tegap pada pilar sambil memandangi pasangan serasi itu berjalan menjauh. Duke Edmund tampak segar dan baik-baik saja. Dia jelas tidak sakit. Yang jelas, suasana hatinya berubah drastis sampai dia memutuskan untuk pulang.

"Pangeran Harvey, Anda tidak kembali ke kursi Anda?" Brian, asistennya, yang dia ajak dari Arbavia menegur setelah akhirnya menemukannya.

"Aku bertemu dengan gadis misterius yang kemarin kuceritakan."

"Oh, yang kemarin Anda bilang berbakat dalam bidang antikuarian itu? Lalu, apakah dia mau bergabung dengan proyek Anda?" Brian yang berbadan sedikit pendek dengan kumis tipis bertanya lagi.

"Aku belum bilang itu padanya. Dan dia ternyata sudah bersuami, kurasa akan sulit apalagi dengan suami pencemburu seperti itu." Harvey menggeleng.

"Apakah Anda akan mencari model lain?"

"Tidak, harus dia, tapi karena suaminya cukup berkuasa, sepertinya aku harus pakai koneksi kerajaanku untuk membujuknya." Harvey menggaruk dagunya berpikir.

icon lock

Show your support for NINA, and continue reading this story

by NINA
@Anna_Kanina
***WATTYS WINNER 2021 KATEGORI FANTASI*** --- Setelah menikah dengan...
Buy a new story part or the entire story. Either way, your Coins help writers earn money for the stories you love.

This story has 62 remaining parts

See how Coins support your favorite writers like @Anna_Kanina.
The Duchess Wants a DivorceWhere stories live. Discover now