Prolog

936 206 92
                                    

"Hendery belum punya pacar?"
"Jangan ditanya, dia kalah sama kucingnya."
"Kasihan, bikin pengen netesin air ingus."

Oke, cukup sudah. Ampun deh. Bila Hendery Huang harus mengalami 1 babak lagi diejek ke-3 kakak perempuannya di acara keluarga, atau tepatnya di setiap acara keluarga, lebih baik dia mendayung menyebrangi lautan berapi, lalu melawan naga demi mencari kitab suci.

Muak. Tidak tahan. Buang saja Hendery ke jurang. Dia capek jadi badut keluarga hanya karena merupakan satu-satunya anak yang tidak pernah pulang membawa pasangan. Rasanya dia ingin berlari-lari di tengah guyuran hujan, menengadah ke langit, lantas meratap, "Tuhan, mengapa aku jomblo?!" walaupun untuk melakukan itu ia butuh timing yang tepat dan mungkin harus mengecek laporan ramalan cuaca.

Dengan kasar, Hendery membuka pintu rumahnya, rumah keduanya di Korea, yang ia tempati dan biayai bersama mahasiswa lain hampir sejak awal perkuliahan.

"Lho, udah pulang?"

Baru memasuki kamar, suara berat Lucas Wong, teman sekamarnya asal Hongkong, menyapa. Lucas adalah pemuda berbadan besar, hobi makan 5 kali sehari, dan jika kecapekan akan tidur mendengkur seperti paus yang sakit gigi.

Hendery hanya menggumam tidak jelas sebagai jawaban.

Tak benar-benar peduli pada oleh-olehnya dari Macau, dia melempar tasnya ke tempat tidurnya yang berseberangan dengan milik Lucas. Selain itu, demi terciptanya kondisi yang kondusif, masing-masing dari mereka juga punya meja yang berbeda meski ditata bersebelahan. Minat dan pilihan keduanya pada jurusan yang berbeda terlihat jelas dari benda-benda dan penataan kamar itu; Lucas dengan musiknya, Hendery dengan seninya.

Sekarang saja, Lucas asyik menggenjreng gitar dan memetik nada secara asal. "Diledek lagi?"

Hendery tergelak dengan wajah datar. "Disuruh jomblo 3 tahun lagi."

"Kenapa?"

"Biar pas, jomblo seperempat abad."

Lucas tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai nyaris tersedak.

Hendery dan telinganya yang malang, yang kenyang panen olok-olokan itu dengan muram beringsut ke mejanya, merasa begitu menyedihkan sampai harus menghibur dirinya sendiri. Ia mengeluarkan patung yang pembuatannya sempat tertunda dan sebuah pahat一alat dengan gagang mirip obeng tapi berujung ke lempengan besi tipis yang bisa dipakai untuk mengikir kayu atau logam.

Bagi Hendery, ini adalah cara yang paling ampuh dan menyenangkan untuk mengusir stres di kepala. Dan menilik apa saja yang telah ia lalui, sepertinya ia sudah menabung stres untuk setidaknya 5 bulan ke depan. Kacau. Siapa sih yang bilang jadi anak bungsu itu asyik? Nyatanya, Hendery selalu jadi bahan tertawaan oleh kakak-kakaknya yang kejam dan tidak berperipersaudaraan.

Dengan suara yang sarat akan simpati, Lucas memanggil, "Dery."

"Hah?" Hendery mulai larut dalam kegiatannya. Patung itu sendiri, berbentuk bunga lotus seukuran telapak tangannya, sudah setengah jadi. Beberapa kelopaknya sudah dihiasi ujung lancip dan bertekstur sehalus bubur bayi.

"Aku punya ide."

"Terakhir kali aku dengerin idemu tentang uji nyali di rumah kosong, kita lari dari sana pakek celana yang hampir lepas."

"Duh, itu kan udah lama!" Protes Lucas sebal, meski kejadiannya sebenarnya baru hitungan 2 minggu berlalu. "Nggak ada lagi uji nyali一kecuali kamu mau pacaran sama hantu. Nggak. Kali ini bukan rumah kosong, mending kita berpetualang di Sinder."

"Sinder apaan?"

"Temennya ibu peri yang ke pesta dansa naik labu."

"Itu sih Cinderella!" Balas Hendery sewot. "Serius, Sinder apaan?"

Play Dates | Hendery ✔️Where stories live. Discover now