Ia tidak dan tidak akan pernah mengerti itu. Hampir tiga dekade kehidupannya, tidak pernah sekalipun ia disiksa sebagai bentuk pelajaran. Ayahnya memang kasar, tapi tidaklah brutal. Beliau akan marah kalau lututnya tergores.

Maka ia sedikit mengubah topiknya, tidak mau mengatakan kalau ia tidak bisa bersimpati kali ini.

"Aku tidak begitu takut ketinggian. Kakiku hanya akan terasa geli kalau aku membayangkan diriku terjatuh dari gedung pencakar langit."

"Itu rasa takut. Bukannya aku tahu perasaan itu. Aku hanya merasakannya sekali tapi itu terlalu cepat, seperti percikan listrik yang mampu membuat mataku perih — dan kemudian langsung lenyap begitu saja."

Musik klasik yang sendu nan lembut mengisi restoran itu tanpa mereka sadari, sebab mereka sedang memandangi satu sama lain seakan tidak ada orang lain di sekelilingnya.

"Jaehyun."

Nama sang penembak jitu dibisikkan sang pelempar pisau.

"Kalau aku melompat, apa kau akan menyelamatkanku?"

Apa ini pertanyaan jebakan? Siapa yang tahu? Hingga saat ini ia masih kesulitan mengurai perubahan mendadak dari pola pikir seorang Lee Taeyong.

Namun Jaehyun sudah mencapai kesimpulan yang jelas.

"Tidak."

Mata mereka segera bertemu.

"Kau tidak akan mau diselamatkan. Aku akan melompat bersamamu. Tapi tidak hari ini."

Taeyong tertawa. "Kenapa, karena ada anak-anak yang menunggumu?"

"...aku tahu aku tidak bisa mengubah pikiranmu tentang mereka, tapi sekarang hidupku bukan tentangku saja. Bukan tentangmu juga. Bukan hanya tentang kita berdua."

"Aku mengerti."

"Benarkah?"

Pertanyaan itu dibiarkan tidak terjawab. Taeyong membayar tunai, tidak menunggu notanya sebelum ia dan Jaehyun keluar dari Le Jules Verne dan berjalan di taman tanpa tujuan, masih di sekitar menara itu.

Musim gugur di Paris baru saja dimulai.

Cuacanya berubah-ubah dari dingin menjadi hangat menjadi dingin lagi, dan hujan sudah biasa terjadi. Beruntungnya mereka, hari ini kering dan juga terasa sejuk. Rasa sejuk itu mungkin adalah indikasi dari hujan yang akan segera turun. Cuaca yang tidak tentu itu sangat tidak bisa ditebak.

Angin dingin menerpa wajah mereka, satu-satunya bagian tubuh mereka yang tidak terbalut kain. Tidak begitu dingin namun terasa menusuk. Jaehyun tahu seharusnya ia membawa payung.

Lima menit sudah berlalu. Taeyong, dengan tatapan yang masih kosong dan juga postur tubuh yang waspada mampu mengusir siapa pun yang mencoba mendekat, membuat jarak yang tidak berani dilanggar orang lain. Jaehyun mengulik otaknya, mencari topik yang bisa dibicarakan.

Ah, benar.

"Aku suka rambutmu. Aku juga suka rambutku; undercutnya terasa aneh tapi aku akan terbiasa."

"Apa kau punya kink pada rambut? Pasti begitu. Pasti. Apa kau ingin masturbasi karena makeovermu sendiri? Aku tidak akan terkejut." Taeyong mengambil sesuatu dari sakunya — ikat rambut dan dengan lihai ia mengikat rambut hitam panjangnya menjadi kuncir kuda. "Akui saja. Kau menikahiku untuk rambutku saja dan bukan jiwaku yang cantik, bukan? Aku bisa saja memotong rambutku, memberikannya padamu dan kita bisa bercerai. Bagaimana?"

Oke. Mungkin memujinya adalah suatu kesalahan.

"Berhenti membual. Kau tidak bisa melepaskanku."

Akhirnya, tatapan menakutkan itu diganti dengan kilat senang. "Turunlah dari kudamu (baca: jangan sombong), Dimple boy. Aku lebih suka kau menunggangiku daripada kau menunggangi egomu."

[5] What Lies Ahead: Unmasked (JaeYong)Where stories live. Discover now