Pesan singkat Matteo datang lagi. Bagaikan robot, aku mengikuti permintaannya tanpa berat hati. Kupungut bantal dan selimut yang berserakan di lantai. Menempatkan benda-benda itu ke atas tempat tidur.

From: Matteo
Boleh aku tidur sambil melihatmu?

Merekahnya bibir sulit kutepis ketika membaca pesan baru darinya. Kusentuh papan ketik untuk membalas dia.

Gmn bisa tidur kalau sambil lihat aku?
Send

From: Matteo
Maksudku, aku ingin tertidur dg posisi spt ini, boleh?

Persoalan yang selama ini mendendap di hati, kembali mencuat ke permukaan. Dalam bimbang, kuungkapkan pertanyaan yang mengganjal benak.

Knp menyukaiku?
Send

Satu menit kemudian, balasannya muncul.

From: Matteo
Feels like home.

Home?
Send

From: Matteo
One day you'll know.
What about you?

Tertegun melihat balasannya. Ibu jariku lantas menggulir pesan-pesan yang telah dia kirim. Menilik ulang seluruh kalimatnya untuk mencari kesungguhan laki-laki itu.

Bagaimana bisa dia menganggapku rumah?

Kenapa aku?

Apakah dia benar-benar memiliki perasaan itu?

Apakah aku pantas untuknya?

Hatiku berperang menepis pengakuannya. Sulit untuk memercayai begitu saja. Rasanya, masih tidak masuk logika berpikirku.

You deserve better.
Send

Aku tidak cukup berani menuruti keinginan hati. Kusampaikan jawaban sebijak mungkin. Kenyataannya, dia memang pantas mendapatkan yang lebih dariku.

Matteo is calling ....

Kepalaku menjengit mendapati panggilannya. Di seberang, dia telah duduk di tepi ranjang menunggu responsku. Ragu-ragu, kuangkat panggilan itu.

"Lebih baik itu yang seperti apa?" Tanpa basa-basi, Matteo menuntut penjelasan.

Mulutku terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Aku lantas menunduk sesaat. "Aku bumi, kamu langit," cicitku. Malu luar biasa untuk mengakui alasan rendah diri yang selama ini menghantui.

"Menurutmu, siapa yang dilindungi langit dari ganasnya benda-benda luar angkasa? Siapa yang selama ini ingin langit lindungi dari radiasi matahari?" Kini, dia telah berdiri di balik pintu kaca. "Ke mana selama ini langit mencurahkan hujannya?" tanya Matteo makin membuatku bungkam.

"Apa kamu ingat sistem gravitasi?" Dia menahan kalimatnya dalam beberapa detik. "Aku nggak bisa melawan hukum alam semesta, juga perasaanku."

Pandangan kuputus untuk menatap yang lain. Canggung bukan main memperoleh metafora semanis ini. Kupu-kupu dalam perut makin bertambah hingga membuatku mulas. Ibarat penderita kencing manis, mungkin nilai gula darahku telah melampau angka 500.

Aku lalu bangkit. Berjalan mendekati pintu balkon. Kugenggam tirai yang menjuntai dengan meneguhkan pandangan padanya.

"Kamu orang pertama yang buat aku kayak gini. Kamu bikin aku kacau sampai nilai-nilaiku jatuh. Kamu bikin aku nggak fokus seperti orang sakit."

"Maka, dapatkan obatnya agar kamu sembuh. Dapatkan obatnya agar menjadi Amelia yang kukenal."

Denting di dinding kamar adalah satu-satunya hal yang mengisi senyap suasana. Kakiku lemas. Napas mulai memburu. Liur kureguk, berharap kegugupan dapat sirna secara perlahan.

"Aku ...."

"Aku cinta kamu."

Pupil mataku melebar. Rasanya, terkejut bukan main. Selama delapan belas tahun hidup di dunia, tidak pernah kurasakan bahagia hingga jantung serasa mau meledak. Aku mengira, mendapatkan pengakuan cinta hanya angan-angan konyol yang tidak akan pernah terjadi. Lebih-lebih, dari sosok rupawan dan digilai banyak perempuan.

"Aku cinta kamu," tegasnya sekali lagi.

Bibir kukulum rapat. Senyum lebar memaksa terbit tanpa tahu malu. Tenggorokanku begitu gatal ingin berteriak kencang. Kaos kuremas kencang menahan degup jantung dan kaki yang ingin melompat kegirangan.

"Aku nyaman bersamamu. Tolong, jangan hindari aku lagi."

Aku nggak kuat, please.

Bingung dan bahagia menyerangku secara bertubi-tubi. Lembut suaranya, langsung memorak-porandakan sisa logika yang menyempil di antara luapan kebahagiaan. Anggukan kepala kuberikan. Diiringi seulas senyum, aku mengucapkan, "Terima kasih."

Anehnya, dia tiba-tiba tertawa. "Second thanks?"

Keningku mengernyit dalam. "Hah? Second?"

Aku berpikir keras menelaah maksudnya. Mengingat-ingat kapan mengucapkan kalimat itu sebelumnya. Teringat kejadian sore tadi, kedua mataku langsung membulat penuh.

Senyumnya makin lebar. "I'm happy to help, and loving you."

****

Unforgotten DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang